
Keadilan Islam
Keadilan merupakan salah satu pilar utama dalam pemerintahan Islam. Karena itu pada masa lalu para khalifah, juga para qâdhi (hakim) sebagai penegak hukum, berusaha keras menerapkan kebijakan dan keputusan hukum dengan seadil-adilnya. Tentu berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah.
Pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, beliau pernah membagikan jubah kepada masyarakat. Suatu hari, Umar naik mimbar dan menyampaikan khutbah. Saat itu, seorang sahabatnya, Salman al-Farisi ra., bertanya, “Amirul Mukminin, bagaimana mungkin Anda mendapatkan jubah yang cukup besar, sedangkan kita hanya diberi sepotong kecil?”
Khalifah Umar segera menjawab bahwa jubah yang ia kenakan itu berasal dari tambahan potongan kain yang diberikan oleh anaknya, Abdullah bin Umar ra. Khalifah Umar tidak marah kepada Salman yang menanyakan keabsahan jubahnya, bahkan beliau menghargai sikapnya sebagai bentuk kritik yang membangun. Ini menunjukkan sikap adil Khalifah Umar yang bahkan rela dipertanyakan oleh rakyatnya demi keadilan (Ath-Thabari, Târîkh ath-Thabarî, 3/211).
Sikap yang sama ditunjukkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib ra. Suatu hari, perisai Khalifah Ali bin Abi Thalib hilang dan ditemukan di ada tangan seorang Yahudi. Ali mengenali perisai itu sebagai miliknya dan membawa kasus ini ke Pengadilan. Di Pengadilan, di hadapan Qadhi Syuraih, Ali mengajukan dua saksi. Namun, salah satunya adalah putranya sendiri. Qadhi Syuraih menolak putra Imam ali sebagai saksi karena dianggap kurang independen. Akhirnya, perisai tetap berada di tangan si Yahudi. Ini karena Imam Ali dianggap tidak memiliki cukup bukti dan saksi. Saat itu Imam Ali ra., meski berkedudkukan sebagai kepala negara, menerima keputusan tersebut dengan lapang dada. Melihat keadilan sang Qadhi, juga kelapangan dada Imam Ali ra., akhirnya si Yahudi masuk Islam (Ibnu al-Jauzi, Taariikh Ibn al-Jauzi, hlm. 319).
Peristiwa lainnya terkait dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan seekor unta. Suatu ketika, salah seorang putranya memasukkan seekor unta ke dalam kandang unta milik Baitul Mal (Negara). Khalifah Umar segera menegur dan memerintahkan agar unta tersebut dipisahkan. Beliau tidak ingin aset pribadinya bercampur dengan harta milik umum demi menjaga keadilan dan amanah dalam pemerintahan (Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, 5/132).
Berikutnya adalah kisah yang terkait dengan Khalifah Harun ar-Rasyid dan salah seorang gubernurnya. Suatu ketika Khalifah Harun ar-Rasyid menerima laporan bahwa salah satu gubernurnya bertindak zalim terhadap rakyatnya. Tanpa ragu, Khalifah Harun ar-Rasyid mememecat dan mengadili gubernur tersebut. Dalam persidangan, gubernur tersebut tidak mendapatkan perlakuan istimewa. Dia bahkan dihukum sesuai dengan kesalahannya (Abu Ubaid, Kitâb al-Amwâl, hlm. 228).
Berikutnya, pada masa Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, ada seorang rakyat biasa yang merasa dirugikan oleh salah satu pejabat negara. Khalifah Sulaiman lalu mengizinkan rakyat tersebut untuk mengajukan gugatan secara langsung. Ia bahkan memberikan fasilitas agar pengadilan bisa dilangsungkan secara terbuka. Setelah mendengarkan seluruh saksi dan bukti, Khalifah Sulaiman memutuskan bahwa pejabat itu bersalah dan harus memberikan ganti rugi (Ibnu Asyakir, Târîkh Dimasyq, 31/183).
Kisah lainnya lagi terjadi pada masa Khalifah al-Mahdi. Suatu ketika Khalifah al-Mahdi dari Bani Abbasiyah pernah mendengar keluhan seorang rakyat yang kehilangan hewan ternaknya karena dicuri. Meski kasus ini tampak sepele, tanpa ragu, Khalifah memerintahkan aparat untuk mencari hewan tersebut dan menangkap pencurinya. Tidak lama kemudian, pelakunya tertangkap. Khalifah al-Mahdi lalu memerintahkan untuk mengembalikan hewan tersebut kepada pemiliknya serta memberikan sanksi yang tegas kepada pencuri (Ibnu Katsir, Al-Bidaayah wa an-Nihaayah, 10/210).
Berikutnya adalah kisah yang terjadi pada Khalifah al-Mu’tasim Billah. Pada masanya pernah terjadi seorang wanita Muslim ditawan dan dihina oleh tentara Romawi di perbatasan. Mendengar kejadian tersebut, Khalifah al-Mu’tasim tidak tinggal diam. Ia segera mengerahkan pasukan untuk menyelamatkan Muslimah tersebut. Khalifah bahkan turun langsung memimpin pasukan hingga wanita itu dibebaskan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin dalam Islam memiliki tanggung jawab untuk melindungi martabat umatnya (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, 9/240).
Berikutnya adalah kisah Qadhi Iyadh bin Musa. Ia adalah seorang hakim terkenal di Andalusia. Ia pernah mengadili sebuah kasus fitnah yang dilakukan oleh seseorang terhadap sesama Muslim. Dalam kasus tersebut, Qadhi Iyadh bersikap tegas dan memerintahkan hukuman bagi pelaku fitnah. Ini sesuai dengan ajaran Islam yang melarang keras menyebarkan fitnah (Ibnu Khallikan, Târîkh al-Qudhât fî al-Islâm, 1/113).
Terakhir adalah kisah Al-Khair bin Na’im. Ia dikenal sebagai salah seorsang hakim Mesir yang adil. Suatu saat datanglah kepada beliau dua orang yang bersengketa dalam kasus jual-beli seekor unta yang kemudian diketahui cacat. Pembeli melihat unta itu cacat saat ia beli dan ia ingin membatalkan jual-beli unta itu. Sebaliknya, si penjual menolaknya karena tidak melihat adanya kecacatan saat menjual unta itu.
Keduanya datang kepada Al-Khair saat waktu shalat magrib tiba. Karena itu sang hakim menunda proses hukum pada esok harinya agar tidak terlewatkan waktu shalat. Penjual dan pembeli itu pun menginap. Tanpa diduga, pada malam hari unta yang disengketakan mati. Pagi harinya, kedua orang itu datang kepada hakim menyampaikan status unta, siapa yang harus mengganti harga unta yang mati itu? Al-Khair pun menjawab, “Wahai putraku, bukan penjual atau pembeli yang mengganti, tetapi hakim yang menunda proses hukum yang harus mengganti.” Akhirnya, Al-Khair pun mengganti harga unta itu (Ibn Abdil Barr, Ad-Durrar al-Munazhzham, hlm. 231).
Demikianlah. Kisah-kisah di atas menunjukkan betapa besar perhatian para khalifah dan hakim dalam menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Prinsip keadilan dalam Islam dijunjung tinggi oleh para pemimpin dan hakim sepanjang masa Kekhilafahan Islam. Dengan memutuskan setiap perkara berdasarkan hukum Allah SWT, mereka berhasil menciptakan masyarakat yang adil dan damai.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLâh. [Arief B. Iskandar]