
Isyarat Isra‘ Mi’raj dan Kepemimpinan Umat
Isyarat Kepemimpinan Rasulullah saw. dan Umat Islam
Peristiwa agung Isra‘ Mi’raj terjadi pada saat kondisi dakwah Rasulullah Muhammad saw. sedang dalam puncak kesulitan dan ujian yang amat besar. Pelindung beliau dalam dakwah, Khadijah dan Abu Thalib, telah tiada. Tahun itu dikenal dengan ‘Aam al-Huzni (Tahun Kesedihan). Melalui peristiwa isra’ dan mi’raj Allah bermaksud menghibur (tasliyah) hati Nabi saw. dan sekaligus memberitahu beliau akan kedudukan dan kepemimpinan beliau di atas muka bumi; pemimpin seluruh manusia, dari sejak dulu hingga kelak Kiamat tiba.
Hal ini akan tampak jelas dengan merenungi rangkaian ayat-ayat awal QS al-Isra‘. Setelah mengisahkan peristiwa menakjubkan Isra‘ pada ayat pertama, Allah menjelaskan tentang keburukan dan kejahatan kaum Yahudi. Allah pun menegaskan bahwa al-Quran adalah petunjuk pada jalan yang lurus. Kita tahu bahwa Isra‘ terjadi dari BaytulLaah al-Haraam (Ka’bah) dan berhenti di Baitul Maqdis (Masjid al-Aqsha). Dua tempat yang diberkahi dan sekaligus merupakan jejak dakwah Nabi Ibrahim as. Kita tahu bahwa Nabi Ibrahim as. dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin bagi manusia. Beliaulah ayah para nabi. Allah berfirman:
(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sungguh Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (QS al-Baqarah [2]: 124).
Pada masa lalu, pada saat dipimpin oleh para nabi mereka, Bangsa Yahudi adalah pemimpin umat manusia. Namun, dengan pengutusan Rasulullah Muhammad saw. dan beliau di-isra’-kan ke Baitul Maqdis, lalu pada saat yang sama Allah mencela mereka, itu berarti telah terjadi peralihan kepemimpinan. Kepemimpinan yang Allah berikan kepada Bani Israil telah dicabut dan diberikan kepada Rasulullah Muhammad saw. dan umat beliau. Pasalnya, BaitulLaah al-Haraam dan Baitul Maqdis adalah dua tempat di muka bumi yang paling mulia, yang menjadi jejak Nabi Ibrahim saw. sebagai ayah para nabi, itu berarti bahwa kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw., yang dilanjutkan oleh umat beliau, mencakup seluruh bumi. Hal ini dipertegas oleh Nabi saw. di dalam sabdanya:
Sungguh Allah telah melipat (menghimpun) bumi ini untuk diriku. Lalu aku dapat melihat bagian-bagian timur dan bagian-bagian baratnya. Sungguh kekuasaan umatku akan mencapai wilayah yang dilipatkan (dihimpunkan) kepadaku dan aku diberi dua gudang: merah dan putih (HR Muslim).
Dalam Bahasa Arab, jika dikatakan “timur dan barat” maknanya adalah keseluruhan. Ini seperti pada firman Allah SWT (yang artunya): Dia adalah Tuhan barat dan timur (TQS al-Muzammil [73]: 9). Maknanya: Dia adalah Tuhan seluruh bumi. Artinya, kepada Nabi Muhammad saw. diperlihatkan seluruh bagian bumi dan kekuasaan umat beliau akan mencakup keseluruhannya.
Imam Para Nabi dan Rasul
Isyarat peralihan kepemimpinan di atas semakin jelas dengan peristiwa dalam rangkaian Isra‘ Mi’raj saat Rasulullah Muhammad saw. menjadi imam shalat bagi seluruh nabi dan rasul. Beliau bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra.:
Sungguh aku melihat diriku berada di tengah-tengah segolongan para nabi. Kemudian datanglah waktu shalat. Lalu aku menjadi imam mereka (HR Muslim).
Peristiwa menakjubkan ini, yakni para nabi dihadirkan dan Rasulullah Muhammad saw. dijadikan sebagai imam mereka menjadi penegasan yang sangat kuat bahwa beliau adalah pemimpin para nabi; risalah beliau adalah risalah penutup; dan umat beliau adalah pengemban risalah para nabi (tauhid) kepada seluruh umat manusia. Artinya, ini menegaskan tentang kepemimpinan umat beliau, dan tiada jalan keselamatan bagi umat manusia kecuali di bawah kepemimpinan umat beliau (umat Islam).
Kesimpulan di atas semakin kuat dengan rangkaian peristiwa di dalam perjalanan Mi’raj berikutnya. Saat itu Rasulullah Muhammad saw. berjumpa dengan para nabi, khususnya Nabi Adam saw., di langit pertama; Nabi Isa as. di langit kedua; Nabi Musa as. di langit keenam; dan Nabi Ibrahim di langit ketujuh. Isa, Musa dan Ibrahim adalah tiga nabi dengan umat terbanyak di masanya masing-masing (lihat: HR al-Bukhari dari Malik bin Sha’sha’ah).
Umat Terbaik
Umat Islam, sebagai umat yang mendapat amanah kepemimpinan dari Allah atas seluruh manusia, adalah logis dan niscaya merupakan umat terbaik. Hal ini bukan sebuah klaim kosong tanpa bukti, melainkan penegasan dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah pun telah membuktikan dengan berbagai keistimewaan yang hanya diberikan kepada umat ini dan tidak pernah diberikan kepada umat lain.
Penegasan Allah tentang umat ini sebagai umat terbaik secara sharih, tanpa ada kesamaran, terdapat dalam firman-Nya:
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar dan mengimani Allah (QS Ali ‘Imran [3]: 110).
Demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian (QS al-Baqarah [2]: 143).
Dia telah memilih kalian dan tidak menjadikan kesulitan untuk kalian dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyang kalian, yaitu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kalian kaum Muslim sejak dulu dan (begitu pula) dalam (kitab) ini (al-Quran) agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas diri kalian dan agar kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia (QS al-Hajj [22]: 78).
Selain ayat-ayat yang menyatakan secara tegas di atas, banyak pula ayat yang memberikan pengertian secara implisit, seperti ayat-ayat yang menegaskan kesempurnaan agama Islam, syariah terbaik, komprehensif dan mencakup segala hal yang dibutukan untuk mengatur kehidupan (Lihat: QS al-Maidah [5]: 3).
Penjelasan Nabi Muhammad saw. tentang umat ini sebagai umat terbaik juga sangat banyak. Di dalam hadits riwayat at-Tirmidzi dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallahu alayhi wa alihi wa sallam bersabda tentang firman Allah (Kalian adalah umat terbaik):
“Kalian menyempurnakan tujuh puluh umat. Kalian adalah yang terbaik dan paling mulia atas Allah”. (HR. Tirmidzi).
Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Rasulullah shallahu ‘alayhi wa alihi wa sallam bersabda:
“Telah diberikan kepadaku apa yang tidak pernah diberikan kepada salah seorang nabi pun”. Kami berkata: Apakah itu, wahai Rasulullah? Beliau bersabda: “Aku diberi pertolongan dengan rasa gentar (yang ditimpakan pada hatinya musuh), aku diberi kunci-kunci bumi, aku diberi nama Ahmad, tanah dijadikan untukku suci menyucikan, dan umatku dijadikan sebagai umat terbaik”. (HR. Ahmad).
Syarat Umat Terbaik
Pertanyaannya, bagaimana mungkin umat terbaik hari ini justru dalam keterpurukan dalam banyak hal, seperti yang kita saksikan? Pertanyaan ini sebenarnya telah dijawab di dalam ayat-ayat di atas. Sebab, ayat-ayat di atas tidak hanya menjelaskan bahwa umat ini adalah umat terbaik, tetapi juga menjelaskan apa yang menjadikannya sebagai umat terbaik.
Jika kita perhatikan, ayat-ayat di atas memberikan penjelasan bahwa umat ini mendapat predikat terbaik saat umat ini istiqamah di atas manhaj Allah. Jadi, Islamlah sebenarnya yang telah menjadikan umat ini sebagai umat terbaik; dengan akidahnya, sistem kehidupannya, pemikirannya, perasaannya, standar-standarnya, dan konsepsi kehidupannya yang semuanya bersumber dari wahyu Allah. Selama umat ini istiqamah di atas manhaj Allah, yakni Islam, dengan berpegang pada akidah Islam, menerapkan sistem kehidupan Islam, menjadikan Islam sebagai standar perbuatannya, menjadikan hukum Islam sebagai konsepsi kehidupannya, maka di saat itulah akan mewujud predikat “khairu ummah” baginya. Sebaliknya, jika umat ini menjauh, bahkan membuang unsur-unsur pembentuk predikatnya tersebut, maka lenyap pula statusnya sebagai “khairu ummah”.
Kesimpulan di atas bukan tanpa dalil. Sebab, jika kita perhatikan firman Allah: ( وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا ), kata “ja’ala” maknanya adalah menjadikan, bukan menciptakan. Dan Allah menjadikannya sebagai umat terbaik adalah karena Islam yang mewujud ke dalam kehidupannya. Artinya, umat ini hanya menjadi “khairu ummah” saat berada di jalur yang digariskan oleh Allah, yaitu Islam.
Hal ini juga dapat kita fahami dari firman Allah: [ كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ ] (kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia). Kata “dikeluarkan” memberikan pengertian ada yang mengeluarkan, ada yang dikeluarkan, ada ‘ruang’ tempat di mana umat ini dikeluarkan darinya, dan ada ‘ruang’ di mana umat dikeluarkan menuju ruang tersebut sehingga menjadi umat terbaik. Pihak yang mengeluarkan adalah Allah. Objek yang dikeluarkan adalah umat ini. ‘Ruang’ di mana umat ini dikeluarkan darinya adalah kejahiliyahan (akidah, pemikiran, sistem kehidupan, standar, dan konsepsi hidup selain Islam). Adapun ‘ruang’ di mana umat dikeluarkan menuju ‘ruang’ tersebut sehingga menjadi umat terbaik adalah Islam.
Tegasnya, keistiqamahan dan keteguhan berpegang pada akidah Islam, pemikiran Islam, dan sistem hidup Islam, inilah yang menjadi rahasia sekaligus syarat umat ini menjadi umat terbaik.
Khilafah Wujud Riil Menjadi Umat Terbaik
Pertanyaannya, bagaimana umat ini dapat kembali berpegang teguh pada akidah Islam, menerapkan dan menegakkan sistem hidup Islam, menjadikan Islam sebagai standar perbuatannya, dan menjadikan konsepsi Islam sebagai konsepsinya agar kembali menjadi khairu ummah?
Jawabannya, umat ini harus mengembalikan akidah aIslam sebagai ‘aqidah siyasiyyah, akidah yang memancarkan sistem peraturan bagi kehidupan manusia, bukan sekedar ‘aqidah ruhiyyah, akidah spiritual yang menjadikan Islam hanya sebagai keyakinan yang tidak mewujud ke dalam kehidupan. Umat ini harus mengembalikan posisi Islam sebagai maba’, ideologi. Artinya, umat ini harus menjadikan Islam sebagai sebuah akidah yang memancarkan sistem kehidupan, bukan sebagai agama kahanuti, agama spiritual dan ritual saja, sebagaimana orang Barat memahami agama mereka.
Konsekuensinya, umat Islam harus memiliki institusi pelaksana Islam secara kaffah. Sebab, sistem politik dan pemerintahan Islam, ekonomi Islam, pergaulan dan sosial Islam, sistem sanksi dan peradilan Islam, serta segala hukum yang mengatur semua aspek kehidupan manusia tak mungkin dapat diterapkan, diwujudkan, dan tegakkan tanpa institusi Islam (Khilafah Islam).
Karena itu, sebuah sistem kepemimpinan yang dikatakan oleh para fuqaha’ sebagai pengganti tugas Rasul dalam menjaga agama dan mengatur kehidupan manusia dengan agama Allah, yaitu Khilafah Islamiyyah, menjadi keniscayaan agar umat ini kembali menjadi “khairu ummah”, menjadi niscaya agar umat ini kembali menduduki posisi qiyadah (kepemimpinan) bagi seluruh umat manusia, yang merupakan kehormatan dan sekaligus amanah Allah atas umat ini. Wallah a’lam. [Utsman Zahid as-Sidany]
Rujukan:
- Agha, Mahir Ahmad. Yahudi Catatan Hitam Sejarah. Jakarta: Qisthi Press, 2018.
- Hizbut Tahrir. Muqaddimah al-Dustur aw al-Asbab al-Mujibah lahu al-qism al-tsaani. Beirut: Dar al-Ummah, 2010.
- Ibn Katsir, Abu Fida’ Hafizh. Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim. Beirut: Dar Al-Fikr, 2006.
- Mubarakfuri, Shafiyurrahman. Sirah Nabawiyyah Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Rasulullah SAWXXII. Jakarta: Darul Haq, 2017.
- Qol’ahji, Muhammad Rawwas. Sirah Nabawiyah Mengungkap Maksud Politis Perilaku Rasulullah SAW. Bangil: Al-Izzah, 1996.