
Dalil Kulliy dan Dalil Juz’iy
Soal:
Di dalam Kitab Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah (I/203) dinyatakan pada topik “Al-Ijtihâd”: “Karena ijtihad adalah istinbâth hukum dari nas, ia bisa berupa istinbâth hukum kulliy dari dalil kulliy. Misal, istinbâth (penggalian hukum) bahwa perampas dijatuhi sanksi di-istinbâth dari dalil bahwa Asy-Syâri’ menjadikan potong tangan sebagai hadd untuk pencurian. Bisa juga berupa istinbâth hukum juz’iy dari dalil juz’iy. Misal, istinbâth hukum ijârah dari dalil bahwa Rasul saw. pernah mempekerjakan seorang pekerja.”
Dinyatakan pula dalam Kitab Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah (3/445) pada topik “Al-Qawâ’id al-Kulliyah”: “Kaidah-kaidah kulliyah dan definisi syar’iyyah (at-ta’ârif asy-syar’iyyah) merupakan hukum kulliy. Adapun hukum syar’iy maka itu merupakan hukum juz’iy.”
Pertanyaannya: Apakah dalil kulliy dan dalil juz’iy itu? Mengapa dalil potong tangan pencuri disebut dalil kulliy, sementara dalil kebolehan ijârah disebut dalil juz’iy?
Jawab:
Pertama: Terkait dalil kulliy dan dalil juz’iy. Perkara ini telah dirinci di dalam Kitab Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah Juz 3 bab “Al-Qawâ’idu al-Kulliyah”, di dalam Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah Juz 1, juga di dalam Al-Kurâsah. Jadi perkara ini dapat dirujuk pada kitab-kitab tersebut. Namun, untuk lebih mendekatkan (pada pemahaman), berikut jawabannya secara ringkas:
Jika dari dalil atau beberapa dalil dapat di-istinbâth kaidah syar’iyyah yang di bawahnya terderivasi hukum-hukum syariah lainnya, selain yang dinyatakan di dalam dalil atau beberapa dalil itu, dan tidak dengan jalan qiyas—yakni tanpa hukum baru itu dikiaskan pada hukum yang disebutkan di dalam nas itu, tetapi terderivasi, seperti sebagai bagian-bagian dari kaidah itu—maka ketika itu kaidah tersebut merupakan kaidah kulliyah dan hukum yang terderivasi di bawahnya merupakan hukum kulliy. Pada galibnya, di antara kaidah dan hukum syariah yang terderivasi di bawahnya itu terdapat apa yang menyerupai ‘illat (atau pada posisi ‘illat [bi mutsâbati al-‘illat]) dan kadang berupa ‘illat yang hakiki. Dinyatakan di dalam Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah Juz 3 bab “Al-Qawâ’id al-Kulliyah” halaman 455:
Maka dari itu, menjadi jelas bahwa kaidah kulliyah membuat hukum itu pada posisi ‘illat (bi mutsâbati al-‘illat) untuk hukum kulliy karena keberadaannya sebagai sebab untuk hukum tersebut, yakni karena keberadaannya sebagai hasil darinya atau yang disusun di atasnya, atau membuatnya sebagai ‘illat yang hakiki (‘illat haqîqiyah) untuk hukum kulliy. Kaidah itu merupakan hukum kulliy yang berlaku atas bagian-bagiannya. Oleh karena itu, ia berlaku atas setiap hukum yang berlaku atasnya sebagaimana berlakunya dalil yang membawanya dan tidak dikiaskan terhadapnya secara qiyas. Akan tetapi, bagian-bagiannya itu terderivasi di bawahnya, yakni masuk di bawah mafhûm-nya atau manthûq-nya. Ini sama persis sebagaimana masuk di bawah dalâlah dalil. Juga ber-istidlâl dengannya sama seperti ber-istidlâl dengan dalil tersebut. Kaidah kulliyah diperlakukan sebagaimana perlakuan qiyas. Hanya saja, kaidah kulliyah itu bukan seperti qiyas sebagai dalil syariah dan tidak menjadi pokok dari ushul syariah. Kaidah kulliyah itu tidak lain merupakan hukum syariah yang di-istinbâth (dari dalil-dalil syariah) sebagaimana semua hukum syariah. Jadi kaidah kulliyah itu tidak menjadi dalil.
Kedua: Untuk lebih jelas, berikut dua contoh dari Kitab Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah (3/454-455) yang satu pada posisi ‘illat (bi mutsâbati al-‘illat) dan yang lainnya berupa ‘illat.
Contoh pertama: Firman Allah SWT: Wa lâ tasubbû al-ladzîna yad’ûna min dûnilLâhi fayasubbulLâh ‘adw[an] bi ghayri ‘ilm[in] (Janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan) (TQS al-An’am [6]: 108).
Huruf al-fâ‘ pada “fayasubbû (karena mereka nanti memaki)” memberikan faedah bahwa makian kalian kepada berhala-berhala sesembahan mereka bisa menyebabkan makian mereka kepada Allah. Ini adalah haram. Akibatnya, makian kalian terhadap berhala-berhala mereka dalam kondisi ini adalah haram. Jadi, seolah-olah itu merupakan ‘illat. Larangan memaki orang-orang kafir adalah dalil hukum. Hal itu, selain dalâlah-nya terhadap hukum, juga menunjukkan pada sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya, yakni ketika Allah berfirman: “fa yasubbûlLâh (karena mereka nanti memaki Allah)”. Lalu dari dalil ayat ini di-istinbâth kaidah, “Al-Wasîlatu ilâ al-harâm harâm[un] (Sarana yang mengantarkan pada keharaman adalah haram).”
Contoh kedua: Sabda Rasul saw., “Al-Muslimûna syurakâ’[un] fî tsalâts[in]: fî al-kalaa’i wa al-mâ’i wa an-nâri (Kaum Muslim berserikat [memiliki hak yang sama] atas padang gembalaan, air dan api).” (HR Abu Dawud).
Namun, telah terbukti bahwa beliau menyetujui penduduk Thaif dan penduduk Madinah untuk memiliki air dengan kepemilikan individu. Dipahami dari air yang diizinkan untuk dimiliki sebagai kepemilikan individu bahwa itu tidak ada kebutuhan komunitas di dalamnya. Maka dari itu, ‘illat bahwa manusia berserikat (memiliki hak yang sama) dalam ketiga jenis harta itu adalah karena keberadaan ketiganya sebagai fasilitas jamaah (umum). Jadi dalil tersebut menunjukkan hukum, juga menunjukkan ‘illat hukum. Artinya, dalil itu menunjukkan hukum sekaligus menunjukkan sesuatu yang lain yang merupakan sebab pensyariatan hukum tersebut. Lalu dari situ di-istinbâth kaidah, “Kullu mâ kâna min marâfiq al-jamâ’ah kâna milkiyat[an] ‘âmat[an] (Apa saja yang termasuk ke dalam fasilitas jamaah maka merupakan kepemilikan umum).”.
Setelah itu kitab tersebut menambahkan:
Dari situ menjadi jelas bahwa kaidah kulliyah membuat hukum itu pada posisi ‘illat (bi mutsâbati al-‘illat) untuk hukum kulliy karena keberadaannya sebagai sebab untuk hukum kulliy itu, yakni karena keberadaannya sebagai hasil untuknya atau akibat atasnya, atau membuatnya sebagai ‘illat yang hakiki untuk hukum kulliy. Jadi, kaidah merupakan hukum kulliy yang berlaku atas bagian-bagiannya. Oleh karena itu, ia berlaku atas setiap hukum yang sesuai atasnya, sebagaimana berlakunya dalil atas hukum yang ia datangkan, dan tidak dikiaskan terhadapnya secara qiyas, tetapi bagian-bagiannya itu terderivasi di bawahnya, yakni masuk di bawah mafhûm-nya atau manthûq-nya. Ini sama persis sebagaimana masuk di bawah dalalah dalil. Juga ber-istidlâl dengannya sama seperti ber-istidlâl dengan dalil. Jadi kaidah kulliyah diperlakukan dengan perlakuan qiyas. Semua apa yang sesuai atasnya kaidah tersebut maka mengambil hukumnya, kecuali ada nas syar’iy yang berbeda dengan apa yang ada di dalam kaedah tersebut, maka diamalkan sesuai dengan nas dan kaidah itu diabaikan. Hal itu sebagaimana keadaan dalam qiyas. Jika hukumnya dinyatakan nas syar’iy maka yang diambil adalah nas dan qiyas diabaikan. Hanya saja, kaedah kulliyah itu tidak seperti qiyas sebagai dalil syar’iy dan bukan pokok di antara ushul syariah. Kaidah kulliyah itu merupakan hukum syariah yang di-istinbâth dari dalil-dalil syariah sebagaimana semua hukum Syariah. Jadi, ia bukan merupakan dalil. Karena itu maka apa yang sesuai atasnya dinilai sebagai percabangan (tafrî’[an]) atasnya atau pada posisi pencabangan (bi mutsâbati at-tafrî’). Yang semisal kaidah kulliyah itu adalah definisi kulliy (ta’riif kulliy). Semua yang sesuai atasnya maka mengambil hukumnya, kecuali hukumya telah dinyatakan oleh nas syar’i maka yang diambil adalah yang dinyatakan oleh nas.
Ketiga: Sekarang mengenai pertanyaan tentang pencurian dan ijaraah. Allah SWT berfirman: Wa as-sâriqu wa as-sâriqatu fa[i]qtha’û aydiyahumâ jazâ‘an bimâ kasaba nakâlan minallâhi wallâhu ‘azîzun hakîmun (Pencuri laki-laki dan perempuan, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana) (TQS al-Maidah [5]: 38).
Dari dalil ini mungkin di-istinbâth kaidah kulliyah bahwa “al-i’tidâ‘u ‘alâ amwâli an-nâs muharramun wa ‘alayhi ‘uqûbatun (penyerangan terhadap harta orang adalah haram dan terhadap pelakunya dijatuhi sanksi)”. Ini karena mungkin dikatakan bahwa nas pencurian mengandung apa yang menyerupai ‘illat (yusybihu al-‘illat) atau pada posisi ‘illat (bi mutsâbati al-‘illat), yaitu kaitan antara potong tangan dengan pencurian. Telah terjadi penyusunan potong tangan atas pencurian dengan huruf al-fâ‘ dan di sini itu adalah sababiyah (bersifat menyatakan sebab). Ada kaitan antara hukum “fa[i]qtha’û aydiyahumâ (maka potonglah tangan keduanya)“ dan yang mewajibkan potong tangan, yaitu pencurian dalam firman Allah: wa as-sâriqu wa as-sâriqatu (pencuri laki-laki dan perempuan).
Potong tangan hanya berkaitan dengan pencurian. Namun, ada keterkaitan antara hukum tersebut dan sebabnya. Hal itu memungkinkan mujtahid meredaksikan hukum kulliy yang mencakup keadaan-keadaan yang terderivasi di bawahnya. Maka dari itu dikatakan: “al-i’tidâ‘u ‘alâ amwâli an-nâs muharramun wa ‘alayhi ‘uqûbatun (penyerangan terhadap harta orang adalah haram dan terhadap pelakunya dijatuhi sanksi)”.
Di bawah hukum ini terderivasi bahwa terhadap perampas dijatuhkan sanksi, meskipun hukum perampas tidak disebutkan di dalam ayat tersebut. Karena itu ayat tersebut memberikan faedah bahwa hadd pencuri adalah potong tangan, sekaligus juga memberikan faedah berdasarkan atas susunannya secara bahasa bahwa orang yang menyerang harta orang lain maka layak dijatuhi sanksi. Karena itu dalil potong tangan pencuri itu merupakan dalil kulliy yang memberikan faedah hukum kulliy.
Adapun hukum ijârah yang diambil, misalnya, dari: “Anna Rasûlallâhi ista’jara rajulan min banî ad-dîli hâdiyan khirrîtan (Sungguh Rasulullah saw. pernah mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani ad-Dil sebagai penunjuk jalan).”
Di dalamnya tidak ada sesuatu yang bersifat kulliy dan tidak ada penyusunan sesuatu di atas sesuatu. Namun, ia adalah dalil yang darinya diambil faedah kebolehan ijârah. Jadi itu merupakan dalil juz’i yang memberikan faedah hukum juz’i. Ini tentu saja berbeda dengan definisi (ta’rîf) ijârah. Sebabnya, definisi (ta’rîf) disifati dengan kulliy sehingga di bawah definisi itu masuk jenis-jenis ijarah. Jadi definisi (ta’rîf) dari sisi ini memiliki sifat kulliy. Namun, dalil ijârah sendiri tidak disifati dengan kulliy sebab tidak mencakup selain topik ijârah.
Semoga perkaranya telah menjadi jelas.
[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, tertanggal 25 Jumadal Akhirah 1444 H – 18 Januari 2023 M]
Sumber:
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/86526.html
https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/727052175648821