Takrifat

Hukum Al-Muthlaq dan Al-Muqayyad

حُكْمُ الْمُطْلَقِ وَالْمُقَيَّدِ


 

Hukum Lafal al-Muthlaqu

Lafal al-muthlaq (mutlak) hukumnya berlaku menurut kemutlakannya selama tidak ada dalil yang menunjukkan pembatasannya (al-muthlaqu yajrî ‘alâ ithlâqihi mâ lam yarid dalîl yadullu ‘alâ at-taqyîd). Jadi jika dinyatakan nas yang mutlak tanpa ada pembatasan maka hukum yang ditunjukkan oleh nas itu berlaku menurut kemutlakannya itu. Contohnya firman Allah SWT tentang kafarah sumpah:

﴿… أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ …﴾

…atau memerdekakan seorang budak… (QS al-Maidah [5]: 89).

 

Lafal raqabah dinyatakan secara mutlak. Jadi, itu berlaku atas budak yang Mukmin maupun kafir, juga mencakup budak mukaatab.

Contoh lain firman Allah SWT tentang wanita yang haram dinikahi (mahram):

﴿… وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ …﴾

…dan ibu-ibu istri kalian (mertua perempuan)… (QS an-Nisa’ [4]: 23).

 

Lafal ummahâtu nisâ’ikum ini bersifat mutlak mencakup istri semata-mata dia telah sah menjadi istri, baik istri itu telah digauli atau belum digauli; baik masih menjadi istri atau sudah bercerai. Ini menunjukkan bahwa ibu istri dan ibu mantan istri itu haram dinikahi (mahram), baik istri itu telah digauli atau belum.

Allah SWT juga berfirman:

﴿وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ﴾

Telah dihalalkan bagi kalian selain yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini bukan, untuk berzina (QS an-Nisa’ [4]: 24).

 

Lafal “amwâlikum (harta kalian)“ itu bersifat mutlak, mencakup berapapun banyaknya, dan sekaligus bersifat umum, yakni mencakup semua harta. Nas ini menunjukkan kebolehan menikah dengan mahar berapa pun, berupa harta dalam bentuk apapun, selama itu merupakan harta atau bernilai harta.

Contoh lain adalah sabda Rasul saw. berikut:

«لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ»

Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, ad-Darimi dan Ibnu Hibban).

 

Lafal waliyy[in] ini bersifat mutlak, tanpa ada batasan. Jadi ini menunjukkan syarat adanya salah satu wali untuk keabsahan akad pernikahan.

 

Hukum Lafal al-Muqayyad

Lafal al-muqayyad (terikat) adalah lafal yang menunjukkan atas madlûl (makna) tertentu; atau lafal yang menunjukkan atas sifat yang madlûl (makna)-nya mutlak, namun disertai dengan sifat tambahan, yakni lafal mutlak yang menunjuk pada unit yang tersebar, yang dibatasi dengan suatu sifat.

Lafal al-muqayyad hukumnya diamalkan menurut keterbatasannya (‘alâ taqyîdihi) selama tidak ada dalil yang menunjukkan adanya penghapusan batasan itu. Jika ada dalil yang menunjukkan demikian maka batasan itu dihapuskan, yakni diabaikan dan tidak diamalkan.

Contoh lafal al-muqayyad adalah firman Allah SWT tentang kafarah zhihâr:

﴿فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا﴾

Siapa saja yang tidak mendapatkan (budak), maka dia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur (QS al-Mujadilah [58]: 4).

 

Jadi puasa dua bulan sebagai kafarah zhihâr itu wajib berturut-turut. Tidak boleh terpisah-­pisah.

Begitu juga dalam firman Allah SWT tentang sanksi atas qatlu al-khatha‘ (pembunuhan yang tak disengaja) (QS an-Nisa’ [4]: 92). Di dalamnya, lafal raqabah (budak) dibatasi dengan mu’minah (mukmin); diyat-nya dibatasi dengan musallamatun ilâ ahlihi (diserahkan kepada keluarga korban); dan shiyâm syahrayn (puasa dua bulan) dibatasi dengan mutatâbi’ayn (berturut-turut). Dengan demikian budak yang dimerdekakan harus Mukmin, diyat-nya harus diserahkan dan puasanya dua bulan harus berturut-turut.

Contoh lainnya, firman Allah SWT tentang makanan yang diharamkan:

﴿قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا …﴾

Katakanlah, “Tidaklah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir…” (QS al-An’am [6]: 145).

 

Lafal daman dibatasi dengan masfûh[an] (mengalir). Jadi darah yang haram adalah darah yang dialirkan. Adapun darah yang tidak dialirkan, seperti hati, limfa, ginjal darah yang ada di dalam tulang atau di dalam daging, maka tidak haram.

Contoh batasan yang diabaikan adalah firman Allah SWT tentang mahram:

﴿وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ﴾

Anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawini mereka (QS an-Nisa’ [4]: 23).

 

Dalam ayat ini ada dua batasan pada rabâ‘ibukum (anak-anak istri kalian), yaitu “al-latî fî hujûrikum (yang dalam pemeliharaan kalian)“ dan “min nisâ‘ikum al-latî dakhaltum bihinna (dari istri yang telah kalian campuri)“. Batasan al-latî fî hujûrikum (yang dalam pemeliharaan kalian) memberi faedah bahwa yang mahram hanya anak dari istri yang dalam pemeliharaan suami, sedangkan yang tidak maka tidak haram (untuk dinikahi). Namun, batasan ini tidak diamalkan. Sebabnya, batasan itu sebagai pernyataan berdasarkan tradisi atau kondisi yang dominan, yakni kondisi yang dominan itu bahwa anak istri itu bersama ibunya di rumah suaminya. Batasan ini tidak diamalkan. Dalilnya, Allah SWT hanya membatasi posisi penghalalan hanya dengan menafikan batasan kedua, yaitu “fa in lam takûnû dakhaltum bihinna falâ junâha ‘alaykum (tetapi jika kalian belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawini mereka)“. Ini tidak menyinggung penafian batasan pertama “hujûrikum (dalam pemeliharaan kalian)“. Jadi batasan “hujûrikum (dalam pemeliharaan kalian)“ tidak diamalkan. Dengan demikian anak tiri itu haram dinikahi baik anak itu dalam pemeliharaan suami atau tidak, selama sudah berhubungan dengan istri, yakni ibunya anak tiri itu.

 

Hukum Lafal al-Muthlaqu dan al-Muqayyad

Jika dinyatakan nas atau lafal yang mutlak dan juga dinyatakan nas atau lafal yang muqayyad pada ayat atau hadis lainnya maka di situ ada empat kemungkinan: Pertama, jika hukum dan sebabnya tidak berbeda, maka yang mutlak dibawa ke yang muqayyad dan diamalkan sesuai dengan yang muqayyad. Sebabnya, ketika mengamalkan yang muqayyad, hal itu juga memenuhi pengamalan dalaalah yang mutlak. Sebaliknya, mengamalkan yang mutlak maka itu tidak memenuhi pengamalan dalaalah yang muqayyad. Dengan demikian mempertemukan keduanya adalah wajib dan lebih utama, yakni dengan membawa yang mutlak ke yang muqayyad dan mengamalkan sesuai yang muqayyad.

Kedua, jika hukum keduanya berbeda maka nas yang mutlak tidak dibawa ke yang muqayyad. Sebabnya, masing-masing merupakan hukum yang berbeda.

Ketiga, jika hukumnya sama, tetapi sebabnya berbeda, maka yang mutlak tidak dibawa ke yang muqayyad. Yang mutlak diamalkan sesuai kemutlakannya dan yang muqqayyad diamalkan sesuai keterbatasannya. Masing-masing merupakan sebab untuk hukumnya sendiri meski kedua hukum itu tidak berbeda. Jadi di sini yang mutlak tidak dibawa ke yang muqayyad. Sebabnya, perbedaan topik dalam sebab hukum itu seperti perbedaan hukum. Sebagaimana yang mutlak tidak dibawa ke yang muqayyad jika hukumnya berbeda, demikian juga yang mutlak tidak dibawa ke yang muqayyad jika berbeda topik dalam sebab. Misalnya, perintah Allah untuk memerdekakan budak secara mutlak dalam zhihâr tetap berlaku mutlak. Sebaliknya, perintah Allah untuk membebaskan budak secara muqayyad, yakni budak Mukmin saja, dalam topik pembunuhan tersalah (qatlu al-khatha‘), maka terbatas pada topik itu saja dan tidak mencakup semua kafarah.

Jika sebabnya berbeda maka yang mutlak tidak dibawa ke yang muqayyad. Dalilnya adalah apa yang dinyatakan tentang puasa dalam kafarah sumpah dinyatakan secara mutlak:

﴿فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ﴾

Siapa saja yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari (QS al-Maidah [5]: 89).

 

Lafal shiyâm tsalâtsata ayyâm dinyatakan secara mutlak dan tidak disebutkan apakah berturut-turut atau terpisah. Adapun dalam masalah zhihâr, Allah SWT berfirman:

﴿فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا﴾

Siapa saja yang tidak mendapatkan (budak), maka dia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur (QS al-Mujadilah [58]: 4).

 

Lafal ash-shawm di ayat ini dinyatakan secara muqayyad, yakni mutatâbi’ayn (berturut-turut).

Dalam dua ayat ini, hukumnya sama, yaitu berpuasa, tetapi sebabnya berbeda yakni zhihar dan melanggar sumpah. Seandainya dalam masalah ini yang mutlak dibawa ke yang muqayyad, niscaya puasa kafarah sumpah yang mutlak dibawa ke puasa kafarah zhihar yang muqayyad. Dengan begitu puasa kafarah sumpah juga harus dua bulan berturut-turut. Namun, tidak ada yang mengatakan demikian. Dari sini menjadi jelas bahwa perbedaan sebab itu seperti perbedaan hukum. Yang mutlak tidak dibawa ke yang muqayyad.

Keempat, jika hukum dan sebabnya berbeda maka tidak ada perbedaan bahwa yang mutlak tidak dibawa ke yang muqayyad. Masing-masing diamalkan sesuai kemutlakan dan ke-muqayyad-annya. Misalnya, dalam ayat potong tangan, lafal aydiyahumâ (tangan keduanya) dinyatakan secara mutlak. Adapun dalam ayat wudhu dinyatakan secara muqayyad lafal aydîkum ilâ al-marâfiq. Di sini hukum dan sebab keduanya berbeda. Yang mutlak tidak dibawa ke yang muqayyad.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five + 11 =

Check Also
Close
Back to top button