Nisa

Relokasi Rempang Mengorbankan Anak dan Perempuan

Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2022 terdapat 32 letusan konflik agraria. Luasan konflik mencapai 102 ribu hektar dan berdampak pada 28 ribu keluarga.

 

Tanah mewakili elemen penting bagi keberlangsungan peradaban manusia sejak lama. Karena itu konflik agraria adalah jenis konflik tertua sepanjang sejarah manusia. Sayangnya setiap konflik pasti meminta korban. Korban terbanyak biasanya adalah kaum perempuan, lansia dan anak. Mereka tergolong the vulnerable people, yang paling tidak punya kendali atas lahan.

Data KPA yang dikutip di atas menyebut luas lahan berkonflik sepanjang 2022 mencapai 102 ribu hektar dan berdampak pada 28 ribu keluarga. Angka ini sebagian besar pasti adalah kaum lemah. Perempuan dan anak harus menanggung penderitaan dengan level yang tidak proporsional akibat konflik agraria di Indonesia yang terus terjadi. Catatan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan peningkatan konflik agraria di Indonesia. Pada 2022 tercatat 212 kasus konflik agraria. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya, sebanyak 207 kasus. Dampak konflik meluas. Pada 2020, konflik lahan terdampak pada 135.337 keluarga jadi 198.859 keluarga. Keadaan ini menunjukkan bahwa konflik sudah menyasar lokasi padat penduduk, kampung-kampung maupun wilayah adat.

Meletusnya bentrokan di Rempang-Batam yang terjadi pada 7 September 2023 kemarin juga memperkuat hal itu. Bentrok itu membuat banyak anak dan kaum perempuan tak pelak menjadi korban. Penembakan gas air mata di dekat sekolah SDN 24 dan SMPN 22 Galang mengakibatkan kepanikan, ketakutan, hingga luka fisik pada anak-anak yang sedang melakukan pembelajaran. Menurut KontraS, sedikitnya 20 warga mengalami luka berat maupun ringan akibat kerusuhan tersebut. Mereka terdiri dari kalangan anak-anak, perempuan dan lansia. Aparat dinilai telah menggunakan “kekuatan berlebih” dan secara “serampangan” menembakkan gas air mata.

 

Proyek Gajah Putih dan Relokasi “Mie Instan”

Manajer Kampanye WALHI Parid Ridwanuddin mengatakan proyek Rempang Eco City seperti proyek mie instan. Semuanya serba cepat. Bahkan terkesan terburu-buru. Menurut Parid, Pemerintah memperlakukan proyek tersebut seperti membuat mie instan. Hanya ingin cepat jadi, padahal tidak direncanakan dengan matang. “Dari proses ini, mengapa kami sebut mie instan, ya karena analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) nggak ada. Kajian lingkungan strategis nggak ada,” ujar Parid (Tempo, 27 September 2023).

Rancangan relokasi yang dibuat BP Batam pun baru dibuka ke publik setelah ada desakan masyarakat. BP Batam telah menetapkan jadwal relokasi sementara untuk masyarakat Rempang Galang akan dimulai pada 20 September 2023. Adapun lokasi untuk relokasi sementara itu di antaranya Rusun BP Batam, Rusun Pemerintah Kota Batam, Rusun Jamsostek dan Ruko dan Perumahan. (Batam Pos, 8 September 2023).

Padahal menurut narasumber di lapangan, keberadaan rusun-rusun ini sudah hampir penuh terisi oleh keluarga buruh-buruh pabrik yang bekerja di kawasan industri Batam.

Di sisi lain penyiapan lokasi baru di Pulau Galang juga belum menunjukkan adanya kepastian. Setelah masyarakat Rempang Galang direlokasi ke tempat sementara, BP Batam akan melakukan pematangan lahan. Ini akan dilakukan selama 6 bulan setelah penunjukan penyedia jasa. Target dari pematangan lahan ini akan dimulai pada 1 Oktober 2023. Kemudian pembangunan rumah baru di daerah Dapur 3, dilaksanakan selama 12 bulan setelah pematangan lahan. Hunian tahap 1 ditargetkan baru akan selesai pada bulan Agustus 2024 mendatang. Jadi selama satu tahun warga Rempang akan hidup mengungsi. Anak-anak bersekolah sementara dititipkan ke berbagai sekolah yang ada.

Sangat kentara perencanaan ini dibuat dadakan. Tidak diantisipasi dari jauh-jauh hari. Nasib rakyat jelas bukan menjadi prioritas utama Pemerintah dibandingkan dengan keberadaan proyek strategis nasional. Proyek-proyek ini laksana gajah putih atau “white elephant projects”. Proyek yang dibangun ini tampak megah, padahal berbiaya tinggi, minim manfaat sosial, bahkan menjadi beban ekonomi dan ekologi secara jangka panjang. Metafora ini diambil dari budaya Thailand pada masa Kerajaan Siam,. Gajah putih dengan kualitas rendah akan diberikan sebagai hadiah kepada teman dan sekutu raja Siam. Hewan ini membutuhkan banyak perawatan. Karena suci, dia tidak dapat disuruh untuk bekerja. Hal ini menjadikan gajah putih sebagai beban keuangan serta kerepotan yang besar pada penerima hadiah atau pemiliknya.

 

Ancaman bagi Rumah Tangga Muslim

Dewi Sartika dari KPA menyatakan bahwa darurat agraria hari ini terjadi karena jumlah masyarakat yang terdampak meningkat hingga hampir 50% dari tahun sebelumnya. Ini menunjukkan konflik agraria sebenarnya sudah masuk ke wilayah-wilayah pemukiman padat, kampung-kampung dan wilayah adat.

Ketika pemukiman menjadi sengketa maka ancaman keberlangsungan hidup banyak rumah tangga menjadi taruhan. Pasalnya, tanah adalah bagian dari kebutuhan ‘papan’ rakyat yang menyediakan banyak hal untuk ruang hidup keluarga Muslim, termasuk tanah untuk perumahan, pendidikan, kesehatan juga kebutuhan pangan dan gizi bagi manusia.

Rencana relokasi “mie instan” di Rempang bisa dipastikan juga membuat ribuan anak dan Perempuan Rempang akan tergusur. Artinya, ribuan anak dipaksa putus sekolah sementara. Banyak ayah akan kehilangan pekerjaan. Kaum ibu pun akan kehilangan rumahnya meskipun diiming-imingi lahan pengganti rumah.

Pemantauan media tanggal 6 Oktober menunjukkan dari total dua ribu lebih pelajar di tingkat pendidikan PAUD, SD dan SMP di Pulau Rempang baru belasan pelajar yang mulai pindah ke sekolah sementara di Batam.

Pembangunan kapitalistik  memang sering menempatkan warga menjadi faktor yang paling tidak penting. Wajar banyak terjadi konflik. Terutama disebabkan oleh dominasi korporasi. Sekjen KPA Dewi Sartika mengatakan saat ini Indeks Ketimpangan Penguasaan Lahan berada pada posisi terburuk sejak UUPA No. 5 tahun 1960 disahkan. Ini disebabkan oleh massifnya kegiatan ekspansi-ekspansi bisnis korporasi ataupun pembangunan skala besar. Mulai sektor perkebunan sawit, hutan tanaman industri,  pertambangan, hingga pembangunan infrastruktur.

Sebanyak 68 persen tanah di seluruh daratan di Indonesia saat ini telah dikuasai oleh satu persen kelompok pengusaha dan badan korporasi skala besar. Hanya satu persen yang diperebutkan oleh 99 persen masyarakat yang tersisa. Ketimpangan lahan ini menjadikan pembangunan tidak berkelanjutan karena aktor-aktor pembangunan mengabaikan unsur paling penting dari peradaban.

Manusia seharusnya menjadi pusat pembangunan. Ketika arus pembangunan bergerak di dalam poros materi dan benda, maka manusia menjadi unsur yang paling tidak berharga, baik di dalam masyarakat itu sendiri, maupun di luarnya.

 

Perlindungan Islam

Islam tidak memandang anak dan perempuan sebagai objek yang mudah dipinggirkan hanya karena mereka lemah. Justru Islam memerintahkan bahwa mereka adalah kalangan yang pertama kali harus mendapat perlindungan dan jaminan nafkah (sandang, pangan dan papan) dari wali mereka termasuk negara. Abu Yusuf dalam kitabnya Al-Kharaaj mengatakan: “Ketika keadilan ditegakkan, ketika perlakuan adil diberikan kepada para korban kezaliman, dan ketika penindasan dan kezaliman dihindari, maka selain menjamin keselamatan manusia, peningkatan kesejahteraan suatu bangsa akan terwujud dan pendapatan juga meningkat. Kebaikan/berkah berkaitan dengan tegaknya keadilan dan bukan dengan penindasan dan tirani. Pajak apa pun yang dikumpulkan melalui penindasan akan mengarahkan pada kehancuran negara.”

Sistem ekonomi Kapitalisme menjadikan tanah sebagai komoditas perdagangan bebas. Akibatnya, tanah banyak jatuh ke dalam penguasaan para pemilik modal. Berbeda dengan Islam. Islam memandang tanah dan segala sumberdaya yang terkandung di dalamnya adalah milik Allah. Tidak boleh ada seorang pun yang menguasai kecuali jika Asy-Syaari’ memberikan izin. Prinsip ini terekam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Thawus:

عَادِي اْلأَرْضِ لله وَلِرَسُوْلِهِ ثُمَّ هِيَ لَكُمْ

Hak dasar tanah adalah milik Allah dan milik Rasul-Nya. Selanjutnya hak itu adalah milik kalian (Yahya ibn Adam al-Qarsy, Al-Kharaaj, I/82).

 

Lahan untuk perumahan juga menempati posisi vital dalam Islam. Pasalnya, konsep rumah dalam Islam sangat fundamental dalam pengembangan keluarga Muslim. Ini adalah mikrokosmos budaya dan peradaban Islam. Di sanalah perempuan berperan sentral untuk membesarkan anak-anak mereka. Area pemukiman merupakan pusat pendidikan dan pengembangan yang pertama dan paling penting. Sebaliknya, jika lahan pemukiman diabaikan dan tidak mendapat prioritas penataan maka fungsi bangunan keluarga akan terdistorsi, kompleks hunian berpotensi menjadi tempat berkembang biaknya berbagai penyakit sosial. Jika dibiarkan, ini dapat melumpuhkan seluruh komunitas dan menghambat upaya membangun peradaban umat.

 

  1. Islam melindungi perempuan dan kaum lemah.

Islam adalah ideologi yang sangat fokus pada perlindungan kaum lemah. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya. Siapa saja yang, meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami.” (HR Muslim).

Yang dimaksud kalla adalah orang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orangtua. Dalam Pasal 156 draft konstitusi Khilafah dinyatakan: “Negara menjamin biaya hidup bagi orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, atau tidak ada orang yang wajib menanggung nafkahnya. Negara berkewajiban menampung orang lanjut usia dan orang-orang cacat.”

 

  1. Negara Islam menempatkan basis utama kebijakan ekonominya untuk pemenuhan kebutuhan hidup rakyat.

Khilafah akan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam. Penerapan berbagai kebijakan menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, termasuk kebutuhan akan tanah. Syariah Islam membolehkan adanya kepemilikan individu atas tanah dengan hak kepemilikan penuh (freehold) dan hak pakai atas tanah, serta hak untuk mewariskan. Hal ini dilengkapi dengan adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka.

 

  1. Islam mencegah kezaliman dalam segala bentuknya.

Membiarkan kezaliman berlangsung adalah perbuatan dosa dan maksiat. Ini diharamkan oleh Allah SWT. Termasuk dalam masalah tanah. Rasulullah saw, “Siapa saja yang mengambil sesuatu (sebidang tanah) dari bumi yang bukan haknya maka pada Hari Kiamat nanti dia akan dibenamkan sampai tujuh bumi.” (HR al-Bukhari).

Jika negara membiarkan kezaliman berlangsung, maka seluruh rakyat (kaum Muslim) harus melakukan amar makruf nahi mungkar, mengkritik penguasa, dan meluruskannya. Jadi, bukan kewajiban rakyat yang tergusur semata, tetapi sudah menjadi kewajiban seluruh rakyat (kaum Muslim) menyingkirkan kezaliman. Jika rakyat tidak mampu meluruskan penguasanya, persoalan ini dilimpahkan kepada Mahkamah Mazhalim. Keputusan Mahkamah Mazhalim wajib dijalankan. Pembangkangan penguasa atas keputusan ini membolehkan kaum Muslim memaksa penguasa tersebut tunduk pada keputusan Mahkamah Mazhalim meski dengan fisik/senjata. [Dr. Fika Komara]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seven − one =

Back to top button