Afkar

Keunggulan Sistem Hukum dan Peradilan Islam

Dalam Islam, negara ditegakkan di atas landasan hukum, yakni hukum syariah. Semua sama di hadapan hukum syariah, baik rakyat maupun penguasa. Berikut ini adalah gambar keunggulan sistem hukum dan peradilan Islam yang paling utama, yang tidak ditemukan pada sistem hukum lainnya.

 

  1. Bersumber dari Hukum Allah Yang Menjamin Keadilan

Peradilan (qadhaa’) adalah institusi yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat (al-ikhbaar bi al-hukm ‘alaa sabil al-ilzaam)1. Sumber hukum dalam peradilan Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah. Para qâdhi (hakim) memutuskan dengan ijtihadnya berdasarkan dalil-dalil syariah. Dengan tegaknya hukum, akan tercipta keadilan di tengah masyarakat.

Salah satu puncak peradaban Islam di era Kekhilafahan adalah penerapan syariah Islam di bidang hukum dan peradilan. Keberhasilan yang gemilang di bidang hukum ini membentang sejak masa Rasulullah saw. tahun 622 M hingga Khilafah jatuh ke tangan penjajah sekitar tahun 1918 M.2

Kegemilangan itu karena hukum yang dijadikan rujukan dalam putusan di pengadilan adalah hukum dari Pencipta Manusia. Hukum terbaik yang tidak pernah lekang oleh zaman. Itulah hukum Allah SWT (syariah Islam). Allah SWT berfirman:

﴿أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُون﴾

Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Dalam Tafsiir al-Muniir, Syaikh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan maksud ayat 50 dari ayat di atas, yakni tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah SWT, juga tak ada satu hukum pun yang lebih baik dari pada hukum-Nya.3

Dengan demikian penerapan hukum dan keadilan adalah satu-kesatuan yang tidak terpisah. Keadilan hanya akan terwujud dengan tegaknya hukum Allah SWT. Inilah istimewanya hukum Islam. Allah SWT berfirman:

﴿وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا﴾

Telah sempurnalah Kalimat Tuhanmu (al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil (QS al-An’am [6]: 115).

Sebaliknya, tanpa penerapan hukum Islam tidak akan pernah terwujud keadilan yang sebenarnya. Yang terjadi justru merupakan kezaliman. Penegak hukumnya pun termasuk kaum yang zalim. Allah SWT berfirman:

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴾

Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan (al-Quran), merekalah para pelaku kezaliman (QS al-Maidah [5]: 45).

Inilah keistimewaan hukum Islam. Keadilan dan Islam adalah satu-kesatuan. Para ulama mendefinsikan adil dengan wadh’ asy-syai’i fî mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya).4 Perwujudannya adalah menempatkan hukum Allah SWT pada tempatnya, yakni sebagai undang-undang bagi manusia, dan tidak digantikan dengan hukum buatan manusia.

 

  1. Tidak Ada Jual-Beli Hukum.

Imamah (Khilafah) dengan semua aparat pemerintahannya di bawahnya, termasuk peradilan, ditegakkan untuk menjaga agama. Imam al-Mawardi menjelaskan:

اَلْإِمَامَةُ مَوْضُوْعَةٌ لِخلاَفَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَابِهِ

Imamah (Khilafah) itu menduduki posisi untuk Khilafah Nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi.5

 

Imam an-Nawawi juga mengatakan, “Suatu keharusan bagi umat adanya seorang imam (khalifah) yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang dizalimi, menunaikan hak dan menempatkan hak pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurusi urusan Imamah (Khilafah) itu adalah fardhu kifayah.”6

Sistem peradilan merupakan salah satu pilar penyangga bagi keberlangsungan roda pemerintahan di suatu negara. Sistem peradilan yang tangguh akan melahirkan pemerintahan yang berwibawa, dipatuhi oleh rakyat dan disegani negara-negara lain. Sebabnya, sistem peradilan berkaitan erat dengan penjagaan terhadap hak rakyat dan penegakan hukum di suatu negara. Peradilan juga merupakan refleksi dari kekuatan negara untuk “memaksa” warga negara agar rakyat tetap berjalan dalam koridor konstitusi negara.

Dalam pandangan Islam, penyelenggaraan peradilan merupakan tugas dan kewajiban yang sangat mulia. Sebabnya, penyelenggaraan peradilan merupakan instrumen untuk menerapkan dan menegakkan hukum-hukum Allah SWT atas setiap warga dan penguasa. Syaikh Ahmad ‘Athiyat menyatakan, hakim adalah orang kedua dalam mengontrol penerapan Islam di sebuah negara.7

Sedemikian pentingnya masalah ini, Rasulullah saw. telah memperingatkan para hakim dengan sabda beliau:

«مَنْ جُعِلَ قَاضِياً بَيْنَ النَّاسِ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ»

Siapa saja yang diangkat sebagai hakim di tengah-tengah manusia, sungguh dia (seperti) disembelih tanpa menggunakan pisau (HR Ahmad, al-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

 

Para ulama menjelaskan tentang makna “dia disembelih tanpa menggunakan pisau”, yakni dia (seperti) disembelih dengan penyembelihan yang berat, karena penyembelihan dengan pisau lebih mudah bagi hewan sembelihan, berbeda dengan tanpa pisau.8

Rasulullah saw. juga telah menunjukkan kepada umatnya bahwa satu-satunya hakim yang selamat dari panasnya api neraka kelak adalah hakim yang mengetahui kebenaran dan mengamalkan kebenaran tersebut. Artinya, ia memutuskan perkara sesuai dengan kebenaran yang ia ketahui, tidak berbohong, dan tidak asal-asalan dalam memutuskan perkara. Adapun hakim yang mengetahui kebenaran, namun ia tidak mengamalkan kebenaran itu, ia tidak memutuskan perkara atas dasar kebenaran serta hakim yang memutuskan perkara atas ketidaktahuannya/ kebodohannya, maka keduanya yang akan masuk neraka (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan al-Hakim).

Hal ini menjadi peringatan bagi semua hakim agar tidak pernah memutuskan perkara atas dasar ketidaktahuan atau memutuskan perkara yang bertentangan dengan kebenaran yang telah diketahui. Putuskanlah dengan seadil-adilnya sesuai dengan kebenaran yang ada.

Jika hakim telah memutuskan dengan standar kebenaran yang dia ketahui, namun keputusannya salah, ia tidak berdosa bahkan mendapat satu pahala, sedangkan yang putusannya benar mendapat dua pahala.

Jadi yang membuat dua jenis hakim di atas masuk neraka adalah karena kezalimannya; karena dia tidak berpijak pada kebenaran dan karena kebodohannya.

Seorang hakim haruslah seorang yang ‘alim, faqih dan wara’ (hati-hati). Ini ditujukan agar keputusan yang dijatuhkan seorang hakim benar-benar keputusan yang tepat dan bisa menjamin keadilan di tengah masyarakat. Para ulama juga telah menetapkan syarat-syarat seorang hakim dengan sangat ketat. Para ulama bahkan sampai mengharamkan seorang hakim menerima hadiah dari orang yang berperkara. Rasulullah saw. bersabda, “Hadiah-hadiah yang diterima pejabat adalah suatu bentuk ghulul (korupsi).” (HR Ahmad).

 

  1. Adanya Kepastian Hukum dan Tak Ada Peradilan Banding.

Dalam Islam tidak terdapat peradilan bertingkat atau peradilan banding. Hal itu akan lebih memberikan kepastian hukum. Putusan seorang hakim tidak bisa dibatalkan oleh hakim lainnya dalam peradilan yang levelnya lebih tinggi. Secara struktur, peradilan Islam langsung di bawah Khalifah. Artinya, jika seorang hakim telah memutuskan suatu perkara berdasarkan isjtihadnya, dia tidak boleh mengganti keputusan yang pertama dengan hasil ijtihad yang baru. Hakim yang menjabat berikutnya juga tidak boleh mengganti keputusan tersebut. Diriwayatkan dari Salim Bin Abu Ja’ad, “Andai dibolehkan bagi Ali bin Abu Thalib untuk mengkritik keputusan Khalifah Umar bin al-Khaththab, ia pasti akan mengkritik keputusan Khalifah Umar ketika mengabulkan permohonan ganti rugi yang diajukan oleh utusan orang-orang Najran.

Ali bin Abu Thalib ra. adalah orang yang menulis perjanjian antara Nabi Muhammad Saw. dan orang-orang Najran. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab jumlah mereka semakin bertambah banyak sehingga Ali bin Abu Thalib khawatir keberadaan mereka akan membahayakan orang lain. Terjadilah perbedaan pendapat di antara mereka. Mereka mendatangi Khalifah Umar dan meminta gantinya. Khalifah Umar bersedia memberikan gantinya, tetapi kemudian mereka menyesal. Mereka merasa tidak puas, kemudian mendatangi Khalifah Umar dan meminta Khalifah Umar untuk memecat Ali. Setelah Ali diangkat sebagai hakim, mereka mendatangi Khalifah Umar dan berkata, “Amirul Mukminin, kami berharap engkau memberikan bantuan kepada kami dengan menulis surat.” Ali bin Abu Thalib berkata, “Celakalah kalian. Sungguh keputusan Khalifah Umar bin al-Khath­thab sudah benar.” (HR al-Baihaqi).9

Dari kisah di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Khalifah Umar al-Faruq menolak untuk mengubah keputusan pertama yang sudah ia putuskan. Demikian pula hakim setelah beliau, yaitu Ali. Ini semua dilakukan demi jaminan kepastian hukum dan meminimalisasi mafia peradilan bermain.

Memang boleh saja membentuk mahkamah peradilan baik di level pusat, wilayah, dan daerah. Namun, tidak ada mahkamah banding dalam pandangan Islam. Keputusan mahkamah peradilan di level daerah tidak bisa digugurkan oleh mahkamah peradilan manapun, baik wilayah maupun pusat. Keputusan mahkamah peradilan pusat juga tidak bisa digugurkan oleh mahkamah peradilan level wilayah maupun daerah.

Ketetapan semacam ini didasarkan pada kenyataan: Pertama, hukum Allah bagi seorang Muslim adalah satu. Ketika seorang hakim memutuskan suatu perkara, pada dasarnya keputusannya adalah hukum Allah yang harus dilaksanakan oleh seorang Muslim. Keputusannya tidak boleh dianulir oleh siapapun, kecuali menyimpang dari al-Quran dan Sunnah. Kedua, ketetapan semacam ini juga didasarkan pada Ijmak Sahabat. Khalifah Abu Bakar ra. pernah memutuskan suatu perkara dengan ijtihadnya. Namun, ‘Umar ra. memiliki pendirian lain. Akan tetapi, hukum yang diputuskan oleh Khalifah Abu Bakar tetap tidak bisa dibatalkan. Ali ra. pernah berbeda pendapat dengan Khalifah ‘Umar ra. dalam ijtihadnya. Akan tetapi, keputusan Khalifah ‘Umar ra tidak bisa dibatalkan.10

Alasan lain yang menunjukkan bahwa keputusan hakim tidak bisa dianulir oleh hakim yang lain adalah ketidakbolehan banyak hakim dalam memutuskan sebuah perkara. Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa di dalam sistem Islam tidak ada mahkamah banding tingkat satu maupun dua. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab fikih ditetapkan sebuah kaidah fikih yang menyatakan, “Al-Ijtihaad laa yunqadhu bi al-ijtihaad.” (Suatu ijtihad tidak bisa dihapuskan oleh ijtihad yang lain).”11

Keputusan hakim bisa dianulir hanya ika keputusannya didasarkan pada hukum-hukum kufur, atau keputusannya bertentangan dengan nas-nas qath’i, atau keputusannya bertentangan dengan faktanya. Misalnya, hakim memutuskan hukuman cambuk bagi seorang pezina ghayr muhshan (belum menikah), namun faktanya ternyata pezina itu adalah muhshan (sudah menikah), maka dalam kondisi seperti ini keputusan hakim bisa dianulir.

 

Penutup

Demikianlah keunggulan dan keistimewaan sistem hukum dan peradilan dalam Islam. Hal ini tidak kita jumpai dalam sistem hukum dan peradilan manapun di dunia ini. Peradilan dalam sistem sekuler kapitalis absen dari tiga perkara utama tersebut di atas. Sistem hukum dan peradilan sekarang: (1) tidak memiliki sumber hukum yang sakral dari Sang Maha Pencipta dan tidak adanya jaminan keadilan di dalamnya; (2) sarat dengan jual-beli hukum karena adanya peradilan bukan untuk menjaga kesucian nilai kebenaran tertentu (misal agama); (3) adanya peradilan banding atau bertingkat yang tidak memberikan kepastian hukum.

Alhasil, selama sistem hukum dan peradilan berjalan dalam sistem politik yang sekuler kapitalis, maka penegakkan hukum dan keadilan hanya akan menjadi fatamorgana.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Yuana Ryan Tresna]

 

Catatan kaki:

  1. Lihat Abdul Qadim al-Zallum, Nizham al-Hukm fî al-Islam, hlm. 182; Wijarah al-Auqaf al-Syu’un al-Islamiyyah al-Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 21, hlm. 98.
  2. Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, Nizham al-Islam, hlm. 44.
  3. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, Juz 6, hlm. 224.
  4. Lihat Muhammad Arafah al-Dasuki, Hasyiyah al-Dasuki ala Mukhtashar al-Ma’aniy, juz 3, hlm. 208.
  5. Lihat Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.
  6. Lihat Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz 3, hlm. 433.
  7. Lihat Ahmad ‘Athiat, al-Thariq, Dirasat Fikriyyah fî Kaifiyah al-‘Amal li al-Taghyir Waqi’ al-Ummah wa Inhadhiha, 191.
  8. Lihat Muzh-hir al-Din al-Zaidani, al-Mafatih fî Syarh al-Mashabih, juz 4, hlm. 312.
  9. Lihat al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Jilid 10, hlm. 120 dan Mausu’ah Fiqh Umar bin al-Khaththab, hlm. 828.
  10. Lihat Abdul Qadim al-Zallum, Nizham al-Hukm fî al-Islam, 192.
  11. Lihat Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, hlm. 101; Muhammad Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, juz 1, hlm. 430.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 − 14 =

Back to top button