
Strategi Utama Barat Atas Palestina
Tidak ada jalan kembali ke status quo seperti yang ada pada 6 Oktober 2023. Ini berarti memastikan bahwa Hamas tidak mampu meneror Israel… Ini juga berarti bahwa ketika krisis ini berakhir, harus ada visi untuk apa yang akan terjadi selanjutnya…Dari sudut pandang kami, ini harus menjadi solusi dua negara, yang harus diupayakan oleh oleh semua pihak…”
(Joe Biden, Presiden AS, Website CNN Amerika, 25/10/2023).
*****
Pernyataan Biden di atas semakin menegaskan bahwa AS makin menemukan momen untuk memaksakan solusi dua negara (two-state solution) atas masalah Palestina pasca Operasi Badai Aqsha yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Di tengah berbagai penolakan dari berbagai pihak, terutama Palestina dan entitas Yahudi, AS terus mengupayakan implementasi solusi tersebut dan berusaha menghancurkan penghalang bagi perwujudan solusi dua negara tersebut.
Kejahatan di Balik Solusi Dua Negara
Solusi dua negara mengacu pada gagasan bahwa penyelesaian paling praktis untuk konflik Palestina-entitas Yahudi adalah dengan membagi tanah Palestina menjadi dua negara: satu entitas Yahudi dan satu negara Arab-Palestina.
Usulan solusi dua negara pertama kali muncul tahun 1937 dalam Laporan Komisi Peel. Komisi Peel dikirim Inggris ke Palestina untuk menyelidiki motif meningkatnya ketegangan dan kekerasan antara komunitas Yahudi dan Arab di Palestina. Ketika itu Palestina berada di bawah kekuasaan Inggris.
Komisi Peel didirikan tahun 1936 dan dipimpin Lord Robert Peel. Komisi itu menghasilkan laporan pada tahun 1937 yang terkenal dengan nama “Laporan Peel”. Saat itu ada migrasi besar-besaran orang-orang Yahudi dari Eropa ke Palestina. Mereka lari dari Eropa karena ada kekerasan anti-Semit. Masuknya orang-orang Yahudi itu ke Palestina, yang didukung Inggris, memicu ketakutan orang-orang Arab Palestina akan dominasi Yahudi di Palestina. Komisi Peel dalam laporan menyatakan, koeksistensi orang Arab-Yahudi dalam satu negara tidak mungkin karena sikap saling bermusuhan yang keras dan laten. Tuntutan dua komunitas itu juga bertentangan. Keduanya ingin membangun negara sendiri-sendiri di lokasi yang tumpang tindih. Laporan tersebut mengusulkan pembentukan negara Yahudi dan Arab-Palestina di wilayah itu (lihat Peta 1).
Peta 1: Usulan Komisi Peel(1937)
Peta 2: Keputusan PBB (1947)
Berdasarkan usulan tersebut, orang-orang Palestina hanya mendapatkan tanah-tanah tandus, termasuk Gurun Negev, dan area yang saat ini dikenal sebagai Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sebaliknya, sebagian besar garis pantai dan beberapa tanah pertanian paling subur di Galilea diberikan kepada orang Yahudi.
Kota Yerusalem tidak masuk dalam wilayah yang dibagi, tetapi akan ditangani secara terpisah oleh pihak internasional. Proposal itu menimbulkan kontroversi. Komunitas Arab-Palestina menolak. Sebaliknya, sebagian besar komunitas Yahudi menerima proposal tersebut. Akhirnya, usul itu tidak diimplementasikan.
Perselisihan antara kedua pihak berlanjut. Usulan pembagian wilayah kembali diusulkan dalam Rencana Pembagian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 29 November 1947 (lihat Peta 2). Rencana itu mengusulkan pembagian dalam tiga bagian. Lagi-lagi Yerusalem ditangani secara terpisah, di bawah kontrol internasional. Dalam usulan itu, negara Yahudi akan mendapat 56 persen Palestina. Padahal orang-orang Yahudi hanya 31 persen dari populasi. Fakta di lapangan mereka hanya memiliki 20 persen tanah yang ditunjuk untuk negara Yahudi.
Rencana itu diterima oleh Badan Yahudi untuk Palestina dan sebagian besar faksi Zionis yang melihat proposal itu sebagai batu loncatan untuk ekspansi wilayah pada waktu yang tepat. Namun Komite Tinggi Arab, Liga Arab dan pemimpin serta pemerintah Arab lainnya, menolaknya dengan alasan bahwa orang Arab merupakan mayoritas. Dua pertiga dari populasi dan harus memiliki sebagian besar tanah. Mereka juga menunjukkan ketidakmauan untuk menerima bentuk pembagian wilayah. Mereka berargumen bahwa hal tersebut melanggar prinsip-prinsip penentuan nasib sendiri berdasarkan Piagam PBB. Mereka mengumumkan niatnya untuk mengambil semua langkah yang diperlukan guna mencegah pelaksanaan resolusi itu.
Pada 14 Mei 1948 tengah malam, mandat Inggris untuk Palestina berakhir dan Inggris secara resmi meninggalkan wilayah tersebut. Pada hari yang sama Zionis Yahudi mendeklarasikan kemerdekaannya. Sejak saat itulah, penjajahan secara brutal, massif, dan terstruktur makin menjadi-jadi. Ironisnya, Presiden AS Harry Truman malah menerbitkan surat pengakuan sesaat setelah Zionis mengumumkan berdirinya negara tersebut, sementara Uni Soviet mengakui “Israel” tiga hari setelahnya. Pada 26 Mei 1948, David Ben-Gurion, kepala pemerintahan sementara entitas Yahudi mendirikan tentara IDF untuk melawan kekuatan Muslim.
Penjajahan yang dilakukan zionis yahudi dengan beking Amerika itu, menandai apa yang kemudian disebut dengan peristiwa Nakba Palestina, 15 Mei 1948. Nakba (bahasa Arab: , translit. an-Nakbah, harfiah: ‘“bencana” atau “malapetaka”’), juga dikenal sebagai Malapetaka Palestina, adalah penghancuran masyarakat dan tanah air Palestina. Sejak Nakba, terjadi pengusiran, penganiayaan, pembunuhan dan pendudukan Palestina yang sedang dan terus berlangsung, baik di Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza, maupun di kamp-kamp pengungsi Palestina di seluruh wilayah tersebut.
Wilayah Tepi Barat di bawah kendali Yordania dan Jalur Gaza berada di bawah kendali Mesir. Dengan demikian, tidak ada negara Palestina terbentuk. Lebih dari setengah rakyat Palestina melarikan diri dari rumah mereka. Hal itu menciptakan krisis pengungsi yang besar. Kebuntuan panjang berlangsung hingga tahun Perang 1967, saat entitas yahudi merebut bagian yang tersisa dari tanah Palestina historis dari Yordania dan Mesir, serta Dataran Tinggi Golan dari Suriah dan Sinai dari Mesir dalam Perang Enam Hari(lihat peta 3).
Peta 3: Perluasan wilayah entitas Yahudi (1967)
Peta 4: Kondisi setelah Traktat 1982
Perang itu menandai titik balik dalam sejarah solusi dua negara. Sejak saat itu, konflik berkisar pada pemulihan tanah yang diambil tahun 1967, bukan berusaha membalikkan kondisi sebelum perang 1947-1949. Titik balik itu menjadi jauh lebih jelas di arena politik selama tahun 1982, diantaranya penandatangan perdamaian entitas yahudi dan mesir (lihat peta 4).
Perjanjian Oslo tahun 1993 mewakili upaya lain untuk menyelesaikan konflik berdasarkan prinsip “tanah untuk perdamaian,” konsep yang mendasari solusi dua negara. Perjanjian Oslo hanya perjanjian sementara dan tidak secara eksplisit membuat ketentuan untuk negara Palestina. Namun demikian, secara luas diharapkan pengaturan status akhir yang seharusnya terjadi pada tahun 1998 akan menghasilkan pembentukan negara Palestina.
Upaya AS Menghancurkan Penghalang Solusi Dua Negara
Meskipun gagasan solusi dua negara ini tetap tidak berhasil bahkan ilusif, tetapi AS tetap bersikeras memaksa semua pihak untuk bisa mewujudkannya. Bahkan AS terus melakukan berbagai langkah untuk menghancurkan penghalang solusi dua negara ini, demi memenuhi ambisinya dan kepentingannya sendiri.
(1) Langkah-langkah Strategis AS di Timur Tengah.
AS telah melakukan sejumlah langkah strategis di kawasan Timur Tengah. Pertama, dengan berusaha menyingkirkan Inggris dari wilayah timur tengah. Kedua, AS terus memanfaatkan keberadaan PBB untuk melegitimasi berbagai kebijakan yang memungkinkan campur tangan AS di timur tengah, terutama dalam membendung kebangkitan Islam dan membela eksistensi entitas Yahudi.
(2) Penghancuran Hamas secara Militer.
Amerika, Eropa dan entitas Yahudi tidak ingin Hamas terus bertahan di kekuasaan di Gaza. Mereka berkeyakinan bahwa hal itu akan menyebabkan terulangnya serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Ketika Hamas berdiri 1987, visi besarnya adalah melakukan perlawanan terhadap keberadaan entitas Yahudi dan berusaha membangun Negara Islam. Bukan untuk mendukung solusi dua negara. Piagam Hamas 1988 menyatakan bahwa Hamas “berusaha untuk menaikkan bendera Allah di setiap inci dari Palestina” (pasal enam).
Ketika dinamika Pemilu Palestina, khususnya di Gaza dimenangkan Hamas pada 2007, sejak saat itu peran Hamas di Gaza dan Palestina semakin dominan dan membuat pihak penjajah entitas Yahudi semakin tidak tenang. Penjajah hanya mengakui faksi Fatah sebagai otoritas (Palestine Authorithy, PA) sebagai perwakilan resmi Palestina. Namun, Hamas berhasil memenangkan hati warga Gaza. Ini karena Hamas bersikap tegas terhadap penjajah melalui jihad fi sabilillah. Bukan jalan kompromi yang lemah. Hamas juga melakukan penjagaan dan pelayanan secara total kepada masyarakat Gaza.
Karena itulah melalui tangan entitas yahudi yang dibeking AS ini terus berusaha menghancurkan dan melumpuhkan kekuatan sayap militer Hamas yang terus berkembang.
(3) Demiliterisasi Palestina di Masa Depan.
Biden dalam pernyataannya kepada para wartawan menambahkan, ada sejumlah model solusi dua negara, ia menunjuk bahwa ada beberapa negara di PBB yang tidak memiliki angkatan bersenjata sendiri (Al-Jazeera, 04/01/2024). Artinya, Biden merujuk pada negara dengan model seperti itu. Tanpa angkatan bersenjata! Negara Palestina (terutama di Gaza saat ini) pada masa depan haruslah dengan model demiliterisasi atau tanpa adanya militer.
(4) Deradikalisasi Jihad Hamas.
Langkah AS ini bertujuan untuk mengisolasi perlawanan Hamas yang sudah dicap sebagai organisasi teroris oleh AS, Inggris, Jerman, dll. Mereka memandang bahwa konsep jihad yang dilakukan Hamas adalah bentuk terorisme yang tidak akan memberikan kontribusi untuk perdamaian. Mereka berusaha agar tidak hanya dihadapi secara militer. Mereka juga terus memberikan solusi kepada publik berupa deradikalisasi jihad Hamas. Ini targetnya agar dukungan publik dunia kepada Hamas akan dapat dilemahkan.
(5) Pengkondisian Penguasa Timur Tengah (‘Normalisasi Hubungan’).
Langkah AS untuk memastikan penguasa negara-negara Arab dapat berdamai (‘normalisasi’) dengan entitas Yahudi dilakukan secara bertahap. Sebelumnya sudah ada dua negara yang mayoritas Muslim yang berhubungan dengan entitas Yahudi dengan berbagai dinamikanya, yaitu Turki dan Iran.
Hubungan entitas yahudi–Turki terbentuk pada Maret 1949 ketika Turki menjadi negara mayoritas Muslim pertama (sebelum Iran pada tahun 1950) yang mengakui entitas Yahudi.
Selain itu, Iran juga telah menjalin hubungan entitas Yahudi dalam tiga fase utama: Pertama, Periode 1947-53, yaitu periode bersahabat selama era dinasti Pahlavi. Kedua, setelah kudeta pada tahun 1953 sampai 1979, yang membawa Mohammad Reza Pahlavi untuk berkuasa. Ketiga, setelah Revolusi 1979, Iran memutuskan semua hubungan diplomatik dan komersial dengan entitas yahudi, dan pemerintah Islam Iran tidak mengakui legitimasi Israel sebagai sebuah negara.
Setelah kedua negeri Muslim ini, AS terus berusaha memaksakan apa yang disebut normalisasi hubungan dengan entitas Yahudi kepada negara-negara Arab.
Mesir adalah negara Arab pertama yang menormalisasi hubungan dengan entitas Yahudi pada 1979. Pada 1994, atau 15 tahun kemudian, Yordania mengikuti jejak Mesir untuk menormalisasi hubungannya dengan entitas Yahudi.
Kemudian, pada 13 Agustus 2020, Uni Emirat Arab (UEA) menyetujuan Persetujuan Abraham (Abraham Accords), sebagai tanda normalisasi hubungannya dengan entitas Yahudi. Uni Emirat Arab menjadi negara Arab ketiga yang secara resmi menormalkan hubungan dengan entitas Yahudi.
Dalam hitungan minggu, keputusan Uni Emirat Arab diikuti oleh tiga negara Arab lainnya. Bahrain menyusul pada September 2020. Sudan mengumumkan normalisasi hubungan dengan entitas Yahudi pada bulan Oktober. Kemudian Maroko juga melakukan hal sama.
Semua proses ini tidak lepas dari upaya paksa AS terhadap negara-negara tersebut. Upaya ini terus berlanjut termasuk ke Arab Saudi yang dianggap sebagai mitra strategis di Timur Tengah, bahkan lobi AS terus dilakukan termasuk ke Indonesia.
(6) Pengkondisian Elit Entitas Yahudi untuk Menerima Solusi dua Negara.
AS juga mengkondisikan agar elite entitas yahudi bersedia menerima solusi dua negara, dengan jaminan tetap akan dibantu dari berbagai aspek, keuangan dan militer. Sesungguhnya pimpinan entitas Yahudi juga menolak rencana solusi dua negara karena yang mereka inginkan adalah penguasaan seluruh wilayah Palestina. Bagaimanapun, solusi dua negara yang diusulkan oleh pemerintahan Amerika tidak dapat dilaksanakan tanpa perintah serius dari Amerika.
(7) Persiapan Pemerintah Baru Palestina yang Pro Solusi Dua Negara.
AS juga terus menekan pemerintahan otoritas Palestina, Mahmud Abbas, untuk memastikan dukungannya kepada solusi dua negara. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken, Sabtu (18/2/2023), berbicara kepada Presiden Palestina Mahmud Abbas untuk memastikan komitmen AS pada solusi dua negara di kawasan.
Upaya ini sudah sejak lama memang dilakukan AS dalam rangka politik pecah-belah antara kelompok Palestina: Fatah dan Hamas. [Dr. Riyan M.Ag. ; (Pengamat Politik Islam)]
Daftar Pustaka
Cafiero, Giorgio. ‘Has the War on Gaza Hurt Israel’s Economy?’ Al Jazeera, 27 January 2024. https://www.aljazeera.com/economy/2024/1/27/has-the-war-on-gaza-hurt-israels-economy.
Copp, Tara, and Lolita C. Baldor. ‘Pentagon Has No More Money for Ukraine as It Hosts a Meeting of 50 Allies on Support for Kyiv’. AP News, 23 January 2024. https://apnews.com/article/ukraine-russia-money-congress-weapons-dd5076b30bf8fab5c914a1222186e7f0.
Izso, Amir Tal, Richard Allen Greene, Niamh Kennedy, Lauren. ‘Israeli Minister Proposes Post-War Plan for Gaza as Government Divisions Burst out into Open’. CNN, 5 January 2024. https://www.cnn.com/2024/01/05/middleeast/israel-government-divisions-gaza-plan-intl/index.html.
Middle East Monitor. ‘Report: Number of Wounded Israeli Soldiers Approaching 20,000’. Middle East Monitor, 29 December 2023. https://www.middleeastmonitor.com/20231229-report-number-of-wounded-israeli-soldiers-approaching-20000/.
Parvaz, D. ‘Mediators Are in Cairo Working to Secure a Cease-Fire between Israel and Hamas’. NPR, 13 February 2024, sec. Middle East crisis — explained. https://www.npr.org/2024/02/13/1231099026/israel-gaza-cairo-hamas-ceasfire-negotiations.
Toi Staff. ‘Poll: Over Half of Israelis Feel Let down by War Cabinet’s Handling of Hamas Conflict’, 24 January 2024. https://www.timesofisrael.com/over-half-of-israelis-say-theyre-let-down-by-war-cabinets-handling-of-hamas-conflict/.
- O. A. News. ‘Red Sea Attacks Foster Arab-Israeli Trade Link by Land’. Voice of America, 15 February 2024. https://www.voanews.com/a/red-sea-attacks-foster-arab-israeli-trade-link-by-land/7487827.html.