
Bantahan dan Jawaban Atas Pengingkaran Kaum Kafir
(QS Qaf [50]: 4-11)
قَدۡ عَلِمۡنَا مَا تَنقُصُ ٱلۡأَرۡضُ مِنۡهُمۡۖ وَعِندَنَا كِتَٰبٌ حَفِيظُۢ ٤ بَلۡ كَذَّبُواْ بِٱلۡحَقِّ لَمَّا جَآءَهُمۡ فَهُمۡ فِيٓ أَمۡرٖ مَّرِيجٍ ٥
Sungguh Kami telah mengetahui apa yang dirusakkan oleh bumi dari (tubuh-tubuh) mereka. Pada sisi Kami pun ada kitab yang memelihara (mencatat). Namun, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka. Karena itu mereka berada dalam keadaan kacau-balau. (Qaf [50]: 4-5).
Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang beberapa keheranan kaumkafir. Mereka heran mengapa yang diutus kepada mereka adalah seorang manusia biasa seperti mereka. Mereka juga heran, bagaimana mungkin manusia yang sudah mati bisa dihidupkan kembali. Keheranan mereka itu sebenarnya merupakan pengingkaran. Bukan kekaguman.
Ayat-ayat ini pun memberikan bantahan atas keheranan dan pengingkaran mereka sekaligus memberikan jawabannya.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
قَدۡ عَلِمۡنَا مَا تَنقُصُ ٱلۡأَرۡضُ مِنۡهُمۡۖ ٤
Sungguh Kami telah mengetahui apa yang telah dirusakkan (dihancurkan) oleh bumi dari (tubuh-tubuh) mereka.
Jika kaum kafir itu merasa heran atas penghidupan kembali manusia setelah mati dan berubah menjadi tanah, sehingga mustahil itu terjadi, maka ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT telah mengetahui semua manusia yang telah dikubur dan ditelan oleh tanah.
Ayat ini diawali dengan huruf « قَدْ » (sungguh) yang merupakan huruf tahqîq1. Ini adalah huruf yang menguatkan berita yang disebutkan sesudahnya. Artinya, Allah SWT benar-benar telah mengetahui « ما تَنْقُصُ الْأَرْضُ » (apa yang dirusakkan oleh bumi dari [tubuh-tubuh] mereka).
Maksud kata « مَا » (apa) di sini adalah jasad manusia yang telah meninggal. Adapun frasa « تَنْقُصُ » bentuk mudhâri’ dari kata « تَنْقُصُ » (kekurangan, kerusakan). Menurut as-Suddi, dalam konteks ayat ini frasa tersebut bermakna al-mawt (kematian). Maknanya: “Sungguh Kami telah mengetahui siapa yang mati dan siapa yang masih hidup dari mereka. Orang mati itu dikuburkan, seolah-olah bumi mengurangi manusia.”2
Penjelasan lain dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra. Menurut Ibnu Abbas ra., yang dimaksud adalah apa yang dimakan oleh tanah berupa daging-daging mereka, tulang-tulang mereka dan rambut-rambut mereka.3
Ibnu Katsir juga berkata, “Artinya: Kami mengetahui tubuh-tubuh yang dimakan oleh bumi dalam keadaan hancur. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Kami tentang di mana tubuh-tubuh mereka terpisah, di mana hilangnya dan ke mana lenyapnya.”4
Jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, ini merupakan bantahan atas keheranan dan pengingkaran kaum kafir atas peristiwa pembangkitan manusia yang sudah mati. Ayat ini menegaskan, mereka tak perlu merasa heran hingga mengingkari karena semua jasad manusia yang telah mati dan telah dimakan oleh tanah itu diketahui oleh Allah SWT. Tak ada satu pun yang terlewat dari pengetahuan-Nya. Semua orang yang sudah mati bisa dihidupkan kembali tanpa terkecuali.
Asy-Syaukani berkata, “Jasad-jasad yang dimakan oleh tanah sama sekali tidak akan hilang dari Kami. Siapa saja yang ilmunya mencakup sesuatu hingga mengetahui ke mana hilangnya jasad orang-orang yang mati di dalam kubur, maka tidak sulit bagi dia untuk membangkitkan kembali jasad tersebut. Ini bukan sesuatu yang mustahil bagi dirinya.”5
Apalagi di dalam Hadis Nabi saw. diberitakan bahwa tidak semua tubuh manusia yang mati itu lenyap. Masih ada bagian yang tidak hancur dimakan tanah, yakni tulang ekornya. Ini dijelaskan dalam hadis shahih, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ يَأْكُلُهُ التُّرَابُ إِلاَّ عَجْبَ الذَّنَبِ مِنْه خُلِقَ وَفِيهِ يُرَكَّبُ
Setiap (bagian tubuh) anak Adam pasti akan dimakan tanah, kecuali tulang ekornya. Dari tulang ekor itu dia telah diciptakan dan dari situ pula dia akan disusun kembali (HR Muslim).
Jasad para nabi, awliyaa’ (para wali Allah) dan syuhada juga tidak dimakan oleh tanah. Allah SWT mengharamkan bagi tanah untuk memakan jasad mereka. Demikian penjelasan Imam al-Qurthubi.6
Dari Aus bin Aus, Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الله حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sungguh Allah mengharamkan bumi untuk memakan tubuh para nabi (HR Abu Dawud).
Kemudian Allah SWT berfirman:
وَعِندَنَا كِتَٰبٌ حَفِيظُۢ ٤
Pada sisi Kami pun ada kitab yang memelihara (mencatat).
Ini adalah bantahan tambahan atas pengingkaran mereka. Selain mengetahui orang-orang yang telah mati, Allah juga memiliki « كِتابٌ حَفِيظٌ » (kitab yang memelihara, menjaga) tentang mereka semua, yakni kitab yang menjaga jumlah dan nama-nama mereka.7
Ada juga yang mengatakan bahwa kitab yang dimaksud adalah al-Lawh al-Mahfûzh; yakni terjaga dari setan; atau terjaga dari segala sesuatu.8 Di sana tertulis segala sesuatu yang telah digariskan beserta semua rinciannya.9
Menurut Abu Bakar al-Jazairi, kitâb hafîzh adalah kitab yang berisi segala takdir yang di dalamnya tercatat segala sesuatu, termasuk jumlah orang-orang yang mati; nama-nama, rupa dan postur tubuh mereka; serta hari pengembalian mereka.10
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Sungguh Kami mengetahui apa yang dimakan oleh bumi dari tubuh mereka setelah mereka mati. Di sisi Kami juga ada kitab yang di dalamnya termaktub apa yang dimakan oleh bumi dan apa yang sirna dari tubuh mereka. Mereka juga memiliki kitab yang penuh dengan catatan. Kami juga mengetahui hal itu dan menjaga semuanya. Allah SWT menamakan kitab tersebut dengan hafîzh (menjaga, memelihara) karena apa yang tertulis di dalamnya tidak dikaji ulang, tidak berubah dan tidak akan diganti.”11
Abdurrahman as-Sa’di juga berkata, “Allah SWT mengetahui apa yang dimakan tanah dari jasad-jasad mereka selama mereka berada di alam barzakh. Sungguh Dia telah mencatat semua yang terjadi pada mereka di dalam kitabnya—yang berada di sisi-Nya terjaga dari perubahan dan pergantian—segala yang mereka alami dalam kehidupan dan kematian mereka. Ini adalah bukti kesempurnaan ilmu-Nya, keluasan-Nya yang tidak ada yang mengetahui kecuali Dia, serta kekuasaan-Nya dalam menghidupkan orang-orang yang mati.”12
Dengan demikian penjelasan bahwa di sisi-Nya adalah Lauh Mahfudz yang menghimpun segala sesuatu mempertegas bantahan orang-orang yang mengingkari kebangkitan itu. Abu Bakar al-Jazairi berkata, “Ini merupakan bukti yang terang atas kebatilan klaim mereka sekaligus mengukuhkan aqidah tentang Hari Kebangkitan.”13
Setelah disampaikan bantahan terhadap pengingkaran kaum kafir atas pembangkitan manusia setelah kematiannya, kemudian diterangkan penyebab sikap mereka dengan firman-Nya:
بَلۡ كَذَّبُواْ بِٱلۡحَقِّ لَمَّا جَآءَهُمۡ فَهُمۡ فِيٓ أَمۡرٖ مَّرِيجٍ ٥
Namun, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka.
Pelaku yang diberitakan ayat ini masih menunjuk kepada kaum kafir. Huruf « بَلْ » di awal ayat merupakan « الْإِضْرَابُ الِانْتِقَالِيُّ » (kata yang mengalihkan dari tema pembicaraan sebelumnya ke tema lainnya tanpa menafikan kalimat sebelumnya).14 Perkara yang diterangkan merupakan sesuatu yang lebih buruk dari sikap keheranan mereka. Sikap itu adalah mendustakan ayat-ayat Allah SWT dan Rasul-Nya.15
Menurut ayat ini, mereka telah mendustakan al-haqq (kebenaran). Menurut sebagian mufassir, yang dimaksud dengan al-haq di sini adalah al-Quran.16 Menurut sebagian lainnya, itu adalah Islam. Ada juga yang menafsirkan kata tersebut sebagai Nabi Muhammad saw. Juga, kenabian yang ditetapkan dengan berbagai mukjizat.17 Semua penafsiran tersebut bisa diambil karena semuanya adalah al-haqq yang mereka dustakan.
Disebutkan: « لَمّا جاءَهُمْ » (ketika kebenaran datang kepada mereka). Artinya, ketika kebenaran itu datang kepada mereka, mereka mendustakan al-Quran dan kenabian Nabi Muhammad saw. yang dipastikan kebenarannya dengan berbagai mukjizat. Mereka mendustakan al-Quran dan kenabian ketika Rasulullah saw. menyampaikan hal itu kepada mereka tanpa mau merenungkan, berpikir panjang dan menimbang-nimbang terlebih dulu.18
Kemudian disebutkan:
فِيٓ أَمۡرٖ مَّرِيجٍ ٥
Mereka berada dalam keadaan kacau-balau.
Ayat ini menerangkan keadaan mereka yang sesungguhnya. Mereka, dalam menyikapi kebenaran itu, dalam: « أَمْرٍ مَرِيج » (keadaan yang bingung). Pada asalnya, kata « الْمَرْجَ » bermakna « اَلْخَلْطُ » (campur baur). Kata « الْمَرْجَ » berarti « الِاخْتِلَاط » (percampuran).19
Ini juga terjadi pada mereka ketika menolak kebenaran. mereka tentang Islam campur-aduk, rancu dan kontradiktif. Qatadah berkata, “Mereka mendustakan al-Quran. Karena itu mereka dalam keadaan campur-aduk, rancu dan mengetahui yang benar dari yang batil.”20
Ibnu Abbas ra., ketika ditanya tentang makna « أَمْرٍ مَرِيجٍ » , berkata,” « الْمَرِيجُ » adalah « الشَّيْءُ الْمُنْكَرُ » (sesuatu yang tidak dikenal, yang diingkari).21 Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas memaknai kata itu sebagai « مُخْتَلِفٌ » (pertentangan). Ibnu Abbas juga menafsirkan kata tersebut dengan: « فِي أَمْرِ ضَلَالَةٍ » (dalam keadaan sesat).
Menurut Mujahid dan Qatadah, kata itu bermakna « مُلْتَبِسٌ » (rancu, samar). Menurut Ibnu Zaid kata itu bermakna « الْمُخْتَلِطُ » (campur aduk, kacau balau).22
Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, meskipun berbeda lafal, semua penafsiran itu berdekatan maknanya. Sebabnya, sesuatu yang muktalith multabis (campur-aduk, rancu, samar) bermakna musykil. Jika demikian, berarti munkar (yang tidak dikenal, yang diingkari). Sebabnya, sesuatu yang ma’rûf (yang dikenal) pasti jelas dan terang. Jika tidak ma’rûf maka tidak ragu lagi bahwa itu adalah kesesatan. Sebabnya, al-hudâ atau petunjuk merupakan sesuatu yang terang. Tidak ada kesamaran di dalamnya.23
Ibnu Katsir juga menafsirkan kata « الْمَرِيجُ » itu dengan makna-makna tersebut. Menurut beliau, kata tersebut « الْمُخْتَلِفُ الْمُضْطَرِبُ الْمُلْتَبِسُ الْمُنْكَرُ خِلَالَه » (pertentangan, kebingungan, kerancuan dan kemungkaran).24
Dijelaskan juga oleh az-Zuhaili, mereka dalam kebingungan mengenai urusan agama mereka. Sesekali mereka mengatakan tentang al-Quran dan Nabi saw. sebagai ahli sihir dan sihir. Kadangkala menyebut penyair dan syair. Kali lain menyatakan dukun dan perdukunan. Mereka dalam keadaan risau, bingung dan bimbang. Mereka tidak mengetahui apa yang seharusnya mereka lakukan. Ini seperti firman-Nya:
إِنَّكُمۡ لَفِي قَوۡلٖ مُّخۡتَلِفٖ ٨ يُؤۡفَكُ عَنۡهُ مَنۡ أُفِكَ ٩
Sungguh kalian benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat, dipalingkan dari (Rasul dan al-Quan) orang yang dipalingkan (QS adz-Dzariyat [51]: 8-9).25
Demikianlah. Allah SWT mengetahui segala sesuatu. Tidak ada satu pun perkara yang tidak Dia ketahui. Termasuk tentang orang-orang yang telah mati dan berbagai keadaannya sebagaimana diterangkan ayat ini.
Allah SWT mengetahui segala sesuatu hingga sedatail-detailnya. Ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
۞وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَۚ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۚ وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٖ فِي ظُلُمَٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٖ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ ٥٩
Kunci-kunci semua yang gaib ada pada Diri-Nya. Tidak ada yang mengetahui itu selain Dia. Dia mengetahui apa saja yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak Dia ketahui Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfuz) (QS al-An’am [6]: 59).
Dari ayat ini, Ibnu Katsir menerangkan bahwa Dia mengetahui semua gerak kehidupan seluruh benda. Apalagi lagi hewan yang hidup. Apalagi makhluk yang terkena taklif, baik dari kalangan jenis jin maupun manusia. Ini sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah SWT dalam ayat lain:
يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ ١٩
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa saja yang tersembunyi di dalam dada (QS Ghafir [40]: 19).26
Patut diingat, balasan yang diberikan kepada manusia di akhirat benar-benar sesuai dengan amal yang mereka kerjakan. Oleh karena itu, mustahil Allah SWT tidak mengetahui keadaan dan perbuatan manusia hingga sedetail-detailnya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan Kaki:
1 Muhammad Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 26 (Damaskus: Dar Rasyid, 1998), 300
2 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 4; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1994), 85
3 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 328
4 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 395
5 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 85
6 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 4
7 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 4
8 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 4. Lihat juga al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 85; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 280
9 al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 139; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 280
10 al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 137
11 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 328
12 al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 803
13 al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 137
14 Muhammad Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 26, 301
15 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26, 279; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 85
16 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 4; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 329
17 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 4
18 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26), 284
19 al-Asfhani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘an (Beirut: Dar al-Qalam, 1994), 764
20 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 329
21 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 330
22 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 330-231
23 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 331
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 395
25 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26), 284
26 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 136