
Revolusi Syam: Momentum Mewujudkan Kembali Khilafah
Kekejaman rezim Assad telah menjadi fakta publik. Amnesty International pernah menerbitkan laporan berjudul “Human Slaughterhouse: Mass Hangings and Extermination at Saydnaya Prison, Syria” yang mengungkap praktik eksekusi massal dan penyiksaan di Penjara Saydnaya. Laporan ini menyatakan bahwa antara 2011 dan 2015, sekitar 5.000 hingga 13.000 orang dieksekusi secara kejam di penjara tersebut.1)
Menurut UNHCR (Badan Pengungsi PBB), lebih dari 13 juta orang Suriah terpaksa meninggalkan rumah mereka; 6,8 juta di antaranya mengungsi ke luar negeri.2) Rakyat Suriah, terutama anak-anak, menderita trauma psikologis yang mendalam akibat kekerasan dan kehilangan keluarga mereka. Laporan dari Save the Children menunjukkan bahwa banyak anak Suriah mengalami gangguan stres pascatrauma.3)
Menumbangkan rezim Assad yang sangat kejam itu tentu tidak mudah. Memerlukan modal keimanan dan kesabaran yang kuat dari para pejuang Muslim Suriah yang teguh berjuang tanpa henti. Ghirah perjuangan tersebut sudah semestinya tidak berhenti pada sekadar menumbangkan rezim semata, namun harus berlanjut hingga mampu mewujudkan sistem terbaik warisan Rasulullah saw., yakni Khilafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah.
Keteguhan Para Pejuang
Kekuatan iman rakyat Suriah merupakan faktor utama yang memungkinkan mereka untuk terus melawan rezim Assad meski menghadapi penderitaan yang berat. Atas dasar iman yang teguh itulah rakyat Suriah menunjukkan pada dunia bahwa perjuangan melawan kezaliman bukan hanya tentang kekuatan fisik, namun juga tentang keyakinan pada nilai-nilai agama, yakni Islam.
Selama puluhan tahun rakyat Suriah hidup dalam suasana ketakutan. Di bawah rezim Assad, ribuan orang anti rezim dipenjara, disiksa bahkan dibunuh. Di penjara, banyak wanita Muslimah yang diperkosa oleh aparat rezim hingga melahirkan anak tanpa jelas siapa ayahnya. Tidak sedikit kaum Muslim yang menjadi syahid setelah bertahun-tahun mendekam dan disiksa di penjara.
Sejak 2011, lebih dari 500.000 orang Suriah tewas, dan jutaan lainnya menjadi pengungsi. Rezim Assad menggunakan bantuan dari Amerika, Rusia dan Iran dalam bentuk pengeboman dengan pesawat tempur, artileri berat dan rudal. Pengeboman tersebut telah merusak dan menghancurkan infrastruktur kota-kota besar seperti Aleppo, Homs dan Idlib. Rezim Assad juga menggunakan kelaparan sebagai senjata perang dengan mengepung kota-kota yang dikuasai oleh oposisi. Seperti yang terjadi di Madaya pada 2015 yang menyebabkan kelaparan massal.
Rezim Assad secara sistematis menggunakan senjata kimia terhadap warga sipil. Serangan di Ghouta Timur pada tahun 2013 menewaskan lebih dari 1.400 orang, termasuk anak-anak, yang menjadi salah satu insiden paling mengerikan dalam sejarah modern. Investigasi internasional oleh OPCW (Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons) mengonfirmasi bahwa pasukan Assad bertanggung jawab atas serangan ini.4)
Meski menghadapi kekejaman luar biasa seperti itu, rakyat Suriah tetap teguh dalam keimanan dan ketakwaan mereka. Mereka terus berjuang tanpa pernah menyerah. Mereka terus meneguhkan harapan untuk perubahan hakiki. Kesabaran dan pengorbanan mereka tentu menjadi teladan penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Atas keteguhan perjuangan mereka, kemudian Allah SWT memberikan jalan dan kekuatan hingga mampu menumbangkan rezim diktator Bashar al-Assad secara hina dan mengenaskan.
Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian (QS Muhammad [47]: 7).
Sudah semestinya rakyat Suriah meneruskan ghirah perjuangannya untuk menolong (agama) Allah. Targetnya adalah agar umat ini mampu menerapkan syariah Islam secara kaaffah. Sebabnya, itulah realitas utama menolong agama Allah SWT.
Arah Perubahan Hakiki
Sebelum Revolusi Suriah, isu perubahan juga melanda negeri-negeri Muslim lainnya. Di antaranya yang fenomenal adalah Arab spring. Namun, peristiwa tersebut bermuara pada hasil akhir yang mengecewakan. Sekadar pergantian personil rezim, sementara kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya tetap tidak berubah, bahkan bisa dikatakan saat ini semakin terpuruk. Semestinya hal ini jangan terulang pada revolusi Suriah.
Artinya, meskipun rezim Assad telah jatuh, perjuangan rakyat Suriah belum selesai. Negara-negara penjajah seperti Amerika Serikat, Rusia dan sekutunya akan berusaha menghalangi perubahan menuju kemenangan yang sejati. Para penjajah tersebut akan berusaha menyetir dengan menciptakan penguasa baru yang tetap akan menjadi boneka mereka.
Amerika dan para sekutunya akan berusaha untuk mengarahkan perubahan dengan menawarkan demokrasi sekuler yang berbalut Islam, seperti yang terjadi di Mesir, Tunisia, Libya, dan Sudan. Padahal faktanya di Libya, Amerika memerangi pejuang Islam atas nama perang melawan terorisme. Di Sudan, Amerika memelihara konflik melalui militer Sudan. Amerika juga berusaha mengendalikan Afghanistan meskipun Taliban berkuasa.
Karena itu arah perjuangan umat Islam di dunia termasuk di Suriah sudah semestinya bertumpu pada akar krisis utama, yakni diarahkan untuk melenyapkan hegemoni negara penjajah dan demokrasi sekuler di negeri-negeri Islam, lalu menerapkan hukum syariah secara kaaffah dalam institusi politik global Khilafah Islamiyah. Sebabnya, hanya melalui hal itulah umat Islam akan mampu melakukan perubahan hakiki, yakni melepaskan diri dari jeratan demokrasi sekuler yang menyengsarakan itu.
Tanpa Khilafah terbukti saat ini kondisi umat Islam di seluruh dunia terjajah, terzalimi, terpuruk dan tertindas. Melalui Khilafah, umat Islam akan bisa dipersatukan kembali sehingga mereka mampu memperoleh kemuliaannya kembali. Khilafah sekaligus akan menghapus segala bentuk kezaliman dan ketertindasan di bawah hegemoni negara penjajah dan para penguasa yang menjadi bonekanya.
Momentum Mewujudkan Khilafah
Revolusi Suriah dapat menjadi momentum untuk mewujudkan kembali Khilafah Rasyidah. Itulah perubahan hakiki yang perlu menjadi target akhir perjuangan rakyat Suriah. Bukan perubahan semu sebagaimana yang terjadi Arab Spring, yang sekadar perubahan rezim tanpa diikuti perubahan sistem. Tidak ada sistem terbaik bagi kaum Muslim selain sistem warisan Rasulullah saw., yakni Khilafah Rasyidah.
Apalagi Kekhilafahan bagi rakyat Suriah bukanlah hal baru. Sebabnya, Suriah pernah menjadi pusat Kekhilafahan Islam. Setelah Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat pada tahun 661 M, Muawiyah bin Abi Sufyan memindahkan pusat Kekhilafahan dari Madinah ke Damaskus, Suriah. Berpusat di Damaskus itulah kemudian Kekhilafahan Islam (Khilafah Umayah) menjadi mercusuar dunia pada masa itu. Damaskus menjadi pusat politik, ekonomi, pendidikan, teknologi dan militer Dunia Islam.
Damaskus dipilih sebagai ibukota Kekhalifahan karena lokasinya yang strategis di persimpangan perdagangan antara Timur dan Barat. Kota ini juga memiliki infrastruktur yang maju dan sejarah panjang sebagai pusat pemerintahan di bawah Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium). Di bawah Khilafah Umayah, Islam mencapai puncak ekspansinya; membentang dari Spanyol di Barat hingga India di Timur. Suriah menjadi pusat kendali militer dan administratif untuk wilayah kekuasaan yang sangat luas tersebut.
Karena itu keruntuhan rezim Assad membawa harapan baru yang besar bagi umat Islam untuk perubahan yang mendasar. Tidak lain perubahan yang tidak hanya mengganti rezim, tetapi juga perubahan sistem, yaitu dari sistem sekuler yang ada menjadi sistem pemerintahan Khilafah Rasyidah; sekaligus mengembalikan Suriah sebagai pusat Kekhilafahan Islam untuk yang kedua kalinya.
Upaya mewujudkan Kekhilafahan tersebut tentu harus merujuk pada standar syariah Islam. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani (Asy-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah), ada empat syarat bagi suatu negeri (al-quthr) yang akan membaiat Khalifah dalam kondisi Khilafah tidak ada sama sekali.5) Empat syarat tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, kekuasaan (as-sulthaan) yang ada di negeri tersebut haruslah merupakan kekuasaan yang mandiri (sulthaan dzaaty). Kekuasaan ini bersandar hanya kepada kaum Muslim semata, tidak bersandar pada negara-negara asing (kafir) atau orang asing (kafir).
Kedua, keamanan (al-amaan) di negeri tersebut haruslah merupakan keamanan Islam. Artinya, perlindungan (al-himaayah) bagi negeri tersebut, baik keamanan dalam negeri maupun keamanan luar negerinya, semuanya merupakan keamanan yang berada di tangan kaum Muslimin.
Ketiga, negeri tersebut harus segera memulai penerapan Islam dengan penerapan yang sempurna dan menyeluruh (dalam segala aspek kehidupan) di dalam negeri, dan harus segera melakukan kegiatan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia di luar negeri.
Keempat, Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat baiat in’iqaad meskipun tidak memenuhi syarat-syarat afdhaliyah (keutamaan). Sebabnya, yang menjadi standar adalah syarat-syarat in’iqaad. Terkait ini bisa dilihat juga pada kitab karya Abdul Qadim Zallum, Nizhaam al-Hukm fii al-Islaam.6)
Keempat syarat tersebut tentu mampu diwujudkan oleh umat Islam beserta para mujahidin di Suriah. Kunci utamanya adalah adanya penyatuan visi dan pemahaman oleh semua elemen dan faksi-faksi perjuangan di Suriah untuk mewujudkan kembali Khilafah Rasyidah, sekaligus bersikap tegas menolak segala sistem non-Khilafah yang ditawarkan oleh negara-negara penjajah seperti Amerika, Rusia, serta para sekutunya.
Khatimah
Peluang mewujudkan Khilafah Rasyidah di Suriah itu akan semakin besar jika mendapatkan dukungan dan perlindungan dari para ahlul quwwah. Pada konteks Suriah, para ahlul quwwah tersebut adalah mereka yang memiliki kekuatan, otoritas, dan pengaruh yang kuat di masyarakat. Di antaranya adalah faksi-faksi pejuang Islam yang memiliki kekuatan riil di lapangan. Termasuk pula para tokoh politik dan pemimpin strategis yang memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan politik, para ulama yang memiliki dukungan massa secara luas, serta para militer semasa rezim Assad yang kemudian secara sadar kembali ke pangkuan umat Islam dan ikut berjuang untuk mewujudkan Khilafah Rasyidah.
Semoga umat Islam beserta para ahlul quwwah di Suriah itu dapat mewujudkan kabar gembira (bisyaarah) Rasulullah saw. tentang akan kembalinya masa Khilafah Rasyidah setelah masa mulk[an] jabriyy[an] (kekuasaan diktator) sebagaimana dalam sabda beliau:
Kemudian akan datang masa Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah (HR Ahmad).
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Dr. Muhammad K. Sadik]
Referensi:
- Amnesty International. (2016). ”It Breaks the Human: Torture, Disease, and Death in Syria’s Prisons.”
- (2023). ”Syria Refugee Crisis Explained.”
- Save the Children. (2022). ”Invisible Wounds: The Impact of Six Years of War on the Mental Health of Syria’s Children.”
- Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW). Laporan Investigasi Ghouta 2013.
- Taqiyuddin An-Nabhani. (2003). Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, Juz II, hlm.24-26. Cetakan Kelima (Edisi Mu’tamadah), Darul Ummah, Beirut Libanon.
- Abdul Qadim Zallum. (2002). Nizhâm Al-Hukm fî Al-Islâm, hlm.57-60. Cetakan Keenam (Edisi Mu’tamadah), Darul Ummah, Beirut Libanon.