Tujuan Rasul saw. Diutus
(Tafsir QS al-Fath [48]: 8-9)
إِنَّآ أَرۡسَلۡنَٰكَ شَٰهِدٗا وَمُبَشِّرٗا وَنَذِيرٗا ٨ لِّتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُۚ وَتُسَبِّحُوهُ بُكۡرَةٗ وَأَصِيلًا ٩
Sungguh Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya dan bertasbih kepada-Nya pada waktu pagi dan petang. (QS al-Fath [48]: 8-9).
Ayat ini menerangkan tentang tugas yang diemban oleh Rasulullah saw. kepada manusia. Kemudian dilanjutkan dengan kewajiban manusia yang menjadi sasaran dakwah beliau.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
إِنَّآ أَرۡسَلۡنَٰكَ شَٰهِدٗا وَمُبَشِّرٗا وَنَذِيرٗا ٨
Sungguh Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.
Ayat ini diawali dengan huruf « إِنَّ » yang berguna sebagai at-ta’kîd (untuk mengukuhkan). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada Nabi saw.1 Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT telah mengutus Rasulullah saw. Tidak disebutkan kepada siapa beliau diutus. Namun, telah maklum beliau diutus seluruh manusia (Lihat: QS Saba‘ [34]: 28; QS al-A’raf [7]: 158).
Kata « شَاهِدًا » berkedudukan sebagai hâl dari kâf al-khithâb.2 Maknanya: “Kami telah mengutus engkau, wahai Rasul yang mulia, kepada manusia agar dia menjadi syâhid (saksi).3
Kata « شَاهِد » (saksi) merupakan ism al-fâ’il dari kata « شهِدَ، يَشهَد ». Secara bahasa, kata tersebut memiliki dua makna. Pertama, bermakna « حضَر » (hadir), seperti dalam kalimat: « شهِد المجلس ». Artinya: « حضَر » (dia menghadiri-nya). Kedua, bermakna « رآ وعاين » (melihat dan menyaksikan) (seperti dalam QS al-Hajj [22]: 28).4
Dalam konteks ayat ini, makna kedua lebih tepat dan relevan, yakni menjadi saksi. Ini pula yang dijelaskan oleh para mufassir. Artinya, Rasulullah saw. dijadikan sebagai saksi atas perbuatan-perbuatan umat beliau. Di antara yang menafsirkan demikian adalah Ibnu Jarir ath-Thabari, al-Khazin, dan lain-lain.5
Menurut Muhammad al-Amin al-Harari, Rasulullah saw. menjadi syâhid (saksi) pada Hari Kiamat atas umatnya dengan membenarkan orang yang membenarkan beliau dan mendustakan orang yang mendustkan beliau. Ini seperti firman Allah SWT (Lihat juga QS al-Baqarah [2]: 143).6
Tugas menjadi saksi itu meniscayakan beliau untuk menjadi penyampai risalah. Setelah risalah disampaikan, maka orang-orang yang bersikap inkar dan kufur tidak ada lagi memiliki alasan. Tugas Rasulullah saw menjadi saksi atas umatnya itu diwujudkan dalam bentuk tablîgh al-risâlah (menyampaikan risalah). Ini sebagaimana penjelasan asy-Syaukani, bahwa makna ayat ini adalah: “Kami mengutus engkau sebagai saksi atas umatmu dengan menyampaikan risalah kepada mereka.”7
Qatadah juga berkata, “Menjadi saksi atas umatnya bahwa beliau telah menyampaikan kepada mereka.”8
Menurut sebagian mufassir, selain menjadi saksi atas umatnya, beliau juga menjadi saksi atas keesaan Allah SWT dan kesempurnaan mutlak hanya milik-Nya. Ini di antaranya menurut Abu Bakar al-Jazairi dan Abdurrahman as-Sa’di.9 Abdurrahman as-Sa’di berkata, “(Menjadi saksi) atas umatmu pada semua perbuatan baik dan buruk yang mereka kerjakan; menjadi saksi atas berbagai perkataan dan masalah baik yang benar maupun yang batil; dan menjadi saksi atas Allah SWT dengan keesaan dan kesempurnaan dari aspek.”10
Kemudian disebutkan « مُبَشِرًا ». Kata tersebut merupakan ism al-fâ’il dari kata « بشَّرَ » yang berarti memberikan kabar yang menggemberikan.11 Dengan demikian Rasulullah saw. ditugaskan sebagai pemberi kabar gembira. Kabar gembira itu disampaikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Menurut al-Khazin, beliau menjadi pembawa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan taat kepada beliau dengan pahala.12
Ibnu Jarir ath-Thabari juga menuturkan, Rasulullah saw. menjadi pemberi berita gembira kepada mereka dengan surga jika mereka mau menerima agama yang lurus yang didakwahkan Rasulullah saw. kepada mereka.13
Lalu dinyatakan: « نَذِيرًا ». Kata ini berarti mundzir. Ini adalah bentuk fâ’il dari kata al-indzâr. Jika at-tabsyîr berarti informasi yang menggembirakan maka al-indzâr adalah informasi yang menakutkan.14
Dengan demikian Rasulullah saw. juga menjadi pemberi peringatan. Peringatan tersebut disampaikan kepada orang-orang yang ingkar dan bermaksiat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Menurut Ibnu Jarir, beliau menjadi pemberi peringatan kepada mereka dengan azab jika mereka berpaling dari agama dari Allah SWT yang dibawa beliau.15
Selain dalam ayat ini, semua tugas Nabi saw ini juga disebutkan dalam firman Allah SWT yang lain (Lihat, misalnya: QS al-Ahzab [33]: 45).
Dalam ayat berikutnya disebutkan:
لِّتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ٩
…supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Huruf al-lâm di awal ayat ini memberikan makna li al-ta’lîl (memberikan penjelasan sebab).16 Adh-Dhamîr al-mukhâthab (kata ganti orang kedua, yang diajak bicara) dalam ayat ini menunjuk kepada manusia yang menjadi objek dakwah Rasulullah saw.17 Bisa juga mencakup Rasulullah saw. dan umatnya. Karena itu terjadi perubahan khithâb yang sebelumnya khusus kepada Rasulullah saw., meluas menjadi umum. Ini seperti firman Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ ١
Wahai Nabi, jika kalian menceraikan istri-istri kalian (QS al-Thalaq [65]: 1).18
Pada awalnya seruannya bersifat khusus kepada Nabi saw., yakni firman-Nya: « يا أَيُّهَا النَّبِيُّ ». Kemudian dilanjutkan dengan seruan yang bersifat umum, yakni: « طَلَّقْتُمُ » (kalian menceraikan). Di antara alasan pendapat ini adalah bahwa Rasul saw. juga diperintahkan untuk beriman bahwa beliau adalah utusan Allah SWT.19
Dengan demikian pengutusan Rasulullah saw. sebagai saksi, penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan adalah agar manusia beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Abdurrahman as-Sa’di menafsirkan, “Dengan sebab dakwah dan pengajaran beliau yang bermanfaat bagi kalian, Kami mengutus dia agar kalian beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal itu mengharuskan ketaatan kepada keduanya dalam semua urusan.”20
Selain beriman, juga melakukan beberapa perbuatan yang menjadi konsekuesninya. Disebutkan:
وَتُعَزِّرُوهُ ٩
…dan menguatkan (agama)-Nya.
Ada beberapa penafsiran tentang frasa ini. Sebagian menafsirkan frasa ini sebagai mengagungkan, memuliakan, dan menghormati beliau. Di antaranya adalah penafsiran Ibnu Abbas dalam suatu riwayat. Menurut Ibnu Abbas, penggalan ayat tersebut bermakna mengagungkan beliau.21
Al-Hasan dan al-Kalbi juga menafsirkan frasa ini dengan: « تُعَظِّمُوهُ وَتُفَخِّمُوه » (mengagung-kan dan memuliakan beliau). Makna « التعزير » adalah « التَّعْظِيمُ وَالتَّوْقِير » (pengagungan dan penghormatan).22
Menurut pendapat lainnya bermakna menolong beliau. Ini sebagaimana dikemukakan al-Alusi.23 Menurut al-Khazin, at-ta’zîr adalah menolong disertai dengan sikap ta’zhiim (perhomatan). Dengan demikian makna watu’azzirûhu adalah memperkuat dan menolong beliau.24
Qatadah juga menafsirkan: tanshurûnahu wa tamna’û minhu (menolong dan membantu beliau). Di antaranya adalah kata at-ta’zîr yang digunakan untuk menunjuk hukuman, yang berarti al-mâni‘ (pencegah).25 Ibnu Abbas—dalam riwayat lainnya—dan Ikrimah menafsirkan frasa tersebut dengan berperang bersama beliau.26
Kemudian disebutkan:
وَتُوَقِّرُوهُۚ ٩
…dan membesarkan-Nya
Menurut al-Khazin, « التَّوْقِير » berarti « التَّعْظِيمُ وَالتَّرْزِينُ » (sikap menghormati dan memuliakan).27 Tak jauh bebeda, menurut Ibnu Katsir makna at-tawqîr adalah « الِاحْتِرَامُ وَالْإِجْلَالُ وَالْإِعْظَامُ » (menghormati, memu-liakan dan mengagungkan).28 Al-Baidhawi dan al-Alusi menafsirkan frasa ini dengan: « تُعَظِّمُوه » (mengagungkannya).29
Lalu dilanjutkan:
وَتُسَبِّحُوهُ بُكۡرَةٗ وَأَصِيلًا ٩
…dan bertasbih kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.
Kata at-tasbîh berarti at-tanzîh (menyucikan) dari segala kekurangan; bisa pula dari at-subhah yang berarti shalat.30
Kata bukrah berarti pagi hari, sedangkan ashîl berarti sore hari. Menurut Fakhruddin ar-Razi, penggunaan dua kata tersebut bisa menunjukkan kontinuitas. Bisa juga itu merupakan perintah yang berbeda dengan apa dilakukan oleh orang-orang musyrik. Sebabnya, dulu orang-orang musyrik itu berkumpul untuk menyembah patung-patung di Ka’bah pada pagi hari dan sore hari. Karena itu mereka pun diperintahkan untuk bertasbih pada waktu-waktu yang dahulu mereka mengerjakan perbuatan keji dan kemungkaran.31
Mengenai dhamîr al-ghâib pada kata tusabbihûhu (bertasbih kepada-Nya), tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahwa ia kembali kepada Allah SWT.32 Akan tetapi pada dua kata sebelumnya, yakni: watu’azzirûhu wa tuwaqqirûhu terdapat perbedaan pendapat. Menurut sebagian, dua al-dhamîr al-ghâib itu kembali kepada Rasulullah saw. Dengan demikian maknanya: kamu mau menolong dan memuliakan Rasulullah saw. Di antara yang memilih pendapat ini adalah Imam al-Qurthubi, adh-Dhahhak, dan lain-lain.33
Menurut pendapat sebagian yang lain, dua kata itu kembali kepada Allah SWT. Dengan demikian ia memberikan makna: menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Di antara yang memilih pendapat ini adalah Fakhruddin ar-Razi.34
Abu Bakar al-Jazairi menggabungkan kedua penafsiran tersebut. Menurut al-Jaziri, watu’azzirûhu wa tuwaqqirûhu, yakni menolong dan mengagungkan Allah SWT dan Rasulullah saw.35
Demikianlah. Rasulullah saw diutus menjadi saksi tentang keesaan Allah SWT. Beliau juga menjadi saksi atas manusia, bahwa beliau telah menyampaikan risalah kepada mereka. Beliau pun ditugaskan untuk menjadi penyampai kabar gembira kepada siapa yang mau beriman dan mengikuti risalah tersebut dengan surga-Nya dan menjadi pemberi peringatan kepada orang-orang yang mengingkari dan menentangnya dengan neraka. Dengan penyampaian risalah tersebut kepada mereka, disertai dengan penyampaian kabar gembira dan peringatan, diharapkan mereka mau beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya; mau menolong, mengagungkan dan mensucikan-Nya. Semoga kita termasuk di dalamnya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 155. Lihat juga al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22 (tt: al-Risalah, 2000), 206
2 Abu Bilal, al-Mujtabâ min Musykil I’râb al-Qur‘ân, vol. 4 (Madinah: Majma’ al-Malik Fahd, tt), 1209
3 Sayyid Thanthawi, al-Tafsîr al-Wasîth li al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 13 (Dar al-Nahdhah, 1998), 264
4 Lihat Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 2 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 1240
5 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22, 206; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 155
6 Lihat al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 27 (Beirut: Dar Thawq al-Najah, 2001), 241.Lihat juga al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 334; al-Alusi, Rûh al-Ma;ânî, vol. 13, 249
7 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 56
8 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22, 206. LIhat juga pada al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 266
9 al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 97; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 792
10 al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 792
11 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 207
12 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 155
13 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22, 206
14 al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 797
15 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22, 206
16 Mahmud Shafi, al-Jadwal fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 26 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 246
17 al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 334; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 155
18 al-Alusi, Rûh al-Ma;ânî, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 249; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 56; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1998), 127
19 Lihat Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr , vol. 26 (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984), 55
20 al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 792
21 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 329
22 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 266
23 al-Alusi, Rûh al-Ma;ânî, vol. 13, 250
24 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 155
25 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 266
26 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 267
27 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 155
28 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 329
29 al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 127; al-Alusi, Rûh al-Ma;ânî, vol. 13, 250
30 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 267; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 155
31 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 28, 73
32 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 267
33 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 267; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 792
34 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 28, 73
35 al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 97