Takrifat

Takhshish Dengan Dalil Terpisah

Pengkhususan (at-takhshîsh), seperti dikatakan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi di dalam Al-Mahshûl, adalah ikhrâju badhi mâ yatanâwaluhu al-khithâbu anhu (mengeluarkan sebagian yang dicakup oleh seruan [al-khithâb]).

Seruan itu dinyatakan dengan menggunakan lafal-lafal. Karena itu, sebagaimana dinyatakan oleh Abu al-Husain al-Bashri di dalam Al-Mutamad fî Ushûl al-Fiqhi, Imam Jamaluddin al-Isnawi di dalam Nihâyah as-Sûl Syarhu Minhâj al-Wushûl dan al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid 3, at-takhshîsh adalah ikhrâju badhi mâ yatanâwaluhu al-lafzhu (mengeluarkan sebagian apa yang dicakup oleh lafal).

Lafal yang dapat dikhususkan adalah lafal yang bersifat umum. Dengan demikian at-takhshîsh bermakna mengeluarkan sebagian apa yang dicakup oleh lafal yang umum (al-lafzhu al-âmu).

Pengkhusuan yang dimaksudkan adalah pengkhususan atas seruan dalam dalil syariah. Itu hanyalah menggunakan dalil syariah juga. Sebabnya, lafal umum yang dikhususkan itu adalah lafal yang dinyatakan oleh dalil samiy. Karena itu yang dapat mengkhususkan lafal umum hanyalah dalil samiy juga. Dalil samiy adalah al-Kitab, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas yang ‘illat-nya diambil dari al-Kitab atau as-Sunnah. Selain keempatnya tidak dinilai sebagai dalil pengkhususan.

Pengkhususan tidak boleh dengan menggunakan dalil ‘aqliy, yakni tidak boleh menggunakan akal. Dalilnya adalah:

Pertama, takhshîsh adalah mengeluarkan sebagian dari yang dicakup oleh lafal. Dalaalah lafal atas makna tidak lain adalah yang diinginkan oleh pihak yang berbicara dari makna lafal itu secara bahasa dan syari, yakni makna yang ditunjukkan oleh lafal itu secara bahasa dan syari. Di situ tidak ada ruang untuk akal. Jika akal mengecualikan makna lain dari makna yang ditunjukkan oleh lafal, itu berarti dari makna lafal itu dikeluarkan dari madluul-nya secara bahasa menggunakan akal. Itu tidak benar. Sebabnya, dalaalah lafal atas makna tidak lain kembali pada bahasa dan bukan pada akal. Jadi akal tidak sah menjadi faktor yang mengkhususkan lafal.

Kedua, takhshîsh itu merupakan penjelasan (bayân) dan itu merupakan tasyrii. Nas syari itu dibawa oleh wahyu sehingga hanya boleh dijelaskan oleh apa yang dibawa oleh wahyu juga. Jika akal dibiarkan menjelaskan apa yang dibawa oleh wahyu pada selain yang ditunjukkan oleh bahasa, itu artinya akal telah diberi hak pensyariatan. Ini jelas tidak boleh. Sebabnya, syariah itu milik Allah SWT. Oleh karena itu penjelasan (al-bayân) dan yang dijelaskan (al-mubayyan) haruslah dibawa oleh wahyu. Akal tidak boleh menjadi pihak yang menjelaskan apa yang dibawa oleh wahyu. Karena itu akal juga tidak boleh menjadi pihak yang mengkhususkan dalil.

Ketiga, takhsîsh itu merupakan naskh atas bagian dari yang umum, karena ia mengalihkan hukum dari keumuman, sehingga dibatalkan pada sebagian dan diganti dengan hukum lain. Contohnya firman Allah SWT:

ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ ٢

Perempuan pezina dan laki-laki pezina, cambuklah masing-masing dari keduanya dengan seratus kali cambukan (QS an-Nur [24]:2).

 

Ayat ini bersifat umum untuk pezina muhshân (sudah menikah) dan ghayru muhshan (belum menikah). Lalu datang takhsîsh dari as-Sunnah yang membatalkan hukuman cambuk atas pezina muhshan dan mengganti hukuman tersebut dengan hukuman lain, yaitu rajam. Naskh itu tidak boleh menggunakan akal. Andai boleh, niscaya akal bisa membatalkan hukum syari apapun. Demikian juga takhsîsh. Ia tidak boleh menggunakan akal.

Memang ada firman Allah SWT berikut:

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ ٩٧

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (QS Ali Imran [3]: 97).

 

Ayat ini kadang disebut termasuk dalam kaidah al-âm yurâdu bihi al-khushûsh (kata umum, tetapi yang diinginkan adalah khusus). Maksudnya, lafal ayat ini umum mencakup semua manusia. Namun, yang diinginkan adalah khusus, yaitu orang-orang mukallaf. Mereka adalah orang-orang yang telah dewasa dan berakal saja. Sebabnya, akal menunjukkan bahwa tidak ada pembebanan hukum (taklif) atas anak kecil yang belum dewasa dan orang yang tidak sempurna akalnya. Dengan demikian kalimat tersebut mengkhususkan keumuman ayat ini.

Hal ini tidak layak menjadi hujjah bahwa akal boleh mengkhususkan keumuman nas. Pasalnya, anak kecil dan orang yang tidak sempurna akalnya tidak terhalang dari seruan (khithâb) Asy-Syâri. Artinya, keduanya tidak terhalang dari taklif syariah. Buktinya, keduanya termasuk ke dalam seruan nilai harta yang dihilangkan, juga kewajiban zakat pada hartanya.

Selain itu, ayat ini tidak dikhususkan dengan menggunakan akal, melainkan dikhususkan dengan hadis:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ، وَعَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنْ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَبْرَأَ

Diangkat pena (taklif hukum) dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia balig; dari orang yang tidur hingga ia bangun;  dan dari orang gila hingga ia waras (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi, redaksi Abu Dawud).

 

Memang ada firman Allah SWT:

ٱللَّهُ خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ وَكِيلٞ  ٦٢

Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu (QS az-Zumar [39]: 62).

 

Ayat ini menggunakan lafal umum yang secara bahasa mencakup segala sesuatu. Padahal Zat dan Sifat Allah merupakan sesuatu yang hakiki. Allah bukan Pencipta untuk Diri-Nya dan tidak dalam pemeliharaan-Nya. Pasalnya, menurut akal, mustahil Zat Yang al-Qadîm al-Wâjib menciptakan Diri-Nya sendiri. Mustahil pula keberadaan-Nya ada dalam pemeliharaan-Nya. Jadi Zat dan Sifat-Nya dikeluarkan dari keumuman lafal ayat ini dengan dalaalah keniscayaan akal.

Hanya saja, ini tidak bisa dijadikan hujjah bahwa akal mengkhususkan keumuman ayat dalam konteks hukum syariah. Sebabnya, ayat ini berkaitan dengan akidah, bukan berkaitan dengan hukum syariah. Akidah itu dalilnya adalah dalil ‘aqli dan dalil naqli. Itiqaad dengan syariah itu pada padarnya dalilnya akal. Oleh karena itu akal absah menjadi dalil atas akidah. Akal absah menjadi dalil atas pemahaman ayat seperti ini. Akal pun absah menjadi faktor yang mengkhususkan dalam masalah akidah.

Sebaliknya, hukum syariah itu merupakan seruan (khithâb) Asy-Syâri yang berkaitan dengan perbuatan hamba. Maka dari itu, tidak absah dalilnya kecuali dalil samiy. Sebabnya, dalil samiy itulah yang merupakan seruan Asy-Syâri. Jadi dalilnya harus datang dari Asy-Syâri, yakni yang didatangkan oleh wahyu. Demikian juga faktor yang menjadi pengkhususnya (al-mukhashshish). Itu juga hukum syariah sehingga harus berupa seruan (khithâb) Asy-Syâri, yakni didatangkan oleh wahyu. Karena itu akal tidak absah menjadi factor yang mengkhususkan (al-mukhashshish) untuk hukum Syariah. Sebabnya, akal tidak datang dari Asy-Syâri, yakni tidak didatangkan oleh wahyu.

Pengkhususan itu kadang dengan cara yang tidak terpisah, yakni dalam kalimat yang sama dalam nas. Pengkhususan ini di antaranya menggunakan pengecualian (al-istitsnâ), sifat (ash-shiffah), syarat (asy-syarth) dan tujuan (al-ghâyah).

Pengkhususan itu juga ada yang melalui nas yang terpisah. Ini melalui kalimat sempurna yang terpisah dari kalimat sempurna yang mencakup lafal umum yang dikhususkan. Ini ada dalam dua bentuk: Pertama, bersifat mustaqill[un] muttashil[un], yakni kalimat sempurna yang mengkhususkan itu ada dalam dalil atau nas (ayat atau hadis) yang sama dan bahkan datang langsung setelah yang dikhususkan. Contohnya dalam ayat:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ ١٨٥

Karena itu siapa saja di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Siapa saja yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah bagi dia berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu, pada hari-hari yang lain (QS al-Baqarah [2]: 185).

 

Lafal “syahida menurut Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, dalam At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr Sûrah al-Bâqarah, maknanya adalah al-hâdhir al-muqîm (hadir dan mukim). Kalimat “faman syahida minkum asy-syahra falyashumhu” merupakan kalimat sempurna yang mencakup siapa saja yang hadir dan mukim. Kemudian disusul dengan kalimat “wa man kâna marîdhan aw alâ safarin faiddatun min ayyâmin ukhar”. Ini merupakan kalimat sempurna yang mengeluarkan orang yang sakit dari cakupan hukum kalimat sebelumnya. Dengan demikian orang yang hadir dan mukim, namun dalam keadaan sakit, dia boleh tidak berpuasa dan harus mengganti puasanya pada hari lain di luar Ramadhan.

Kedua, nas yang mustaqill[un] munfashil[un], yakni yang mengkhususkan itu ada pada dalil atau nas (ayat atau hadis) yang lain, bukan ada pada dalil atau nas (ayat atau hadis) yang dikhususkan. Hal itu selama berupa dalil al-Kitab, as-Sunnah, Ijmak Sahabat atau Qiyas yang ‘illat-nya dinyatakan oleh Syariah; yakni ‘illat-nya diambil dari al-Kitab, as-Sunnah atau Ijmak Sahabat. Ini bentuknya bisa berupa pengkhususan (at-takhshîsh) al-Kitab dengan al-Kitab, as-Sunnah, Ijmak Sahabat atau Qiyas syariy; atau pengkhususan as-Sunnah dengan al-Kitab, as-Sunnah, Ijmak Shahabat atau Qiyas syariy. Juga baik pengkhususan itu melalui manthuuq al-Kitab dan as-Sunnah maupun melalui mafhuum keduanya. Manthuuq al-Kitab dan as-Sunnah dapat dikhusus oleh mafhuum al-Kitab dan as-Sunnah baik mafhûm al-muwâfaqah maupun mafhûm al-mukhâlafah.

WalLâh alam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve + 2 =

Back to top button