Perjudian
وَمَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ: تَعَالَ أُقَامِرْكَ، فَلْيَتَصَدَّقْ…
Siapa saja yang mengatakan kepada temannya, “Ke sini. Aku berjudi denganmu,” maka hendaklah dia bersedekah.” (HR al-Bukhari no. 4860, 6107, 6301 dan 6650, Muslim no. 1647, at-Tirmidzi no. 1545, an-Nasa’i no. 3775).
Hadis ini dikeluarkan dari jalur Abu Hurairah ra. Imam at-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan shahih.” Hadis ini sudah jelas shahih karena merupakan hadis muttafaq ‘alayhi yang dinyatakan di dalam Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim.
Hadis ini diriwayatkan dengan redaksi sedikit berbeda dengan ada tambahan di akhirnya:
وَمَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ: تَعَالَ أُقَامِرْكَ، فَلْيَتَصَدَّقْ بِشَيْءٍ
Siapa saja yang mengatakan kepada temannya, “Ke sini. Aku berjudi denganmu,” maka hendaklah dia bersedekah dengan sesuatu (HR Muslim no. 1647 riwayat kedua, Ahmad no. 8087, Abu Dawud no. 3247, Ibnu Khuzaimah no. 45, Ibnu Hibban no. 5705).
Badruddin al-‘Ayni (w. 855 H) di dalam ‘Umdah al-Qârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî menjelaskan: Sabda Rasul saw. ‘uqâmirka’ di-jazm-kan karena merupakan jawab perintah. Dikatakan “qâmarahu – yuqâmiruhu – qimâr[an] jika masing-masing meminta untuk mengalahkan temannya dalam perbuatan atau ucapan, untuk mengambil harta yang mereka jadikan untuk yang menang. Itu adalah haram menurut ijmak.”
Ia juga menyatakan, “Para ulama tidak berbeda pendapat tentang pengharaman judi (al-qimâr) karena firman Allah QS al-Maidah [5]: 90. Ahli tafsir sepakat bahwa al-masyîr di ayat ini adalah al-qimâr (judi).
Di dalam hadis ini, sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syawkani (w. 1250 H) di dalam Nayl al-Awthâr, ada dalil atas larangan perjudian (al-muqâmarah). Sebabnya, sedekah yang diperintahkan merupakan kafarah dari dosa. Yang dimaksudkan dengan perjudian (al-qimâr) yang disebutkan di sini adalah al-maysir dan semacamnya yang dulu dilakukan oleh orang Arab, yaitu yang dimaksudkan dengan firman Allah SWT QS al-Maidah [5]: 90. semua yang di situ pemainnya tidak kosong dari untung atau rugi maka itu adalah perjudian (maysir). Al-Quran menyatakan yang demikian wajib dijauhi (QS al-Maidah [5]: 90). As-Sunnah juga menyatakan pengharamannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani (w. 852 H) di dalam Fathu al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî menyatakan, “Iyadh berkata, dalam hadis ini ada hujjah untuk jumhur bahwa ‘azam untuk bermaksiat, jika telah tetap di hati, maka merupakan dosa yang dituliskan berbeda dengan lintasan keinginan yang tidak tetap. Aku (Ibnu Hajar) katakana: Aku tidak tahu dari mana hal itu diambil. Padahal ada pernyataan di hadis ini tentang keluarnya ucapan, karena dikatakan dalam hadis itu “uqâmirka”. Jadi dia mengajak pada maksiat dan perjudian (al-qimâr). Ini adalah haram menurut kesepakatan dan ajakan melakukan maksiat adalah haram dan bukan hanya ‘azam semata.
Perintah bersedekah “falyatashaddaq (hendaklah dia bersedekah)” menurut al-Khaththabi (w. 388 H) di dalam Ma’âlim as-Sunan Syarhu Sunan Abî Dâwud adalah bersedekah dengan kadar apa yang dijadikan taruhan dalam judi. Namun, menurut Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam al-Minhâj Syarhu Shahîh Muslim bin al-Hajâj, “Para ulama mengatakan, perintah bersedekah merupakan kafarat untuk kesalahan dalam ucapannya dengan kemaksiatan ini (ajakan berjudi). Al-Khaththabi mengatakan: maknanya adalah “hendaklah bersedekah dengan kadar apa yang dijudikan.” Yang shawâb adalah pendapat para pen-tahqiiq. Itu adalah zhaahir hadis tersebut bahwa tidak dikhususkan dengan kadar itu, tetapi bersedekah dengan apa yang mudah yang bisa disebut sedekah. Hal itu dikuatkan oleh riwayat Ma’mar yang disebutkan oleh Imam Muslim “falyatashaddaq bi syay’[in]”.
Az-Zaila’i (w. 743 H) di dalam Tabyîn al-Haqâ‘iq Syarhu Kanzi ad-Daqâ‘iq menjelaskan fakta perjudian (al-qimâr), dan alasan penyebutannya, “Al-Qimâr (perjudian) yang diambil dari al-qamar (bulan), yang satu waktu bertambah besar, dan pada waktu lain bertambah kecil. Al-Qimâr disebut demikian karena masing-masing dari orang yang berjudi bisa kehilangan hartanya; pergi kepada pihak lain, dan masing-masing bisa mendapatkan harta pihak lain. Dengan itu harta masing-masing pihak yang berjudi bisa bertambah (dengan mendapat harta dari pihak lain), dan bisa berkurang (hartanya pergi ke pihak lain). Lalu disebutlah dengan qimâr. Ini hukumnya jelas haram berdasarkan nas. Tidak demikian, jika syarat tersebut berasal dari satu pihak. Misalnya, dengan mengatakan, “Jika engkau berhasil mendahuluiku maka aku harus memberimu sekian. Jika aku menang, maka engkau tidak perlu membayar apa-apa.” Sebabnya, pengurangan dan penambahan tidak terjadi pada keduanya. Hanya satu pihak saja yang bertambah, sedangkan pihak lain berkurang. Ini tidak menjadi muqâmarah (perjudian). Sebabnya, fakta muqâmarah tersebut bersifat reproksikal (timbal-balik), sehingga meniscayakan terjadinya (kerugian/keuntungan) timbal balik di antara kedua belah pihak.
Jadi di dalam perjudian itu satu pihak mendapatkan harta atas kerugian pihak lain. Jumlah kerugian pihak yang kalah diperoleh oleh pihak yang menang. Imam al-Mawardi (w. 450 H) di dalam Al-Hâwî al-Kabîr fî Fiqhi Madzhab al-îmâm asy-Syâfi’iy, yakni Syarhu Mukhtashar al-Muzani, mengatakan tentang fakta al-qimâr dan al-maysir (perjudian), “(Perjudian) adalah sesuatu, ketika seseorang yang masuk di dalamnya tidak akan terhindar dari dua kondisi, untung jika dia mendapatkan harta, atau rugi, jika dia harus memberi (kehilangan harta)”.
Apapun selama memenuhi deskripsi perjudian seperti itu merupakan perjudian meski tidak disebut judi dan disebut dengan sebutan-sebutan lainnya seperti sumbangan, lotere, undian, perlombaan, permainan termasuk permainan anak-anak sekalipun.
Hadis ini menunjukkan perjudian (al-qimâr) adalah haram dan merupakan kemaksiatan. Ajakan pada perjudian artinya ajakan bermaksiat. Itu juga haram, dosa dan kemaksiatan. Perintah untuk bersedekah sebagai kafarat-nya menegaskan hal itu. Jika semata mengajak pada perjudian saja sudah haram dan diperintahkan untuk membayar kafarat-nya dengan bersedekah maka min bâb al-awlâ melakukan perjudian tentu lebih haram dan lebih besar dosanya. Karena perjudian adalah haram, maka harta yang diperoleh melalui perjudian (al-qimâr) adalah harta yang haram bagi yang memperoleh harta tersebut.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]