
Islam Menutupi Apa yang Sebelumnya
Soal:
Dinyatakan di dalam Kitab Muqaddimah ad-Dustûr Jilid I Pasal 95 sebagai berikut:
Adapun proses atas kasus-kasus yang berkaitan dengan orang yang menyerang Islam dan kaum Muslim, maka hal itu karena ketika Fathu Makkah, Rasul saw. menumpahkan darah beberapa orang yang dulunya menyerang Islam dan kaum Muslim pada masa Jahiliah. Beliau menumpahkan darah mereka meskipun mereka bergantungan di penutup Ka’bah. Perlu dicatat bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Sungguh Islam menutupi apa yang sebelumnya (HR Ahmad dan ath-Thabarani dari Amru bin al-‘Ash).
Artinya, orang yang menyerang Islam dan kaum Muslim dikecualikan dari hadis ini.
Saya mencari realita kelompok orang-orang itu. Saya menemukan bahwa sebagian mereka dulunya seorang Muslim dan murtad dari Islam. Sebagian belum masuk Islam dan dibunuh. Siapa yang dulu Muslim dan murtad maka hukum asalnya adalah dihukum atas kemurtadannya. Adapun orang yang tetap dalam kemusyrikannya dan dulunya dia termasuk orang yang menyerang Islam dan kaum Muslim maka dijatuhi sanksi berupa hukuman mati atau diampuni sesuai dengan pandangan Imam kaum Muslim sebagaimana yang ada di pasal tersebut. Namun, dalam dua keadaan tersebut tidak berlaku atas mereka Islam yang menutupi apa yang sebelumnya. Sebabnya, apa yang kita ketahui bahwa “Islam menutupi apa yang sebelumnya” berlaku atas orang yang baru masuk Islam. Lalu mengapa hadis ini dijadikan argumentasi dalam pasal tersebut? Perlu dicatat bahwa sebagian Sahabat dulu mengangkat pedang dan melakukan perang terhadap kaum Muslim seperti Khalid bin al-Walid, Wahsyi bin Harb ra. tetapi Rasul saw tidak melakukan apapun terhadap mereka setelah keislaman mereka.
Jawab:
Tampaknya ada kerancuan dalam memahami permasalahan tersebut. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Tabarani dari Amru bin al-‘Ash:
Sesungguhnya Islam menutupi apa yang sebelumnya.
Hadis ini menunjukkan bahwa siapa yang masuk Islam dari kalangan orang-orang kafir, maka apa yang ada pada dirinya sebelum Islam dianggap seolah-olah tidak ada, yakni ia tidak dimintai pertanggungjawaban atas apa yang berasal darinya sebelum Islam. Masuknya dia ke dalam Islam menghapuskan dosa-dosa yang dia lakukan sebelum Islam karena Islam menghancurkan apa yang sebelumnya. Namun kenyataannya, Nabi saw. pada saat Fathu Makkah menumpahkan darah beberapa orang yang dulunya menyerang Islam dan kaum Muslim pada masa Jahiliah. Beliau menumpahkan darah mereka meskipun mereka bergantungan di kain penutup Ka’bah.
Dari sini dipahami bahwa mereka tetap dihukum karena apa yang dengan itu mereka menyerang kaum Muslim, hingga meski mereka masuk Islam. Sebabnya, sabda Nabi saw., “wa in ta’allaqaw bi astâri al-Ka’bah (meski mereka bergelantungan di kain penutup Ka’bah)“, menunjukkan bahwa Nabi saw. tidak mengecualikan keadaan masuknya mereka dalam Islam. Beliau tetap memerintahkan pembunuhan mereka di atas keadaan apapun. Jadi dari situ kita bisa memahami bahwa orang-orang yang menyerang Islam dan kaum Muslim dijatuhi sanksi atas apa yang mereka lakukan itu meski mereka masuk dalam Islam. Jadi hadis yang menyatakan “Sesungguhnya Islam menutupi apa yang sebelumnya” tidak mencakup mereka. Jadi mereka dikecualikan dari hadis ini, yakni serangan dari mereka terhadap Islam dan kaum Muslim tidak ditutupi oleh Islam. Mereka dijatuhi sanksi karena tindakannya itu. Urusan mereka setelah itu diserahkan kepada Imam (Khalifah). Jika Imam berkehendak, ia boleh memaafkan mereka. Jika ia berkehendak, ia juga boleh menghukum mereka.
Kesahihan pemahaman ini ditunjukkan oleh apa yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i di dalam Sunan-nya dari Mush’ab bin Sa’ad dari bapaknya yang berkata:
Ketika Fathu Makkah, Rasulullah saw. menjamin keamanan orang-orang, kecuali kelompok empat orang laki-laki dan dua perempuan. Beliau bersabda, “Bunuh mereka meski kalian menemukan mereka bergantungan di kain penutup Ka’bah: Ikrimah bin Abiy Jahal, Abdullah bin Khathalin, Maqis bin Shubabah dan Abdullah bin Sa’ad bin Abiy as-Sarh. Adapun Abdullah bin Khathalin ditemukan dan bergantungan di kain penutup Ka’bah. Lalu Said bin Huraits dan ‘Ammar bin Yasir berlomba membunuh dia. Sa’id mendahului ‘Ammar dan dia lebih muda. Lalu dia membunuhnya. Adapun Maqis bin Shubabah dijumpai oleh orang-orang di pasar lalu mereka membunuh dia. Adapun Ikrimah menyeberangi laut dan dilanda badai. Para penumpang kapal berkata, “Ikhlaslah kalian karena tuhan-tuhan kalian tidak berguna sedikit pun untuk kalian di sini.” Ikrimah berkata, “Demi Allah! Tidak ada yang menyelamatkan aku dari laut kecuali ikhlas dan tidak ada yang menyelamatkan aku di darat selain Dia, ya Allah. Sungguh Engkau punya perjanjian dengan aku. Jika engkau memaafkan aku dengan apa yang aku alami, aku akan datang kepada Muhammad saw. sampai aku letakkan kedua tanganku di tangannya. Sungguh aku mendapati ia pemaaf lagi mulia.” Lalu dia datang dan masuk Islam. Adapun Abdullah bin Sa’ad bin Abiy as-Sarh bersembunyi pada Utsman bin Affan. Ketika Rasulullah saw. menyeru orang-orang untuk berbaiat, Utsman membawa dia berdiri di hadapan Nabi saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, terimalah baiat Abdullah.” Beliau mengangkat kepala dan memandang dia sebanyak tiga kali. Setiap kali memandang, beliau tidak mau. Namun, beliau kemudian menerima baiatnya setelah tiga kali. Kemudian beliau menghadap kepada para sahabat beliau dan bersabda, “Tidakkah di antara kalian ada orang cerdas yang berdiri kepada orang ini ketika melihat aku menahan kedua tanganku dari menerima baiatnya lalu dia membunuh dia?” Mereka berkata, “Kami tidak memahami, ya Rasulullah, apa yang ada di dalam dirimu. Mengapa engkau tidak mengisyaratkan kepada kami melalui kedua matamu?” Beliau bersabda, “Tidak selayaknya bagi seorang nabi memiliki mata yang berkhianat.”
Jadi Rasul saw. ingin agar kaum Muslim membunuh Abdullah bin Abiy as-Sarh. Padahal dia datang kepada beliau dalam keadaan Muslim yang meminta berbaiat. Ini menunjukkan bahwa penumpahan darah mereka, beberapa orang itu adalah menurut kemutlakannya. Jadi masuknya mereka ke dalam Islam tidak melindungi mereka dari hal itu. Namun, perkara mereka diserahkan kepada Imam. Jika Imam ingin, ia boleh menghukum mereka. Jika ia ingin, ia boleh memaafkan mereka. Dengan demikian tidak adanya penjatuhan hukuman oleh Nabi saw. terhadap orang yang masuk Islam dari kaum kafir yang dulu dia menyerang kaum Muslim, sebagaimana yang terjadi pada Ikrimah bin Abiy Jahal, misalnya. Hal itu masuk dalam pemaafan oleh Imam. Demikian sebagaimana yang ada di Kitab Al-Ajhizah: “Karena Rasul saw. belakangan memaafkan sebagian dari mereka, seperti pemaafan beliau kepada Ikrimah bin Abiy Jahal. Oleh karena itu, Khalifah boleh memproses kasus mereka atau memaafkan mereka…”
Semoga kerancuan dalam memahami masalah ini telah hilang.
[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, tanggal 17 Rabiu’ul Awwal 1445 H – 02 Oktober 2023 M]
Sumber:
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/91225.html
https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/871221127898591


