
Sedekah Terbaik
Sebaik-baik sedekah adalah yang berasal dari orang yang berkecukupan. Mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu. (HR al-Bukhari no. 1426 dan 5356, Ahmad no. 9223, an-Nasai no. 2544, Ibnu Khuzaimah no. 2439, al-Bazar no. 7753 dan ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Awsâth no. 8731).
Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah ra. Hadis ini juga diriwayatkan dari Hakim bin Hizam ra., Rasul saw bersabda:
Sebaik-baik sedekah adalah yang berasal dari orang yang berkecukupan. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu” (HR Muslim no. 1034, ad-Darimi no. 1693, Ahmad no. 15317, ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Kabîr no. 3120, ad-Daraquthni no. 3780).
Redaksi ini juga diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. oleh Imam Ahmad no. 10172 dan 10785, ad-Darimi no. 1693, an-Nasai no. 2534, al-Bazar no. 8357 dan Ibnu Hibban no. 4243.
Jabir bin Abdullah ra. menuturkan: Ketika kami berada di sisi Rasulullah saw., datang seorang laki-laki membawa semisal telur berupa emas yang dia dapatkan di peperangan (Ahmad berkata, di sebagian tambang adalah yang tepat). Lalu dia berkata, “Ya Rasulullah, ambillah dariku sebagai sedekah. Demi Allah, aku tidak punya harta yang lainnya.” Namun, beliau menolak. Lalu ia mendatangi beliau dari sisi kiri dan mengatakan hal yang sama. Lalu ia mendatangi beliau dari depan beliau dan mengatakan hal yang sama. Lalu beliau bersabda, “Bawa kemari!” dalam keadaan dibuat marah. Lalu beliau mencampakkan benda tersebut yang seandainya mengenai dia niscaya melukai dirinya. Lalu beliau bersabda:
Salah seorang di antara kalian bergantung pada hartanya. Ia tidak mempunyai yang lainnya. Lalu harta itu ia sedekahkan. Kemudian ia duduk-duduk seraya meminta-minta kepada orang-orang. Sungguh sedekah itu seharusnya berasal dari orang yang berkecukupan. Ambillah milikmu. Kami tidak mempunyai keperluan dengan barang tersebut.” Lalu laki-laki itu mengambil kembali hartanya dan pergi.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ad-Darimi (w. 255 H) no. 1700, Abu Dawud (w 275 H) no. 1674, Abdu bin Humaid (w. 249 H) di dalam Musnad Abdu bin Humaid no. 1121, Abu Ya’la (w. 307 H) no. 2084, Ibnu Hibban (w. 354 H) no. 3372, al-Baihaqi (w. 458 H) di dalam Sunan al-Kubrâ no. 7777, al-Hakim (w. 405 H) di dalam Al-Mustadrak no. 1507 (Ia berkata, “Ini hadis shahiih menurut syarat Muslim, tetapi beliau berdua tidak mengeluarkan hadis tersebut.”). Adz-Dzahabi di dalam At-Talkhîsh menyetujuinya.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam Al-Minhâj Syarhu Shahîh Muslim bin al-Hajâj menjelaskan, “Maknanya, sedekah yang afdhal adalah yang pelakunya, setelah mengeluarkan sedekah itu, tetap berkecukupan dengan apa yang ia sisakan. Ukuran sedekah yang afdhal adalah sedekah yang setelahnya tetap mempertahankan al-ghinâ (kecukupan) yang dijadikan sandaran pelakunya atas kemaslahatan dan kebutuhannya. Ini adalah sedekah yang afdhal yang dinisbatkan pada orang yang mensedekahkan semua hartanya. Sebabnya, siapa saja yang mensedekahkan semua hartanya, pada galibnya dia akan menyesal atau kadang menyesal jika dia membutuhkan dan berharap andai dia tidak mensedekahkan semuanya. Ini berbeda dengan orang yang tetap menyisakan setelahnya kecukupan maka dia tidak menyesal atas sedekahnya bahkan merasa senang dengan sedekahnya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani (w. 852 H) juga menjelaskan, “Makna hadis tersebut: Sedekah yang afdhal itu yang berasal dari orang yang tidak membutuhkan apa yang dia sedekahkan untuk dirinya atau untuk orang yang nafkahnya menjadi tanggungannya. Al-Khathabi mengatakan, lafal azh-zhahru diucapkan dalam semisal ini sebagai pemuasan pembicaraan. Maknanya, sedekah yang afdhal itu adalah apa yang dikeluarkan oleh orang dari hartanya setelah dia mempertahankan harta dalam kadar kecukupan. Karena itu setelahnya Rasul saw. bersabda, ‘Mulailah dengan keluargamu’.”
Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam an-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm (hlm. 197) menyatakan, “Al-Ghinâ adalah apa yang dipertahankan seseorang untuk dia dan keluarganya, yaitu mempertahankan apa yang mencukupi kebutuhan dasar; yaitu pangan, sandang dan papan serta kebutuhan-kebutuhan pelengkap yang dinilai keharusan bagi semisal dia sesuai kehidupan normal, yakni apa yang mencukupi dirinya secara makruf di tengah masyarakat. Hal itu diukur sesuai kebutuhan normalnya seraya mempertahankan tingkat hidup biasanya untuk dia dan keluarganya dan semisal orang-orang lainnya di masyarakatnya.”
Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam an-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm (hlm. 197) menjelaskan: “Di antara hak tasharruf adalah infak (al-infâq). Infak harta adalah memberikan harta itu tanpa imbalan. Adapun dengan imbalan maka tidak disebut infak.”
Tasharruf harta dengan memindahkan kepemilikannya kepada orang lain tanpa imbalan itu adakalanya dengan memberikan harta itu kepada orang lain, membelanjakan harta itu untuk dirinya sendiri dan untuk orang yang nafkahnya menjadi tanggungannya. Pelaksanaannya kadang pada saat dia hidup seperti hibah, hadiah, sedekah dan nafkah. Kadang setelah kematiannya seperti wasiat.
Islam melarang individu menghibahkan, menghadiahkan atau menyedekahkan harta kecuali dalam apa yang mempertahankan kecukupan (al-ghinâ) untuk diri dan keluarganya. Jika dia memberikan harta yang tidak mempertahankan kecukupan untuk dirinya dan keluarganya setelah hibah, hadiah atau sedekah maka itu di-fasakh seluruhnya.
Maksud dari larangan sedekah dari hadis tersebut, bahwa orang fakir yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya, dia tidak boleh bersedekah dengan apa yang dharuuri untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebabnya, sedekah tidak lain berasal dari orang yang berkecukupan, yakni dari orang yang tidak membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan pokok. Adapun orang yang punya harta lebih dari kebutuhan pokoknya dan setelah terpenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya ini, dia memandang punya keperluan untuk memenuhi kepentingannya lebih dari kebutuhan pokok, yakni memenuhi kebutuhan pelengkap, maka manduub bagi dirinya untuk mengutamakan orang fakir atas dirinya, yakni mengutamakan orang-orang fakir atas dirinya sendiri, meski dia memerlukan hartanya untuk memenuhi kebutuhan pelengkap.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]