Telaah Kitab

Aturan Kepegawaian (Telaah Kitab Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 154)

(Telaah Kitab Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 154)

Telaah Kitab edisi kali ini membahas tentang kepegawaian dan hal-hal yang berhubungan dengan pengupahan.   Di dalam Pasal 154 disebutkan:

الْمُوَظَّفُوْنَ عِنْدَ اْلأَفْرَادِ وَالشِّرْكَاتِ كَالْمُوَظَّفِين عِنْدَ الدَّوْلَةِ فِي جَمِيْعِ الْحُقُوْقِ وَالْوَاجِبَاتِ، وَكُلُّ مَنْ يَعْمَلُ بِأَجْرٍ هُوَ مُوَظَّفٌ مَهْمَا اخْتَلَفَ نَوْعُ الْعَمَلِ أَوْ الْعَامِل. وَإِذَا اخْتَلَفَ اْلأَجِيْرُ وَالْمُسْتَأْجِرُ عَلَى اْلأُجْرَةِ يُحْكَمُ أَجْرُ الْمِثْلِ . أَمَّا إِذَا اخْتَلَفُوْا عَلَى غَيْرِهَا فَيُحْكَمُ عَقْدُ اْلإِجَارَة عَلَى حَسْبِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ

Pegawai yang bekerja pada seseorang atau perusahaan, kedudukannya sama seperti pegawai pemerintah dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Setiap orang yang bekerja dengan mendapatkan upah merupakan pegawai meskipun berbeda jenis pekerjaan atau pihak yang bekerja. Jika terjadi perselisihan antara pekerja dan pihak yang mempekerjakan mengenai upah maka ditetapkan berdasarkan upah mitsli (upah yang sesuai dengan standar kebiasaan masyarakat). Jika perselisihannya bukan menyangkut upah maka diputuskan berdasakan akad kerja sesuai dengan hukum-hukum syariah.

 

Pegawai yang bekerja pada individu atau perusahaan sama seperti pegawai yang bekerja pada negara dalam hal hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Setiap orang yang bekerja dengan mendapatkan kompensasi atau upah merupakan pegawai, apa pun jenis pekerjaan dan pekerjanya.

Jika pekerja dengan pihak yang memperkerjakan berselisih pendapat dalam hal upah maka kadar upah ditetapkan berdasarkan ajr al-mitsl (kadar upah yang ditetapkan oleh orang yang ahli). Namun, jika keduanya berselisih pada selain upah maka persengketaan itu dikembalikan pada akad ijaarah sesuai dengan hukum syariah.

Dalil yang mendasari pasal ini adalah dalil-dalil tentang bekerja (ijaarah). Sebabnya, pegawai hakikatnya adalah pekerja (ajiir).  Allah SWT berfirman:

فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَأَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ٦

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) kalian untuk kalian maka berikanlah kepada mereka upahnya (QS ath-Thalaq [65]: 6).

 

Juga didasarkan pada sebuah Hadis Nabi saw.:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللهُ ثَلَاثَةٌ أنا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ  بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفىَ مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw., bersabda: Allah SWT telah berfirman: “Ada tiga orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat: seseorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu mengingkarinya; seseorang yang menjual orang yang telah merdeka, lalu memakan hasil penjualannya (harganya); dan seseorang yang mempekerjakan pekerja, kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun dia tidak memberikan upahnya.” (HR al-Bukhari).

 

Jika tidak ada upah tertentu maka akad ijaarah-nya dianggap sah.   Hanya saja, jika terjadi perselisihan pendapat dalam hal besaran upah maka hal itu dikembalikan pada ajr al-mitsl.  Oleh karena itu, jika di dalam akad ijaarah tidak disebutkan upah saat dilaksanakan akad ijaarah, atau pekerja dan yang mempekerjakan berselisih pendapat dalam besaran upah, maka hal itu dikembalikan pada ajr al-mitsl.   Ketentuan ini dikiaskan dengan mahar.  Dalam kasus mahar, jika tidak disebutkan besarannya atau terjadi perselisihan dalam kadar mahar, maka ia dikembalikan kepada mahar mitsl. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat berikut:

عن ابن مسعود، أنه سئل عن رجل تزوج امرأة ولم يفرض لها صداقا ولم يدخل بها حتى مات، فقال ابن مسعود: لها مثل صداق نسائها، لا وكس، ولا شطط، وعليها العدة، ولها الميراث، فقام معقل بن سنان الأشجعي، فقال: قضى رسول الله صلى لله عليه وسلم في بروع بنت واشق امرأة منا مثل الذي قضيت، ففرح بها ابن مسعود

Dari Ibnu Mas’ud ra. dituturkan bahwa ia pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun tidak menetapkan maharnya, dan tidak menyetubuhi dirinya hingga laki-laki itu meninggal dunia.  Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Ia berhak mendapatkan mahar seperti yang didapatkan para wanita kaumnya, tidak kurang dan juga tidak lebih.  Ia wajib ber-’iddah (karena ditinggal mati suaminya), dan ia juga berhak mendapatkan warisan.”   Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan al-Asyja’iy, seraya berkata, “Rasulullah saw. memutuskan pada Barwa` binti Wasyiq seperti apa yang engkau putuskan.”  Ibnu Mas’ud sangat senang dengan hal itu.   (HR an-Nasai dan at-Tirmidzi).

 

Makna dari frase [shaadaq nisaa‘ihaa] adalah seperti mahar yang biasa diberikan kepada wanita-wanita dari kaumnya.

Syariah telah mewajibkan mahar mitsli bagi orang yang tidak menyebut kadar maharnya.  Begitu pula jika terjadi perselisihan dalam jumlah mahar musamma (mahar yang disebutkan besarannya), maka besarannya dikembalikan pada mahar mitsli.  Semampang mahar adalah kompensasi wajib atas akad pernikahan, maka bisa dikiaskan padanya setiap kompensasi wajib atas sebuah akad, tanpa memperhatikan lagi ganti kompensasinya, apakah harta (seperti dalam akad jual-beli) atau manfaat dan tenaga (seperti dalam akad bekerja), atau kerelaan (seperti dalam akad nikah).

Atas dasar itu, ketika upah atau kompensasi tidak sebutkan di dalam akad, atau ketika terjadi perselisihan atas besaran upah, maka ia dikembalikan pada upah mitsli.  Begitu pula dalam jual-beli, jika tidak sebutkan nilainya, atau terjadi perselisihan atas nilainya, maka ia dikembalikan pada harga mitsli.  Begitu pula dalam hal upah.  Jika, upah tidak disebutkan di dalam akad ijaarah (bekerja), atau terjadi perselisihan besaran upah antara pekerja dengan orang yang mempekerjakannya, maka ia dikembalikan pada upah mitsli.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Gus Syams]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × two =

Back to top button