Riwayat Dua Jenderal yang Bertikai
Kehidupan di ibukota Sudan, Khartoum, dan di banyak bagian lain negara itu, tiba-tiba berubah secara dramatis menjadi lebih buruk. Ada dua jenderal di jantung krisis ini: Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin Angkatan Bersenjata Sudan (SAF), dan Mohammed Hamdan Dagalo, yang lebih dikenal sebagai Hemedti, kepala dari kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Kedua jenderal itu dulunya bekerjasama, melakukan kudeta Bersama. Namun, kini pertempuran mereka demi meraih supremasi justru menghancurkan Sudan.
Keduanya memainkan peran kunci dalam kelompok pemberontak Darfur dalam perang saudara di wilayah barat Sudan yang dimulai pada 2003. Jenderal Burhan mengendalikan tentara Sudan di Darfur. Hemedti merupakan komandan salah satu dari banyak kelompok milisi Arab, yang dikenal sebagai Janjaweed, yang digunakan pemerintah untuk menumpas secara brutal kelompok pemberontak Darfur yang sebagian besar merupakan non-Arab.
Majak D’Agoot saat itu merupakan Wakil Direktur Badan Intelijen dan Keamanan Nasional, sebelum dia menjadi wakil menteri pertahanan di Sudan Selatan ketika wilayah itu memisahkan diri pada 2011. Dia bertemu Jenderal Burhan dan Hemedti di Darfur, dan mengatakan bahwa mereka telah bekerja sama dengan baik.
Kekuatan Hemedti berkembang secara masif begitu dia mulai memasok pasukan untuk berperang bagi koalisi pimpinan Saudi di Yaman. Penguasa militer Sudan pada saat itu, Omar al-Bashir, mengandalkan Hemedti dan RSF sebagai penyeimbang angkatan bersenjata reguler, dengan harapan akan terlalu sulit bagi kelompok bersenjata mana pun untuk menggulingkannya. Pada akhirnya, setelah berbulan-bulan aksi protes, para jenderal bersatu untuk menggulingkan Bashir pada April 2019.
Belakangan, masih dalam tahun yang sama, mereka menandatangani perjanjian dengan para pengunjuk rasa untuk membentuk pemerintahan sipil yang diawasi oleh Dewan Berdaulat, yakni sebuah badan gabungan sipil-militer di mana Jenderal Burhan menjadi pemimpinnya dan Hemedti sebagai wakilnya. Ketegangan antara tentara dan RSF meningkat seiring dengan kian dekatnya tenggat waktu untuk membentuk pemerintahan sipil, yang fokus pada persoalan pelik soal bagaimana RSF harus diintegrasikan kembali ke dalam angkatan bersenjata reguler. [Sumber: BBC]