Hadis Pilihan

Penimbunan Adalah Haram

لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ

Tidak ada yang melakukan penimbunan kecuali orang yang bermaksiat

(HR Muslim no. 1605, Ahmad no. 15758, 15759, 16760, 16761, Ibnu Majah no.2154, Abu Dawud no. 3447, at-Tirmidzi no. 1267, Ibnu Hibban no. 4936, al-Hakim no. 2163 dan al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ no. 11148).

 

Hadis ini diriwayatkan dari jalur Sa’id bin al-Musayyab, dari Ma’mar bin Abdullah al-‘Adawi. Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi lain:

مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ

Siapa saja yang melakukan penimbunan maka dia bermaksiat (berdosa) (HR Muslim no. 1605, Abu ‘Awanah no. 5484, ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Kabîr no. 1086 dan al-Baihaqi di Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar no. 11656).

 

Imam an-Nawawi di dalam Syarhu Shahîh Muslim menjelaskan, ahlu al-lughah mengatakan, al-khâthi‘u adalah orang yang bermaksiat dan berdosa (al-‘âshiy al-âtsim). Hadis ini gamblang menjelaskan pengharaman al-ihtikâr (penimbunan).

Hadis ini disampaikan dalam bentuk redaksi berita, namun memberi makna larangan. Sebagaimana ketentuan ushul, redaksi berita tentang suatu perbuatan yang disertai dengan celaan atas perbuatan itu memberi makna larangan atas perbuatan tersebut. Adanya qarînah (indikasi)lah yang menentukan arah larangan itu apakah tegas atau tidak tegas, yakni apakah larangan itu memberi faedah haram atau yang lain. Qariinah dalam hadis di atas yaitu penilaian atas pelaku perbuatan itu sebagai al-‘âshiy al-âtsim (bermaksiat/dosa). Hal ini menunjukkan bahwa larangan itu merupakan larangan yang tegas sehingga perbuatan yang dilarang, yakni al-ihtikâr (penimbunan), adalah haram. Sebabnya, tidaklah disebut orang itu bermaksiat dan berdosa kecuali dia melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban. Dengan demikian al-ihtikâr (penimbunan) adalah haram.

Ketegasan larangan itu juga dikuatkan oleh qarînah lainnya yang ada dalam hadis lainnya. Umar bin al-Khaththab ra. menuturkan bahwa Rasul saw. telah bersabda:

مَنِ احْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طَعَامَهُمْ، ضَرَبَهُ الله بِالْجُذَامِ وَالْإِفْلَاسِ

Siapa yang melakukan penimbunan makanan (sehingga terhalang) dari kaum Muslim, niscaya Allah menimpakan pada dirinya penyakit kusta/lepra dan kebangkrutan (HR Ibnu Majah no. 2155 dan al-Baihaqi di Syu’ab al-Îmân no. 10705).

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fathu al-Bârî menilai riwayat Ibnu Majah ini sebagai hadis hasan.

Hal itu juga ditekankan di sebagian hadis lainnya yang dinilai dha’iif. Dalam riwayat yang dinilai oleh Badruddin al-‘Ayni di dalam ‘Umdah al-Qârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani sebagai dha’iif, Rasul saw. bersabda:

اَلْجَالِبُ مَرْزُوْقٌ وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُوْنٌ

Orang yang mendatangkan barang itu diberi rezeki, sedangkan orang yang menimbun dia dilaknat (HR Ibnu Majah dan al-Hakim).

 

Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasul saw. juga pernah bersabda:

مَنِ احْتَكَرَ يُرِيدُ أَنْ يُغَالِيَ بِهَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَهُو خَاطِئٌ، وَقَدْ بَرِئَتْ مِنْه ذِمَّةُ الله

Siapa saja yang melakukan penimbunan karena ingin memahalkan harganya terhadap kaum Muslim maka dia telah bermaksiat dan berdosa. Jaminan Allah pun telah lepas dari dirinya (HR al-Hakim, al-Baihaqi).

 

Imam asy-Syaukani di dalam Nayl al-Awthâr menyatakan: tidak diragukan lagi bahwa hadis-hadis bab ini (bâb mâ jâ’a fî al-ihtikâr [bab tentang penimbunan]) secara keseluruhannya digunakan untuk berargumentasi atas ketidakbolehan penimbunan meski diasumsikan Sebagian hadis-hadisnya tidak terbukti di dalam Ash-Shahîh. Bagaimana tidak. Hadis Ma’mar yang disebutkan di dalam Shahîh Muslim, juga pernyataan gamblang bahwa al-muhtakir (orang yang menimbun) adalah khâthi’[un], cukup memberikan faedah tentang ketidakbolehan itu. Sebabnya, al-khâthi’u adalah al-mudznibu al-‘âshiyu (orang berdosa dan bermaksiat), yaitu isim faa’il dari khathi’a, yakni yang berdosa dalam perbuatannya. Demikian dikatakan oleh Abu ‘Ubaidah. Ia berkata, “Aku mendengar al-Azhari mengatakan bahwa khathi’a jika dia menyengaja dan akhtha`a jika tidak menyengaja.”

Al-Kasani menyatakan di dalam Badâ‘i’u ash-Shanâ‘i’, “Semisal ancaman ini tidak berlaku kecuali dengan melakukan yang haram dan karena itu (penimbunan) adalah kezaliman. Sebabnya, apa saja yang dijual di suatu kota di dalamnya ada hak masyarakat umum. Maka dari itu, jika pembeli dihalangi dari membeli suatu barang ketika sangat memerlukan barang tersebut, maka itu telah menghalangi hak mereka. Menghalangi hak orang yang berhak adalah kezaliman dan haram. Sama saja dalam hal itu jangka waktunya pendek atau panjang karena kezaliman memang terjadi.”

Sebagian ulama menilai penimbunan termasuk dosa besar. Imam Ibnu Hajar al-Haitami di dalam Nihâyah al-Muhtâj mengatakan, “Keberadaannya sebagai dosa besar itu nyata dalam beberapa  hadis karena di dalamnya mengandung ancaman keras seperti laknat, lepasnya jaminan Allah dan Rasul-Nya serta ditimpakan penyakit kusta/lepra dan kebangkrutan (kepada pelakuknya, red.). Sebagian ini adalah dalil atas dosa besar.”

Seperti yang dikatakan oleh al-Kasani di atas, pengharaman penimbunan ini mencegah kezaliman terhadap masyarakat umum. Inilah hikmah dari pengharaman penimbunan yang diisyaratkan oleh hadis-hadis tentang penimbunan.

Imam an-Nawawi di dalam Syarhu Shahîh Muslim menyatakan, “Ulama mengatakan bahwa hikmah pengharaman penimbunan adalah mencegah dharar dari masyarakat umum. Sebagaimana ulama berijmak bahwa seandainya orang memiliki makanan dan masyarakat kesulitan mendapatkan makanan tersebut, sementara mereka tidak mendapati yang lainnya, maka dia dipaksa untuk menjual makanan itu sebagai pencegahan/penghilangan dharar dari masyarakat. Adapun yang disebutkan di dalam buku bahwa Sa’id bin al-Musayyab dan Ma’mar perawi hadis, keduanya melakukan penimbunan yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abdi al-Barr dan yang lainnya, tidak lain keduanya menimbun minyak, dan keduanya membawa (larangan) hadis itu pada penimbunan makanan ketika dibutuhkan dan harganya mahal. Demikianlah Asy-Syafi’iy, Abu Hanifah dan yang lain membawa pemahamannya dan itu benar”.

Dengan demikian penimbunan adalah haram. Siapa saja yang melakukan penimbunan yang diharamkan itu berarti telah melakukan dosa besar. Hal itu merupakan jarîmah yang pelakuknya layak mendapat sanksi ta’ziir yang penetapannya diserahkan kepada Khalifah atau qaadhi.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × 1 =

Check Also
Close
Back to top button