Hadis Pilihan

Pematokan Harga

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ, قَالَ: غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ, فَقَالَ النَّاسُ:

يَا رَسُولَ اللَّهِ, غَلَا السِّعْرُ, سَعِّرْ لَنَا, فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «إِنَّ اللَّهَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ, الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ, إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ, وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ, وَلَا مَالٍ»

Dari Anas bin Malik: Harga menjadi mahal pada masa Rasulullah saw. Lalu orang-orang berkata, “Ya Rasulullah, harga menjadi mahal. Patoklah harga untuk kami.” Rasul saw. bersabda, “Sungguh Allahlah Yang Maha Menetapkan Harga, Maha Menggenggam, Maha Mengulurkan dan Maha Memberi Rezeki. Sungguh aku benar-benar berharap menjumpai Allah, sementara tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntut diriku karena kezaliman dalam hal darah dan tidak pula dalam hal harta.” (HR Ahmad no. 14057; ad-Darimi no. 2587; Ibnu Majah no. 2200; Abu Dawud no. 3451; at-Tirmidzi no. 1314; al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ no. 11144; Ibnu Hibban no. 4935).

 

Dalam hadis lain, Abu Sa’id al-Khudzri juga menuturkan:

غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَقَالُوا لَهُ: لَوْ قَوَّمْتَ لَنَا سِعْرَنَا, قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُقَوِّمُ, أَوِ الْمُسَعِّرُ, إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أُفَارِقَكُمْ, وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلَمَةٍ, فِي مَالٍ وَلَا نَفْسٍ

Harga menjadi mahal pada masa Rasulullah saw, maka mereka berkata kepada Beliau: “seandainya Anda mematok nilai untuk kami harga kami”. Beliau bersabda: “sesungguhnya Allah adalah yang Maha menetapkan nilai (harga) atau Maha menetapkan harga, sungguh aku berharap meninggalkan kalian dan tidak seorang pun dari kalian menuntutku dengan kezaliman dalam harta dan tidak pula jiwa” (HR Ahmad no. 11809 dan Ibnu Majah no. 2201).

 

Imam ath-Thabarani mengeluarkan riwayat dari Abu Sa’id al-Khudzri ini di dalam Mu’jam al-Awsâth, hadis no. 5955, dengan redaksi sedikit berbeda. Imam ath-Thabarani juga mengeluarkan hadis senada di dalam Mu’jam ash-Shaghîr, hadis no. 780, dari Ibnu Abbas dengan redaksi sedikit berbeda.

Menjelaskan hadis ini, Mula al-Qari di dalam Mirqâtu al-Mafâtîh Syarhu Misykâti al-Mashâbîh, mengutip ath-Thibi, menyatakan bahwa hukum ini disusun di atas tiga khabar berturut-turut di atas sifat yang relevan, yakni kenyataan bahwa Allah sebagai Qâbidh[an] (Maha Menggenggam), sebagai ‘illat untuk mahalnya harga sebagai Bâsith[an] (Maha Melapangkan), untuk murahnya harga; dan sebagai Razzâq[an] (Maha Memberi Rezeki), Yang menyempitkan dan melapangkan rizki atas hamba.

Karena itu siapa saja yang berusaha mematok harga maka dia telah menentang dan menyaingi Allah dalam apa yang Dia kehendaki, sekaligus menghalangi hamba dari hak-hak mereka yang diberikan oleh Allah dalam mahal dan murahnya harga. Adapun kezaliman dalam harta yang dimaksudkan adalah at-tas’îr (pematokan harga) itu.

Mula al-Qari juga menyatakan bahwa al-Qadhi berkata, “Sabda Rasul saw., ‘Inni la arjû…’ merupakan isyarat bahwa yang menghalangi beliau dari mematok harga adalah kekhawatiran akan menzalimi mereka dalam harta mereka. Sebabnya, at-tas’îr merupakan tasharruf (kebijakan) tentang harga tanpa izin pemiliknya sehingga menjadi kezaliman. Di antara mafsadat at-tas’îr adalah menggerakkan keinginan dan mendorong untuk enggan menjual dan sering menyebabkan kekeringan (krisis).

Ash-Shan’ani al-Amir menjelaskan di dalam Subul as-Salâm bahwa hadis ini merupakan dalil bahwa at-tas’îr merupakan kezaliman. Jika itu merupakan kezaliman maka itu adalah haram. Ini menjadi pendapat mayoritas ulama.

Jadi, seperti yang dijelaskan oleh Abu al-‘Ala al-Mubarakfuri di dalam Tuhfah al-Akhwadzî bi Syarhi Jâmi’ at-Tirmidzî, hadis ini dan apa yang dinyatakan dalam makna yang sama menjadi dalil atas pengharaman at-tas’îr (pematokan harga) dan bahwa itu merupakan kezaliman. Aspek argumentasinya bahwa orang itu diberi kekuasaan atas harta mereka, sedangkan at-tas’îr berarti menghalangi mereka. Padahal Imam (Pemimpin) diperintahkan untuk memelihara kemaslahatan kaum Muslim. Pandangannya pada kemaslahatan pembeli dengan murahnya harga tidak lebih utama dari pandangannya pada kemaslahatan penjual dengan tingginya harga. Jika kedua hal itu bertabrakan maka Imam wajib memberikan peluang kepada kedua pihak agar bersungguh-sungguh untuk diri mereka. Jika Imam memaksa pemilik barang untuk menjual dengan harga yang tidak ia ridhai berarti ia menafikan firman Allah SWT: …illâ an takûna tijârat[an] ‘an tarâdh[in] minkum (kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian). Ini menjadi pendapat mayoritas ulama.

Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdî menjelaskan, at-tas’îr (pematokan harga) adalah saat penguasa, wakilnya atau setiap orang yang menangani urusan kaum Muslim menyuruh para pelaku pasar untuk tidak menjual barang kecuali dengan harga sekian. Jadi mereka dilarang dari menambah harganya sehingga tidak memahalkan harga atau sebaliknya, dilarang mengurangi harganya sehingga tidak memukul pedagang selain mereka. Artinya, para pelaku pasar dilarang dari menambah atau mengurangi harga yang ditetapkan (dipatok) untuk kemaslahatan orang-orang. Hal itu dengan jalan negara mengintervensi harga dan menetapkan untuk komoditi tertentu harga tertentu. Semua orang dilarang menjual dengan harga lebih tinggi dari yang ditentukan atau lebih murah dari harga itu karena negara memandang dalam hal itu ada kemaslahatan semua orang.

Haramnya pematokan harga ini bersifat umum untuk semua komoditi. Tidak ada perbedaan antara bahan pangan atau selainnya. Sebabnya, hadis yang melarang pematokan harga bersifat umum, sementara tidak ada yang mengkhususkannya pada bahan pangan atau yang lain. Dengan demikian keharaman pematokan harga itu bersifat umum mencakup segala komoditi.

Faktanya, pematokan harga itu merupakan dharar besar bagi umat. Sebabnya, ia dapat menciptakan pasar gelap yang jauh dari monitoring negara. Pematokan harga dapat mempengaruhi konsumsi dan produksi dan boleh jadi dapat menyebabkan krisis ekonomi. Lebih dari itu, orang itu diberi kekuasaan atas harta mereka. Sebabnya, kepemilikan bermakna bahwa orang berkuasa penuh atas miliknya. Pematokan harga berarti menghalangi kuasa mereka atas kepemilikan mereka. Ini tidak boleh kecuali dengan nas syar’i. Dalam hal ini tidak ada nas syar’i-nya. Jadi pematokan harga adalah haram pada semua jenis komoditi.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × five =

Check Also
Close
Back to top button