Takrifat

At-Taghlîb


اَلتَّغْلِيْبُ

Lafal umum menurut asalnya hanya mencakup atau meliputi satuan atau unitnya dalam jenisnya saja, dan tidak mencakup selainnya. Hanya saja, orang Arab dalam kondisi-kondisi tertentu menggunakan lafal umum untuk juga mencakup selain unit atau satuannya karena adanya hubungan di antara keduanya yang mereka jelaskan di dalam bahasa mereka. Itulah yang disebut uslub at-taghlîb (Lihat: Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, hal. 230).

Dalam pembahasan para ulama ushul di antaranya ketika mereka membahas cakupan isim jamak mudzakar (laki-laki) terhadap yang mu’annats (perempuan).

Menurut Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, dengan meneliti secara mendalam penggunaan at-taghlîb oleh orang Arab dalam bahasa mereka, maka dapat diketahui penggunaan itu dalam beberapa keadaan:

Pertama, taghlîb lafal mudzakar untuk mencakup mu’annas, yakni mengunggulkan lafal laki-laki untuk juga mencakup lafal perempuan. Jika laki-laki dan perempuan diseru dengan aktivitas yang sama bagi keduanya maka akan digunakan lafal mudzakar. Misal, penggunaan lafal ûlu al-albâb. Lafal ini maknanya juga mencakup ûlatu al-albâb. Contoh lain, firman Allah SWT: Yâ ayyuha al-ladzîna âmanû ittaqûlLâha… Lafal âmanû (dalam bentuk lafal mudzakar) maknanya juga mencakup perempuan-perempuan yang beriman.

Hanya saja, jika yang diserukan adalah aktivitas yang khusus untuk laki-laki menurut qariinah yang menyertainya, maka penggunaan lafal mudzakar di situ tidak secara taghlîb. Misal, dalam QS al-Jumu’ah [62]: 9: Yâ ayyuha al-ladzîna âmanû idzâ nûdiya li ash-shalâti jum’ati fas’aû ilâ dzikrilLâh. Penggunaan lafal al-ladzîna âmanû dan fas’aû tidak secara taghlîb. Jadi lafal itu tidak mencakup perempuan, tetapi hanya mencakup laki-laki. Sebabnya, shalat Jumat hanya diwajibkan atas laki-laki.

Jika yang dimaksudkan dari khithaab adalah untuk menonjolkan hubungan suatu hukum perempuan dengan derajat yang sama dengan laki-laki untuk menghilangkan kerancuan pemahaman, maka digunakan seruan kepada perempuan dan laki-laki secara terpisah. Di isni juga tidak ada taghlîb. Misal, pertanyaan wanita kepada Rasul saw. dengan taghlîb seruan hukum untuk laki-laki, mungkin karena dia menduga perempuan kurang penting. Lalu turun beberapa ayat yang menyatakan perempuan dan laki-laki secara terpisah untuk menghilangkan kerancuan itu. Di antaranya firman Allah SWT: Fa[i]stajâba lahum rabbuhum annî lâ udhî’u ‘amala ‘âmil[in] minkum min dzakar[in] aw untsâ (QS Ali Imran [3]: 195). Juga firman Allah: Inna al-muslimîna wa al-muslimât wa al-mu’minîna wa al-mu`minât.... Masih banyak lagi ayat lainnya. Semua itu merupakan pernyataan yang menonjolkan hubungan hukum perempuan dengan derajat yang sama dengan laki-laki dari sisi pujian.

Kadang pernyataan terpisah itu juga digunakan untuk menonjolkan hubungan hukum dari sisi celaan. Misal, firman Allah: Wa‘adalLâhu al-munâfiqîna wa al-munâfiqât … (QS at-Taubah [9]: 68. Juga firman Allah: Wa yu’adzdziba al-munâfiqîna wa al-munâfiqât wa al-musyrikîna wa al-musyrikât … (QS al-Fath [48]: 6).

Kedua, taghlîb khithaab yang berakal untuk juga mencakup yang tidak berakal. Ini dalam keadaan jika yang diseru adalah yang berakal dan yang tidak berakal sekaligus, maka digunakan lafal yang mudzakar. Contohnya firman Allah SWT: Wa idzâ massakum adh-dhurru fî al-bahri dhalla man tad’ûna illâ iyyahu (Jika kalian ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kalian seru kecuali Dia) (QS al-Isra’ [17]: 67). Seruan ini ditujukan kepada kaum musyrik. Mereka menyembah berhala dan lainnya, yang tidak berakal dan yang berakal. Di sini dilakukan taghlîb seruan yang berakal “man” untuk juga mencakup yang tidak berakal. Ini untuk menonjolkan bahwa apa yang mereka klaim sebagai tuhan dan mereka sembah tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak dapat menjawab doa mereka dalam kondisi itu meskipun sesembahan mereka itu adalah yang berakal, apalagi sesembahan yang tidak berakal. Ini sekaligus untuk menegaskan bahwa hanya Allah sajalah tuhan yang berhak disembah dan dapat menjawab doa dan menyelamatkan dalam situasi itu.

Jika keberadaan yang berakal bersama yang tidak berakal itu tidak berpengaruh pada hukum, seolah tidak ada, maka dilakukan taghlîb seruan untuk yang tidak berakal mencakup yang berakal. Contohnya firman Allah: Innakum wa mâ ta’budûna min dûnilLâh hashabu jahannam (QS al-Anbiya’ [21]: 98). Lafal “” adalah seruan untuk yang tidak berakal itu secara taghlîb juga mencakup yang berakal sehingga mencakup Isa as. dan Uzair. Dalilnya adalah sanggahan Ibnu az-Zib’ara yang memahami bahwa Isa as. dan Uzair juga termasuk dalam cakupan lafal “” dan pengecualian keduanya dari ayat ini oleh ayat berikutnya.

Jika yang berakal itu seolah tidak ada bukan karena tidak berpengaruh, tetapi karena maksud dari khithaab-nya adalah menonjolkan minimnya yang berakal itu dibandingkan dengan makhluk yang tidak berakal, maka digunakan lafal seruan yang tidak berakal yakni “” secara taghlîb untuk juga mencakup yang berakal. Contohnya firman Allah: Wa lilLâhi mâ fî as-samâwâti wa mâ fî al-ardhi (QS an-Nisa’ [4]: 133). Lafal “” ini juga mencakup yang berakal secara taghlîb. Hal itu untuk menonjolkan makna bahwa makhluk tidak berakal yang tunduk kepada Allah sangat banyak sekali dibandingkan makhluk berakal.

Jika yang berakal itu tidak diketahui sifat dan substansinya pada yang menyeru (al-mukhâthib) atau yang diseru (al-mukhâthab) maka digunakan lafal seruan untuk yang tidak berakal seperti lafal “” secara taghlîb untuk mencakup yang berakal. Contohnya firman Allah: Wa lâ yahillu lahunna an yaktumna mâ khalaqalLâhu fî arhâmihinna (QS al-Baqarah [2]: 228).

Jika seruannya disematkan pada yang berakal dari sisi halal dan haram seperti sesuatu, maka digunakan lafal seruan untuk yang tidak berakal. Contohnya firman Allah: Fa[a]nkihû mâ thâba lakum min an-nisâ‘… (QS an-Nisa’ [4]: 3); Wa al-muhshanâtu min an-nisâ‘ illâ mâ malakat aymânukum (QS an-Nisa‘ [4]: 23); Wa lâ tunkihû mâ nakaha abâ‘ukum min an-nisâ‘… (QS an-Nisa‘ [4]: 22). Dalam semua ayat itu digunakan lafal “” untuk yang tidak berakal. Padahal yang dimaksudkan adalah yang berakal yaitu an-nisâ‘ (wanita), sebab yang dimaksudkan adalah untuk menonjolkan hukum halal dan haramnya.

Ketiga, taghlîb sifat yang berakal, yakni jika yang tidak berakal disifati dengan sifat yang berakal, maka digunakan lafal untuk yang berakal. Contohnya firman Allah: Innî raytu ahada ‘asyara kawkab[an] wa asy-syamsa wa al-qamara raytuhum lî sâjidîn (QS Yusuf [12]: ). Digunakan lafal yang berakal yakni “hum” dalam “ra’aytuhum” yang merujuk pada bintang, matahari dan bulan, sebab ketiganya disifati dengan sifat yang berakal yaitu “sâjidîn -sujud-”.

Inilah keadaan-keadaan penggunaan at-taghlîb menurut penggunaannya oleh orang Arab.  Atas dasar penggunaan mereka maka at-taghlîb itu menjadi bagian dari kaedah bahasa Arab.

Abdul Karim an-Nimlah di dalam Al-Muhadzdzab fî ‘Ilmi Ushûl al-Fiqhi al-Muqâran (4/1554) menyatakan bahwa kaidah at-taghlîb digunakan pada orang Arab dan digunakan di dalam kalam mereka. Al-Quran dan al-Hadis datang menggunakan bahasa Arab. Maka dari itu, di dalam al-Quran dan al-Hadis juga digunakan at-taghlîb itu.

Di antaranya taghlîb jamak orang yang berakal jika yang tidak berakal juga sama-sama dimaksudkan. Penyebutan lafal yang berakal itu maknanya mencakup yang tidak berakal. Contohnya QS an-Nur [24]: 45.

Di antaranya adalah taghlîb salah satu isim atas yang lain karena beberapa sebab: Pertama, karena lebih mulianya penyebutan laki-laki. Misal, firman Allah: Wa li abawayhi likulli wâhid[in] minhuma as-sudusu (QS an-Nisa’ [4]: 11). Di sini lafal al-abbu di-taghlîb-kan atas al-ummu (ibu). Makna abawayhi itu adalah bapak dan ibu, bukan bapak saja, ini secara taghlîb.

Kedua, karena salah satu isim didominankan atas yang lain karena ringan atau minimnya yang lain itu dibanding yang dominan. Karena itu  digunakan isim yang dominan, namun secara taghlîb juga mencakup yang lain itu. Contohnya dalam QS an-Nisa‘ [4]: 133 dan QS al-Anbiya’ [21]: 98 seperti disebutkan di atas.

Ketiga, karena salah satu isim didominankan (taghlîb) atas yang lain karena ketidaksukaan menyebutkan isim yang lain itu. Contohnya ucapan Aisyah ra.: Wa mâ lanâ ‘aysyun illâ al-aswadân (Tidak ada kehidupan untuk kami kecuali dua yang hitam).” Yang ia maksudkan dengan al-aswadân (dua yang hitam) adalah kurma dan air. Kurma adalah hitam, sedangkan air adalah putih. Lalu at-tamru (kurma) yang hitam didominankan dan keduanya disebut dengan sifatnya. Padahal keduanya adalah mudzakar. Namun, orang Arab tidak suka menyebutkan lafal al-bayâdh karena merancukan pada al-barash (kusta). Oleh karena itu mereka (orang Arab) menyebut warna kulit putih dengan sebutan al-ahmar bukan al-abyadh. Di antaranya itu digunakan dalam sabda Rasul saw: “Bu’itstu ilâ al-aswada wa al-ahmara (Aku diutus kepada orang berkulit hitam dan berkulit putih).”

Demikianlah Arang arab menggunakan lafal umum secara at-taghlîb agar juga mencakup selain satuan dalam jenisnya. Namun, itu bukan ketentuan asal. Penggunaan at-taghlîb itu karena adanya hubungan antara satuan jenisnya dengan selainnya itu atau karena sebab tertentu. Dilihat dari sisi ini, at-taghlîb itu serupa dengan majaz, bahkan sebagian ulama menilainya termasuk majaz. Selain itu penggunaan at-taghlîb itu dimaksudkan untuk menonjolkan makna tertentu dan memberikan impresi yang lebih.

WalLâh a’lam wa ahkam.  [Yoyok Rudianto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 5 =

Back to top button