Tafsir

Kepastian Datangnya Sakaratul Maut

(QS Qaf [50]: 19)

ﵟوَجَآءَتۡ سَكۡرَةُ ٱلۡمَوۡتِ بِٱلۡحَقِّۖ ذَٰلِكَ مَا كُنتَ مِنۡهُ تَحِيدُ 19ﵞ

Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya (QS Qaf [50]: 19).

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

﴿وَجَآءَتۡ سَكۡرَةُ ٱلۡمَوۡتِ بِٱلۡحَقِّۖ ﴾

Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya.

 

Kalimat dalam ayat ini ‘athf atau dihubungkan dengan kalimat pada ayat sebelumnya yakni firman Allah SWT:

﴿وَنَحۡنُ أَقۡرَبُ إِلَيۡهِ مِنۡ حَبۡلِ ٱلۡوَرِيدِ ﴾

Kami lebih dekat kepada dirinya daripada urat lehernya (QS Qaf [50]: 16).

 

Keduanya berhubungan karena adanya keserupaan dalam hal pemberian peringatan tentang balasan atas perbuatan. Ini menunjukkan adanya peralihan yang dialami manusia dalam berbagai tahapan kehidupan yang membawa dirinya dari satu keadaan ke keadaan lain. Lalu akhirnya ia menerima balasan atas perbuatannya yang telah dicatat oleh kedua malaikat pencatat amal.1

Hubungan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya tampak jelas. Menurut az-Zamakhsyari, Allah SWT menyebutkan pengingkaran mereka terhadap kebangkitan (Hari Kiamat) dan membantah mereka dengan menjelaskan tentang kekuasaan dan ilmu-Nya. Allah SWT lalu memberitahu mereka bahwa apa yang mereka ingkari dan mereka dustakan itu sama sekali tidak bisa mereka hindara saat kematian menjemput dan pada Hari Kiamat.”2

Menurut Syihabuddin al-Alusi, ayat ini hingga akhir menyempurnakan penjelasan sebelumnya tentang penetapan Hari Kebangkitan yang mereka ingkari dengan dalil yang paling jelas dan paling terang, yang menunjukkan bahwa perkara yang diingkari itu akan mereka jumpai.3

Dalam ayat ini disebutkan: « وَجاءَتْ » (Datanglah). Kata tersebut merupakan shîght al-mâdhî (bentuk kata yang menunjukkan waktu lampau), bukan dengan shîgat al-mudhâri’ (bentuk kata yang menunjukkan waktu sekarang atau akan datang). Padahal peristiwanya belum terjadi bagi orang yang diberitahu. Penggunaan bentuk tersebut memberikan makna betapa dekat waktu kejadian peristiwa tersebut.4 Ini sekaligus menunjukkan bahwa peristiwa tersebut pasti terjadi.5

Peristiwa yang pasti datang kepada manusia itu adalah « سَكْرَةُ الْمَوْتِ » (sakaratul maut). Kata « سَكْرَةُ » merupakan mashdar al-marrah, yakni mashdar dari kata « سَكِرَ , يَسْكَرُ » (keadaan mabuk, hilangnya kesadaran) akibat ketidaktahuan, kelalaian atau kesesatan. Ini seperti dalam firman Allah SWT yang lain (Lihat: QS al-Hijr [15]: 72).6

Pengertian tidak jauh berbeda ketika disandingkan dengan kata al-mawt, Kematian itu mengakibatkan hilangnya akal dan kesadaran bagi orang yang didatangi. Hal itu disebabkan karena betapa berat rasa sakit yang dialami oleh orang yang mengalami kematian. Demikian penjelasan para ulama tentangnya.

Al-Wahidi an-Naisaburi, al-Baghawi, al-Khazin dan Ibnu ‘Adil menafsirkan firman-Nya: « سَكْرَةُ الْمَوْتِ » dengan makna: “Penderitaan dan rasa sakit kuat yang menutupi manusia dan menguasai akal pikirannya.”7

Hal serupa juga disampaikan oleh Az-Zamakhsyari. Katanya: penderitaannya menghilangkan akal.8

Fakhruddin al-Razi juga berkata, “Penderitaannya menghilangkan akal dan melenyapkan kecerdasan.

Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari bahwa makna « وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ » (datanglah sakaratul maut) adalah derita kematian yang menguasai pemahaman manusia, seperti tidak sadar karena tidur dan minuman.9

Dengan demikian, ayat ini menggambarkan tentang dahsyatnya rasa sakit yang dialami oleh manusia ketika kematian datang menghampiri mereka.

Tentang rasa sakit ketika menghadapi kematian juga dikabarkan oleh Rasulullah saw. Ketika kematian datang kepada beliau, beliau pun mengusap keringat dari wajah beliau, lalu bersabda:

«لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ, إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ»

Tidak ada tuhan selain Allah,. Sungguh kematian itu mempunyai sakarat (HR al-Bukhari).

 

Syaddad bin Aus ra. berkata:

«الْمَوْت أفظع هول فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَة على الْمُؤمن وَهُوَ أَشد من نشر المناشير وقرض المقاريض وغلي فِي الْقُدُور وَلَو أَن الْمَيِّت نشر فَأخْبر أهل الدُّنْيَا بألم الْمَوْت لما انتفعوا بعيش وَلَا التذوا بنوم»

Kematian adalah hal paling mengerikan di dunia dan di akhirat bagi seorang Mukmin. Kematian itu lebih dahsyat daripada dipotong dengan gergaji, digunting dengan gunting dan direbus di dalam bejana. Andai orang yang mati dihidupkan kembali dan menceritakan kepada penghuni dunia tentang sakitnya kematian, niscaya mereka tidak akan bisa nyaman dengan hidupnya dan tidak merasakan kenikmatan tidur.10

 

Keadaan yang jauh lebih mengerikan dialami orang-orang kafir ketika sakaratul maut (Lihat: QS al-An’am [6]: 93).

Adapun kata « بِالْحَقِّ » (dengan sebenar-benarnya), menurut banyak mufassir, huruf al-bâ‘ dalam ayat tersebut mengandung makna li at-ta’diyyah (menjadikan kata sesudahnya menjadi maf’ûl bih atau objek). Ini sebagaimana dalam kalimat: « جاءالرسول بالخبر » (Rasulullah saw. membawa kabar). Dengan demikian makna ayat ini adalah: « أحضرت سكرة الموت حقيقة الأمر » (Sakaratul maut itu mendatangkan perkara yang sebenarnya) yang telah disampaikan di dalam kitab-kitab Allah SWT dan para rasul-Nya).11 Dalam hal ini, termasuk bahagia atau celaka bagi mayit.12

Makna ini dikemukakan oleh beberapa mufassir seperti Ibnu Jarir at-Thabari. Katanya, maksud bi al-haqq di sini adalah perkara akhirat. Manusia pun menyaksikan perkara itu dengan jelas sehingga dia membenarkan dan mengetahuinya.13

Tak jauh berbeda, Ibnu Katsir berkata, “Artinya: Aku menampakkan kepada kamu secara meyakinkan apa yang selama ini kamu ragukan.”14

Abu Bakar al-Jazairi berkata, “Meskipun panjang usianya, kalian tetap akan mati. Itulah datangnya sakaratul maut, yakni dahsyat dan sakitnya benar-benar terjadi, termasuk urusan akhirat. Dengan itu orang-orang yang mengingkari dan mendustakan Hari Kebangkitan dan kehidupan akhirat akan melihat kematian itu dengan mata mereka.”15

Demikian pula al-Qurthubi yang berkata, “Manusia selama hidupnya, semua perkataan dan perbuatannya, selalu dicatat untuk dihisab. Kemudian ketika kematian datang, dia akan melihat dengan mata mengenai benarnya janji dan ancaman Allah SWT.”16

Menurut Muhammad al-Amin al-Harari, ayat ini menggambarkan tentang beratnya penderitaan itu yang membuat manusia seperti orang mabuk. Kematian itu menutupi dan menguasai akal pikirannya. Kematian sekaligus mengungkap hakikat perkara yang telah disampaikan dalam Kitab Allah dan diberitakan oleh para rasul-Nya; atau kenyataan dari keadaan yang sebenarnya, berupa kebahagiaan atau kesengsaraan bagi orang yang meninggal.17

Kemudian Allah SWT berfirman:

﴿ذَٰلِكَ مَا كُنتَ مِنۡهُ تَحِيدُ﴾

Itulah yang selalu kamu hindari.

 

Kata « ذلِكَ » menunjuk pada kata « الْمَوْت » (kematian).18 Ibnu Katsir berkata, “Inilah kematian yang selama ini kamu hindari. Ia datang menjemputmu. Tiada jalan lari dan tiada jalan selamat bagi kamu untuk menghindari kematian itu.”19

Tentang « ما » dalam ayat ini, ada dua pendapat. Pertama, itu adalah mawshûlah (kata sambung) yang berarti: « الَّذِي كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ » (sesuatu yang dahulu kalian jauhi). Maknanya: « تَبْتَعِدُ وَتَنْأَى وَتَفِرُّ-قَدْ حَلَّ بِكَ وَنَزَلَ بِسَاحَتِكَ » (yang kalian jauhi, hindari dan lari darinya; kini telah telah datang menjemput dirimu).20

Termasuk yang menafsirkan demikian adalah Ibnu Jarir at-Thabari. Mufassir tersebut berkata, “Itu adalah sakarat yang datang kepada kamu dengan sebenar-benarnya, wahai manusia, yang kalian lari darinya dan kalian hindari.”21

Pendapat ini juga dikemukakan oleh al-­Khazin.22

Kedua, kata « ما » tersebut adalah nâfiyyah (menegasikan). Artinya: ذَلِكَ مَا كُنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْفِرَارِ مِنْهُ وَلَا الْحَيْدِ عَنْهُ (Itulah sesuatu yang dulu kalian hindari dan tidak bisa kalian hindari).23

Kedua penafsiran tersebut diterima dua-duanya. Sebabnya, keduanya terjadi pada manusia.Manusia berupaya melarikan diri kematian dan dia pun tidak mampu menghindar dari kematian itu. Ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

﴿قُلۡ إِنَّ ٱلۡمَوۡتَ ٱلَّذِي تَفِرُّونَ مِنۡهُ فَإِنَّهُۥ مُلَٰقِيكُمۡۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ ﴾

Katakanlah, “Sungguh kematian yang kalian hindari itu benar-benar akan menemui kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui perkara yang gaib dan yang nyata.” (QS al-Jumu’ah [62]: 8).

 

Imam ath-Tabrani, dalam Kitab Mu’jam al-Kabiir, juga meriwayatkan dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah saw. pernah berkata:

«مَثَلُ الَّذِي يَفِرُّ مِنَ الْمَوْتِ كَمَثَلِ الثَّعْلَبِ, تَطْلُبُهُ الْأَرْضُ بِدَيْنٍ, فَجَعَلَ يَسْعَى, حَتَّى إِذَا أَعْيَى وَانْتَهَرَ دَخَلَ جُحْرَهُ, فَقَالَتْ لَهُ الْأَرْضُ: يَا ثَعْلَبُ, دَيْنِي, فَخَرَجَ, وَلَهُ حُصَاصٌ, فَلَمْ يَزَلْ كَذَلِكَ حَتَّى تَقَطَّعَتْ عُنُقُهُ , فَمَاتَ»

Perumpamaan orang yang lari dari kematian seperti perumpamaan rubah yang dicari oleh bumi untuk membayar utang. Dia terus berlari. Lalu manakala telah lelah dan kecapaian, dia masuk ke dalam lubangnya. Lalu bumi berkata kepada dia, “Wahai rubah, bayarlah utangku!” Lalu rubah keluar dengan nafas yang terengah-engah. Dia terus berusaha dalam keadaan demikian hingga urat lehernya terputus , lalu ia mati.

 

Mengenai mukhâthab atau pihak yang diajak bicara ayat ini, ada beberapa pendapat. Ada yang mengatkan bahwa khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada manusia secara umum. Menurut Ibnu Katsir, pendapat yang shahih adalah manusia itu sendiri.24

Penafsiran tersebut dikaitkan dengan firman Allah dalam ayat sebelumnya.25

Fakhruddin ar-Razi juga mengatakan bahwa khithâb atau seruan itu bersifat umum, yakni mencakup semua orang yang mendengarkan seruan ini. Seolah dikatakan, “(Kematian) itulah yang selalu kalian hindari, wahai pendengar.”26

Ada juga yang berpendapat bahwa yang diseru ayat ini adalah orang-orang faajir atau kafir. Penafsiran ini, ketika dikaitkan kata ( الْحَقِّ ), maka khithaab-nya ditujukan kepada al-faajir.27

Demikianlah. Sakaratul maut pasti akan mendatangi setiap manusia. Ketika itu terjadi, tak seorang pun bisa mengelak dari kematian tersebut. Ketika itu pula, dia akan melihat berbagai hal gaib yang dulu diingkari oleh orang-orang kafir.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

  1. Lihat Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr , 26 (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984), 305
  2. al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 385. Lihat juga al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, vol. 5 (Beirut: Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1998), 141
  3. al-Alusi, h al-Ma’ânî, 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 332
  4. Lihat Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr , 26, 305; juga al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, vol. 5, 141
  5. al-Alusi, h al-Ma’ânî, 13, 332
  6. Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, 2 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 1084
  7. al-Naisaburi, al-Tafsîr al-Basîth, 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1994), 166; al-Baghawi, Ma’âlim al-Ta’lîm, vol. 7 (Riyad: Dar Thayyibah, 1992), 359; al-Khazin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 188; Ibnu ‘Adil, al-Lubâb fî’ ‘Ulûm al-Qur`ân, vol. 18 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1998), 27
  8. al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, 4, 385
  9. al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 346
  10. Abd al-Haqq al-Asybili, al-’Âqabah fî Dzikri al-Mawt (Kuwait: Maktbah Dar al-Aqsha, 1986), 113
  11. al-Alusi, h al-Ma’ânî, 13, 332; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 385
  12. Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 9, 534
  13. al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 346
  14. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 399
  15. al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, 5 (Madinah: Maktbah al-Ulum wa al-Hikam, 2003), 144
  16. al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 12
  17. -Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, 27 (Beirut: Dar Thawq al-Najah, 2001), 441
  18. Jalaluddin, Tafsîr al-Jalâlayni (Kairo: Dar al-Hadits, tt), 690
  19. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 399
  20. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 399
  21. al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 347
  22. al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, 4, 188
  23. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 399
  24. al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, 4, 385; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26, 293
  25. al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 127, 135
  26. al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, 4, 386

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve + eighteen =

Back to top button