
Al-Mujmal
Al-Mujmal menurut Taqiyuddin as-Subki (w. 756 H) di dalam Al-Ibhâj fî Syarhi al-Minhâj, secara bahasa berasal dari kata al-jamlu, yaitu al-khalthu (percampuran). Dari kata ini, sabda Rasul saw.:
Allah melaknat orang Yahudi. Allah telah mengharamkan atas mereka lemak bangkai, lalu mereka campur dan mereka jual, kemudian mereka makan harganya (HR Muslim dan Abu Dawud).
Lafal itu disebut mujmal karena percampuran apa yang dinginkan dengan yang lainnya.
Menurut Imam al-Amidi (w. 631 H), al-mujmal secara bahasa diambil dari al-jam’u. Dari kata ini dikatakan, “Ajmala al-hisâba,” jika meringkasnya dan menghilangkan rinciannya. Dikatakan al-mujmal adalah yang disimpulkan (al-muhashshal) dan dari situ dikatakan, “Jammalta asy-syay’a idzâ hashshaltahu (Anda me-mujmal-kan sesuatu jika Anda simpulkan/ikhtisarkan).
Imam asy-Syaukani (w. 1250 H) menyatakan di dalam Irsyâd al-Fuhûl, al-mujmal secara bahasa bermakna disamarkan (al-mubham); dari ajmala al-amra jika menyamarkan (abhama). Dikatakan, al-mujmal adalah yang dikumpulkan (al-majmû’) dari ajmala al-hisâba jika dikumpulkan dan dijadikan satu sekaligus. Dikatakan, al-mujmal adalah disimpulkan-diikhtisarkan (al-mutahashshal) dari ajmala asy-syay’a jika menyimpulkannya (hashshalahu).
Secara istilah, para ulama ushul memberikan definisi dan batasan yang berbeda-beda. Imam al-Amidi (w. 631 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menjelaskan, yang benar bahwa al-mujmal adalah mâ lahu dalâlah ‘alâ ahadi amrayni lâ maziyyata li ahadihimâ ‘alâ al-âkhar bi an-nisbati ilayhi (apa yang memiliki dalaalah [makna] atas salah satu dari dua perkara yang tidak ada keistimewaan untuk salah satunya atas yang lain dengan dinisbatkan kepadanya). Mâ lahu dalâlah agar mencakupi ucapan dan perbuatan dan dalil-dalil mujmal lainnya. ‘Alâ ahadi amrayni menghalangi dari apa yang hanya memiliki satu dalaalah. Lâ maziyyata li ahadihimâ ‘alâ al-âkhar bi an-nisbati ilayhi menghalangi dari lafal yang merupakan lafal lahiriah pada satu makna dan jauh pada yang lainnya seperti lafal yang merupakan hakikat pada sesuatu dan majaz pada sesuatu lainnya.
Menurut Ibnu al-Hajib (w. 646 H) di dalam Mukhtashar Ibni al-Hâjib, al-mujmal secara istilah adalah mâ lam tattadhih dalâlatuhu (apa yang belum jelas dalaalah [makna]-nya). Definisi ini dijelaskan oleh Syamsuddin al-Ashfahani (w. 749 H) di dalam Bayân al-Mukhtashar Syarhu Mukhtashar Ibni al-Hâjib, “Tidak lain dikatakan mâ (apa) dan tidak dikatakan lafzhu (lafal) agar mencakup perbuatan dan ucapan. Sebabnya, mujmal itu sebagaimana terjadi pada lafal, demikian juga terjadi pada perbuatan. Dalaalah lebih umum dari keberadaannya yang bersifat lafzhiyyah atau bukan lafzhiyyah. Dalaalah perbuatan bersifat ‘aqliyyah. Lam tattadhih dalâlatuhu (belum jelas dalaalah-nya) menghalangi dari al-muhmal. Sebabnya, al-muhmal itu pada asalnya tidak punya dalaalah; juga menghalangi dari al-mubayyan sebab dalaalah-nya telah jelas.
Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid 3 menjelaskan, “Al-Mujmal adalah lafal yang ketika disebutkan tidak dipahami sesuatu tertentu, tetapi dari situ dipahami lebih dari satu perkara dan tidak ada keistimewaan untuk satu perkara atas yang lainnya. Artinya, al-mujmal adalah apa yang tidak jelas dalaalah-nya, dan yang dimaksudkan adalah apa yang memiliki dalaalah, tetapi tidak jelas.”
Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl Ilâ al-Ushûl menjelaskan, al-mujmal adalah mâ dalla ‘alâ aktsari min madlûl lâ maziyyata li ahadihima ‘alâ al-âkhar wa al-ladzi yaftaqiru al-‘amalu bi madlûlihi ilâ bayânin (Apa yang menunjukkan pada lebih dari satu madluul [makna] yang tidak ada keistimewaan untuk salah satunya terhadap yang lainnya dan apa yang saat diamalkan memerlukan penjelasan). Mâ dalla dan tidak dikatakan kullu lafzh[in] dalla karena al-mujmal itu berkaitan dengan lafal dan perbuatan, dan bukan hanya berkaitan dengan lafal saja.
‘Alâ aktsari min madlûlin untuk mengeluarkan lafal mutlak yang menunjukkan pada satu madluul. Firman Allah SWT, “fatahrîru raqabat[in]”, kata raqabah di sini bersifat mutlak, bukan mujmal, karena memiliki satu madluul terhadap budak yang sudah diketahui, yakni bukan orang merdeka. Adapun firman Allah SWT, “faqad ja’alnâ liwaliyyihi sulthân[an] (Sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya (TQS al-Isra` [17]: 33), maka kata sulthân[an] di sini mujmal dan bukan mutlak, karena mempunyai lebih dari satu madluul. Makna as-sulthân adalah argumentasi (al-hujjah) serta pemilik perintah dan larangan (shâhibu al-amri wa an-nahyi). Keraguan atas makna lafal itu di antara kedua madluul tersebut membuat kata mujmal yang memerlukan penjelasan (bayân).
Lâ maziyyata li ahadihimâ ‘alâ al-âkhar untuk mengeluarkan lafal yang telah raajih satu madluul atas lainnya seperti hakikat dan majaz atau dalâlah al-iqtidhâ dari al-khabar dan ath-thalab dan semacamnya. Pada firman Allah SWT, “fasâlat awdiyatun biqadarihâ”, lafal awdiyatun di sini bukan mujmal meski punya lebih dari satu makna. Sebabnya, dalam hakikat lughawiyah maknanya al-wâdî (lembah), yakni tempat rendah di bumi, dan secara majaz bermakna air yang ada di situ. Ini tidak termasuk mujmal. Sebabnya, makna hakikatnya terhalang sehingga membuat maknanya menjadi tertentu satu makna sebab dengan itu yang telah tertentu adalah makna majaznya.
Yaftaqiru al-‘amalu bi madlûlihi ilâ bayânin (mengamalkan madlulnya memerlukan penjelasan) untuk mengeluarkan darinya lafal umum yang meliputi sejumlah individu/unit, tetapi mengamalkan yang manapun darinya tidak memerlukan penjelasan.
Ketidakjelasan makna al-mujmal dijelaskan oleh al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Julid 3, “Yang dimaksud tidak adanya kejelasan dalaalah lafal adalah tidak adanya kejelasan menurut dalaalah bahasa terhadapnya, baik menurut asal bahasa, menurut syara’ atau ‘urf. Jadi lafal yang ketika diucapkan tidak dipahami sesuatu tertentu, tetapi dipahami lebih dari satu perkara, dan tidak ada keistimewaan untuk satu perkara atas lainnya, tidak lain itu berkaitan dengan dalaalah bahasa Arab menurut asal bahasa, syariah atau ‘urf. Adapun apa yang dari kata itu dipahami sesuatu tertentu secara asal bahasa, syariah atau ‘urf maka tidak dinilai termasuk mujmal. Artinya, apa yang dalaalah-nya jelas menurut bahasa, syariah atau ‘urf maka tidak termasuk mujmal.
Dari penjelasan tersebut, firman Allah SWT:
Diharamkan atas kamu ibu-ibu kalian… (QS an-Nisa’ [4]: 23).
Diharamkan atas kalian (memakan) bangkai… (QS al-Maidah [5]: 3).
Anggapan sebagian orang bahwa kedua ayat ini mujmal adalah tidak tepat. Sebabnya, menurut ahlu lughah, makna kedua ayat tersebut jelas. Menurut ‘urf ahlu lughah, makna yang langsung terlintas dalam benak, yakni makna hakikat dari “hurrimat ‘alaykum ummahâtukum” hanya satu makna, yakni haram menggauli atau mengawini. Dari “hurrimat ‘alaykum al-maytatu …” hanya makna haram memakannya. Jadi kedua ayat tersebut bukan al-mujmal karena telah jelas dan tertentu maknanya menurut hakikat ‘urfi ahlu lughah.
Nas yang jelas maknanya menurut dalâlah al-iqtidhâ‘ juga bukan mujmal. Misalnya, sabda Rasul saw.:
Sungguh Allah menggugurkan dari umatku kekeliruan, lupa dan apa yang dipaksakan atas dirinya (HR Ibnu Majah no. 2045; ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Awsath no. 8273; Abu Nu’aim di dalam Al-Hilyah; al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ no. 11454).
Dari dalâlah al-iqtidhâ‘ jelas bahwa yang digugurkan adalah hukum al-khatha‘ (kekeliruan), lupa dan apa yang dipaksakan.
Begitu pula sabda Rasul saw.:
Tidak ada shalat (yang sah) kecuali dengan (membaca) al-Fatihah (HR Abu ‘Awanah no. 1668; al-Bukhari di dalam Al-Qiraa’ah Khalfa al-Îmâm no. 142; Ibnu al-Jarud no. 186; ath-Thabarani di Mu’jam al-Awsâth no. 2262).
Tidak ada puasa (yang sah) untuk orang yang tidak memfardhukan (meniatkan) dari malam (HR Ibnu Majah no. 1700, Ahmad no. 9111 dan ad-Daraquthni no. 2214).
Tidak ada nikah (yang sah) kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil (HR ad-Daraquthni no. 3521, 3531, 3532, 3534; asy-Syafi’i no. 1134; Abdu ar-Razaq no. 10473; Ibnu Hibban no. 4075; ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Kabîr no. 299; al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ no. 13716, 13718).
Semua itu bukan mujmal. Sebabnya, melalui dalâlah al-iqtidhâ‘, madluul-nya jelas yang dinafikan adalah keabsahannya.
Walhasil, semua yang jelas dalaalah-nya dengan salah satu dalaalah bahasa, baik secara asal bahasa, ‘urf atau syar’i, tidak termasuk mujmal. Jadi, ia dibawa pada majaz atau dipahami dari indikasi (qarînah) atau diambil dalam dalaalah lafal (manthûq), atau dari dalaalah makna (mafhûm) atau yang lainnya. Selama hal itu mungkin pada suatu lafal atau tarkiib dalam nas maka ke-mujmal-annya hilang. Jadi al-mujmal hanya dalil (berupa lafal atau perbuatan) yang memiliki dalaalah, tetapi dalaalah-nya tidak jelas, dan untuk bisa diamalkan memerlukan penjelasan.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]