
Pengkhususan Al-Manthûq Dengan Al-Mafhûm
تَخْصِيْصُ الْمَنْطُوْقِ بِالْمَفْهُوْمِ
Takhshîsh al-manthûq dengan al-mafhûm adalah boleh, baik mafhûm al-muwâfaqah maupun mafhûm al-mukhâlafah. Kebolehan takhshîsh al-manthûq dengan mafhûm al-muwâfaqah menjadi pendapat mayoritas para ulama dan fuqaha, meski Hanafiyah memberikan syarat tersendiri. Adapun menurut Ibnu Hazm azh-Zhahiri tidak boleh.
Kebolehan takhshîsh al-manthûq dengan mafhûm al-mukhâlafah juga menjadi pendapat jumhur, meski menurut sebagian kecil ulama tidak boleh. Syaikh Shafiyuddin al-Hindi (w. 715 H) di dalam Nihâyah al-Wushûl menyatakan, “Tidak ada keraguan tentang kebolehan takhshîsh dengan mafhûm al-muwâfaqah baik dalaalah-nya lafzhah atau maknawi.”
Tajuddin as-Subki mengomentari masalah ini di dalam Al-Ibhâj fî Syarhi al-Minhâj, “Ini baik dan obyek perbedaan harus dijadikan pada mafhûm al-mukhâlafah.” Ia menegaskan, “Obyek kesepakatan adalah pada mafhûm al-muwâfaqah. Oleh karena itu, pengarang (Ibnu al-Hajib) tidak membicarakan masalah ini. Sebabnya, tidak ada tujuan besar dalam berargumentasi dengan apa yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya. Ia hanya membicarakan obyek perbedaan, yaitu mafhûm al-mukhâlafah.”
Sebagian ulama tidak memperbolehkan takhshîsh al-manthûq dengan mafhûm al-mukhâlafah. Di antaranya, menurut az-Zarkasyi di dalam Bahru al-Muhîth, bahwa Ibnu al-’Arabi al-Maliki menisbatkan pendapat ini sebagai pendapat Imam Malik. Ketidakbolehan ini juga menjadi pendapat sebagian Malikiyah, menurut at-Tilmisani di dalam Miftâh al-Wushûl; Fakhruddin ar-Razi dari Syafi’iyah di dalam Al-Mahshûl; Qadhi Abu Ya’la dan Abu al-Khaththab dari Hanabilah; dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri.
Yang raajih adalah bahwa takhshîsh al-manthûq dengan al-mafhûm, baik mafhûm al-muwâfaqah maupun mafhûm al-mukhâlafah, adalah boleh. Hal itu setidaknya karena dua argumentasi: Pertama, al-mafhûm merupakan dalâlah lafal seperti halnya al-manthûq. Hanya bedanya, al-mafhûm merupakan dalâlah maknawi, sedangkan al-manthûq merupakan dalâlah lafzhiyah. Dalâlah an-nash dalam dua bentuknya ini sama-sama merupakan hujjah atas hukum syariah. Karena itu al-mafhûm layak dan boleh mengkhususkan al-manthûq.
Betul bahwa dari sisi kekuatannya, dalâlah al-manthûq lebih kuat dari al-mafhûm. Namun, hal itu tidak menghalangi al-mafhûm untuk mengkhususkan al-manthûq. Sebabnya, pengkhususan itu merupakan bentuk bayân, bukan naskh. Di situ tidak disyaratkan kesetaraan kekuatan dalâlah atau bahkan lebih kuat untuk bisa mengkhususkan. Sudah menjadi kesepakatan bahwa hadis ahad boleh mengkhususkan al-Quran dan hadis mutawatir. Padahal hadis ahad jelas lebih lemah dari keduanya. Jika hal itu disepakati boleh, tentu saja al-mafhûm juga boleh mengkhususkan al-manthûq.
Kedua, al-mafhûm merupakan hujjah, sama seperti al-‘âm al-manthûq. Jika keduanya tampak kontradiksi maka pertama-tama harus dibawa pada pemahaman bahwa al-mafhûm mengkhususkan keumuman al-manthûq. Dengan demikian keduanya yang merupakan hujjah dapat diamalkan sekaligus. Tidak boleh langsung dibawa pada pengabaian al-mafhuum dan mengedepankan al-manthûq. Sebabnya, sudah disepakati bahwa mengamalkan dua dalil adalah lebih utama daripada mengabaikan salah satunya. Kecuali jika keduanya tidak bisa dipertemukan, barulah harus diambil salah satu dan yang lain diabaikan. Dalam hal ini keduanya bisa dipertemukan dalam bentuk pengkhususan (takhshîsh) al-manthûq dengan al-mafhûm. Ini yang harus diambil.
Dengan demikian pengkhususan (takhshîsh) al-manthûq dengan al-mafhûm jelas boleh, baik dengan mafhûm al-muwâfaqah maupun mafhûm al-mukhâlafah. Hanya saja, hal itu dengan syarat, al-mafhûm itu (khususnya mafhûm al-mukhâlafah) harus mu’tabar (mafhûm ash-shiffah, mafhûm al-‘adad, mafhûm al-ghâyah dan mafhûm asy-syarth; selain jenis itu tidak mu’tabar) dan boleh diamalkan, yakni al-mafhûm itu tidak dibatalkan oleh dalil yang lebih kuat. Az-Zarkasyi di dalam Bahru al-Muhîth, mengutip Qadhi Abu Thayyib ath-Thabari asy-Syafi’iy (w. 450 H), menyatakan, “Pengkhusan al-‘âm dengan dalîl al-khithâb (mafhûm al-mukhâlafah) wajib, kecuali dihalangi oleh dalil yang lebih kuat dari mafhuum tersebut. Ketika itu gugurlah mafhuum itu dan al-‘âm tetap atas keumumannya.”
- Contoh takhshîsh al-manthûq dengan mafhûm al-muwâfaqah.
Contohnya sabda Rasul saw.:
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
Orang mampu yang menunda-nunda bayar utang berarti menghalalkan kehormatannya dan sanksinya (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasai, Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Makna “yuhillu ’irdhahu, yakni syikâyatuhu (diadukan) atau yughallazhu lahu (dikerasi); dan ‘uqûbatuhu, yakni habsuhu (ditahan) atau sijnuhu (dipenjara)”.
Ini dikhususkan oleh mafhûm al-muwâfaqah dari firman Allah SWT:
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا ٢٣
Karena itu sekali-kali janganlah kalian mengatakan kepada keduanya (ibu-bapak) perkataan “ah” dan janganlah kalian membentak mereka (QS al-Isra’ [17]: 23).
Mafhûm muwâfaqah ayat ini bahwa perlakuan tidak baik kepada orangtua (ibu-bapak) lebih dari berkata “ah” lebih diharamkan. Mengadukan dan memenjarakan/menahan ibu-bapak jelas haram menurut ayat ini. Menurut Ibnu Najar (w. 972 H) di dalam Syarhu Kawakib al-Munîr, “Ibu-bapak tidak diadukan dan tidak disanksi karena utang kepada anaknya, bahkan tidak dituntut. Ini menurut pendapat yang shahih dan menjadi pendapat mayoritas ulama.”
Ini merupakan pendapat Hanafiyah menurut az-Zayla’iy di dalam Tabyînu al-Haqâ‘iq Syarhu Kanzi Daqâ‘iq; pendapat Malikiyah menurut ad-Dasuqi di dalam Hasyiyah ad-Dasûqî; pendapat yang lebih shahih dalam Syafi’iyah menurut Imam an-Nawawi di dalam Rawdhah ath-Thâlibîn dan al-Isnawi di dalam At-Tamhîd fî Takhrîj al-Furû’ ‘alâ al-Ushûl; juga pendapat Hanabilah menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam Ushûl al-Fiqhi al-Islâmî.
Contoh lainnya, terkait had qadzaf dalam firman Allah SWT:
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ ٤
Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera” (QS an-Nur [24]: 4).
Manthûq ayat ini berlaku secara umum atas semua orang yang menuduh qadzaf. Namun, ketentuan umum ini dikhususkan pada selain ibu-bapak yang menuduh qadzaf anaknya sesuai dengan mafhûm al-muwâfaqah QS al-Isra’ [17]: 23. Jadi had qadzaf tidak diberlakukan terhadap orangtua yang menuduh anaknya. Ini pendapat Hanafiyah, menurut al-Kasani di dalam Badâ‘i’u ash-Shanâ‘i’; Syafi’iyah, menurut Imam an-Nawawi di dalam Rawdhah ath-Thâlibîn; Hanabilah, menurut Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughnî; juga pendapat yang raajih dan mu’tamad pada Malikiyah, menurut ad-Dasuqi di dalam Hasyiyah ad-Dasûqî.
Al-Kasani menyatakan di dalam Badâ‘i’u ash-Shanâ‘i’, “Orang yang menuduh itu harus bukan bapaknya orang yang dituduh, bukan kakeknya dan seterusnya ke atas; bukan ibunya, bukan neneknya dan seterusnya ke atas. Jika begitu, tidak ada had atasnya karena firman Allah: Falâ taqul lahumâ uff[in] (QS al-Isra’ [17]: 23). Larangan dari berkata “ah” secara tekstual (nash[an]) merupakan larangan dari memukul secara dalâlah. Karena ini orangtua tidak dibunuh secara qishaash. Juga karena firman Allah SWT “wa bi al-wâlidayn ihsân[an] (dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya (TQS al-isra’ [17]: 23). Menuntut dengan qadzaf bukan ihsân sehingga dinafikan dengan nas, juga karena menghormati dan memuliakan ibu-bapak adalah wajib secara syar’i”.
Hal yang sama dilakukan terhadap ketentuan dalam firman Allah SWT: Wa as-sâriqu wa as-sâriqatu fa[i]qtha’û aydiyahumâ (Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya) (TQS al-Maidah [5]: 38). Manthuuq ayat ini berlaku secara umum atas pencuri siapapun. Namun menurut jumhur (Syafi’iyah dalam Rawdhah ath-Thâlibîn, Imam an-Nawawi; Hanafiyah dalam Badâ‘i’u ash-Shanâ‘i’ al-Kasani; Malikiyah dalam Hasyiyah ad-Dasûqî; dan Hanabilah dalam al-Mughnî Ibnu Qudamah), ini tidak diberlakukan atas orangtua yang mengambil harta anaknya. Ayat tersebut di-takhshîsh dengan mafhûm al-muwâfaqah firman Allah QS al-Isra’ [17]: 23 di atas. Ini ditegaskan oleh riwayat bahwa seorang laki-laki mengadu kepada Rasul saw.: “Ya Rasulullah, aku punya anak dan harta, sementara bapakku mengambil hartaku tanpa izin (ijtâha mâlî).” Rasul saw. bersabda:
أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكَ، إِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ، فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلَادِكُمْ
Kamu dan hartamu untuk bapakmu. Sungguh anak-anak kalian termasuk perolehan kalian yang paling baik. Jadi makanlah dari perolehan anak-anak kalian (HR Ahmad no. 7001 Abu Dawud no. 3530, Ibnu Majah no. 2292, al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ no. 15748, 15750).
- Contoh takhshîsh al-manthûq dengan mafhûm al-mukhâlafah.
Hadis yang menyatakan air tidak ternajisi kecuali berubah warna, rasa atau baunya di-takhshîsh dengan mafhûm al-mukhâlafah hadis dua qullah. Jadi air yang kurang dari dua qullah ternajisi meski tidak berubah warna, rasa atau baunya.
Keumuman hadis tentang kewajiban zakat hewan ternak, di-takhshîsh oleh mafhûm al-mukhâlafah hadis bahwa zakat hewan ternak berlaku pada yang digembalakan. Yang tidak digembalakan, yakni dikandangkan dan diberi pakan atau dipekerjakan, tidak wajib dizakati.
Contoh lain, sabda Rasul saw.:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Siapa yang menyentuh zakarnya, hendaklah dia berwudhu (HR Ahmad no. 7076 dan 27293, Abu Dawud no. 181, Ibnu Hibban no. 1116, ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Kabîr no. 3928, al-Hakim no. 474 dan 475, al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ no. 621).
Keumuman manthûq hadis ini di-takhshîsh dengan mafhûm al-mukhâlafah sabda Rasul saw.:
إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى فَرْجِهِ، وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا سِترٌ وَلَا حِجَابٌ، فَلْيَتَوَضَّأْ
Jika salah seorang dari kalian menyentuh farjinya dengan telapak tangannya dan tidak ada penghalang di antaranya, hendaklah dia berwudhu (HR Ibnu Hibban no. 1118, ath-Thabarani di dalam Mu’jam ash-Shaghîr no. 110, al-Bazar no. 8552, asy-Syafi’iy di dalam Musnad no. 88).
Jadi jika tidak dengan telapak tangan, misal dengan punggung tangan, maka tidak membatalkan wudhu.
Contoh lain, Rasul saw. bersabda tentang makmum yang masbuuq:
…فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
…Apa saja yang kalian dapati maka shalatlah dan apa yang kalian lewatkan maka lengkapilah (HR al-Bukhari no. 635, 636 dan 908, Muslim no. 602, 603, Ahmad no. 7230, Ibnu Majah no 775, Abu Dawud no. 572, at-Tirmidzi no. 327, ad-Darimi no. 1319).
Keumuman manthûq hadis ini jika diterapkan dalam shalat Jumat, siapa mendapati seberapapun dari shalat Jumat, meski tidak sampai satu rakaat, maka dia melengkapinya menjadi dua rakaat shalat Jumat. Namun, ini di-takhshîsh oleh mafhûm al-mukhâlafah sabda Rasul saw.:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
Siapa saja yang mendapati satu rakaat dari shalat, maka dia mendapati shalat itu (HR al-Bukhari no. 580, Muslim no. 607, Abu Dawud no. 1121, Ibnu Majah no. 1123, at-Tirmidzi no. 524).
Imam at-Tirmidzi menyatakan, amal menurut ini pada kebanyakan ahlul ilmi dari Sahabat Nabi saw. dan yang lainnya, mereka mengatakan: “Siapa saja yang mendapati satu rakaat dari Jumat, dia shalat satu rakaat lainnya. Siapa saja yang mendapati duduk (tidak satu rakaat) maka dia shalat empat rakaat. Ini juga pendapat Sufyan ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak, asy-Syafi’iy, Ahmad dan Ishaq.”
Mafhum al-mukhâlafah hadis ini, siapa saja yang mendapati kurang dari satu rakaat, dia tidak mendapati shalat itu. Jadi siapa yang tidak mendapati rukuk rakaat kedua Jumat, dia tidak mendapati shalat Jumat. Karena itu dia tidak melengkapinya dua rakaat, melainkan dia harus melengkapi empat rakaat shalat Zhuhur. Ini ditegaskan oleh sabda Rasul saw.:
مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوعَ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيُضِفْ إِلَيْهَا أُخْرَى, وَمَنْ لَمْ يُدْرِكِ الرُّكُوعَ مِنَ الرَّكْعَةِ الْأُخْرَى فَلْيُصَلِّ الظُّهْرَ أَرْبَعًا
Siapa saja yang mendapati rukuk rakaat terakhir Hari Jumat, hendaklah dia menambah satu rakaat lainnya. Siapa saja yang tidak mendapati rukuk dari rakaat terakhir, hendaklah dia shalat Zhuhur empat rakaat (HR ad-Daraquthni no. 1603).
Masih banyak contoh lainnya.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]