H.M Ismail Yusanto: Demokrasi Bukan Jalan Islam
Pengantar:
Meski telah berkali-kali dikalahkan dalam setiap Pemilu/Pilpres, umat masih saja berharap besar pada jalan perjuangan via demokrasi. Padahal jelas, selain problematik, jalan demokrasi—melalui Pemilu/Pilpres—bukanlah jalan hakiki perjuangan Islam.
Mengapa demikian? Apa alasannya? Jika demokrasi bukan jalan perjuangan Islam, lalu bagaimana caranya umat bisa mewujudkan kemenangan? Jika harus mencontoh perjuangan Rasulullah saw., realnya seperti apa? Bagaimana caranya?
Itulah di antara beberapa persoalan yang coba dijawab oleh cendekiawan Muslim, H.M. Ismail Yusanto, dalam wawancara dengan Redaksi kali ini. Berikut hasil wawancaranya.
Banyak yang mengatakan bahwa jalannya demokrasi saat ini begitu pragmatis, nir-ideologis, penuh tipudaya dan hukum yang dipermainkan. Bagaimana menurut Ustadz?
Betul. Faktanya memang begitu. Demokrasi kini hanya diletakkan sekadar sebagai prosedur untuk meraih kekuasaan. Bagaimana prosedur itu sendiri ditempuh, jujur atau tidak, adil atau tidak, penuh etika atau tidak, tak dipedulikan. Yang penting menang. Kekuasaan diraih. Jadilah pragmatisme makin berkembang. Ideologi tak lagi penting. Lihatlah, bagaimana bisa sebuah partai Islam bersekutu dengan partai sekuler yang notabene selama ini justru dikenal acap menghambat segala sesuatu yang berbau Islam. Pada saat yang sama, kecurangan makin dibiasakan. Hukum dipermainkan. Mestinya hukum mengendalikan pragmatism. Yang terjadi justru hukum dijadikan alat untuk melegalkan pragmatisme.
Melihat hasil Pilpres lalu, orang kini makin percaya pada adagium: lebih baik menang meski curang, ketimbang terhormat tetapi kalah. Ini kecenderungan yang sangat berbahaya.
Apakah ini karena cacat demokrasi atau karena kondisi saja saat ini yang buruk?
Dua-duanya. Saat ini, hegemoni oligarki pemilik modal makin kokoh mencengkeram negeri ini, melahirkan simbiosis antara pengusaha dan penguasa. Penguasa memerlukan dukungan finansial besar dari pengusaha. Sebaliknya, pengusaha memerlukan dukungan politik, yang didapat dari penguasa yang mereka dukung. Inilah sirkuit power for money, money for power, yang tak berujung. Dalam setting demokrasi yang teorinya amat mengagungkan kedaulatan rakyat, akhirnya rakyat hanya dijadikan sebagai alat legitimasi prosedural. Setelah kekuasaan diraih yang secara prosedur tampak legitimited, mereka seolah bebas semau-maunya bertindak. Tak lagi memikirkan rakyat. Yang dipikirkan tak lain ya para pemilik modal, sekutunya itu.
Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di hampir seluruh negara demokrasi, terdapat kecenderungan seperti itu. Artinya, ini bukan kasus yang bersifat lokal dan temporal. Ia sudah merupakan gejala universal yang dipicu oleh cacat mendasar dari demokrasi itu sendiri. Melalui prinsip kedaulatan di tangan rakyat, hak membuat peraturan perundangan, menentukan halal haram, ada di tangan parlemen, di situ manipulasi kewenangan terjadi. Melalui transaksi demi power and money, kewenangan itu lalu direduksi menjadi kewenangan ketua umum partai dan para oligarki. Dari situ, dalam konteks Indonesia, lahirlah banyak peraturan perundangan seperti UU Minerba, UU Ciptaker, UU IKN, Perppu Covid dll yang sangat merugikan rakyat, tetapi menguntungkan oligarki.
Apakah benar, dalam Pemilu demokrasi, umat hanya sekadar diambil suaranya? Habis Pemilu, mereka ditinggalkan?
Betul. Faktanya begitu. Lihatlah, sebelum Hari H pencoblosan, saat kampanye, rajin betul mereka menyambangi pesantren, sowan kepada kyai, berpakain rapi berpeci, seolah mereka ingin mengatakan kamilah pejuang umat. Namun, begitu terpilih, banyak sekali kebijakan mereka yang justru menyakiti umat. Lahirnya sejumlah UU tadi, atau ketika BBM naik, sembako, beras khususnya terus membumbung tinggi, pajak naik, sementara barang-barang tambang digaruk oleh oligarki, siapa yang dirugikan? Umatlah.
Saat Pemilu gencar adanya “serangan fajar”. Apakah ini faktor apatisme rakyat yang pesimis siapapun pemimpinnya akan sama saja? Ataukah ada faktor lainnya?
Itu bukti apatisme rakyat, juga pragmatisme elit. Elit politik tahu persis bagaimana ‘membeli’ suara rakyat. Sebaliknya, rakyat tak peduli siapa yang bakal memimpin negeri ini. Yang penting saat itu ia mendapatkan sesuatu. Dalam pikiran sederhana mereka, apa sih bedanya saya milih A atau B? Toh, keduanya tidak memberikan apa-apa. Lalu ketika C datang membawa sembako atau uang, mengapa harus ditolak? Praktik semacam ini kini makin lazim dan makin berani dilakukan, karena jika toh nanti digugat, tak mudah bagi penggugat membuktikan itu.
Mengapa rakyat semakin lama semakin pragmatis, Ustadz? Apakah ini akibat pembodohan kehidupan berpolitik yang sengaja dilakukan ataukah ada hal lain?
Ada dua faktor utama. Pertama, memang telah lama terjadi pembodohan massal. Politik semestinya sebagai sarana untuk mencerdaskan rakyat. Namun, yang terjadi sebaliknya. Rakyat diajari memilih berdasar apa yang mereka dapatkan dari calon. Di situ money politics makin merajalela. Kedua, keadaan ekonomi saat ini membuat kebanyakan rakyat memang sedang sangat berat. Karena itu tawaran uang atau sembako tak mereka sia-siakan. Di situlah pragmatisme elit bertemu dengan apatisme rakyat.
Beralih ke pertanyaan lain, Ustadz. Apa penyebab jargon perubahan hanya berputar-putar pada orang? Apakah itu memang inti masalahnya? Apakah perubahan sistem itu penting?
Secara faktual, perubahan memang paling mudah diharapkan muncul dari orang. Teorinya, person membawa perubahan sistem. Di situlah, orang selalu merindukan sosok ‘satrio piningit’ yang dibayangkan bisa memenuhi harapan itu. Padahal pada kenyataannya itu tidak mudah diwujudkan. Mengapa? Di mana tempat, penguasa akan cenderung mempertahankan kekuasaan. Itulah yang terjadi pada Orde Baru lalu. Jika sekarang presiden dibatasi hanya dua periode, mereka tetap saja akan berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya melalui penggantinya. Apalagi jika sistem yang ada memberi jalan ke arah sana, seperti yang kita lihat ini hari, melalui putusan MK.
Benarkah dalam demokrasi rakyat dipaksa untuk memilih pemimpin pilihan oligarki daripada memilih pemimpin yang benar-benar memperjuangan rakyat?
Faktanya seperti itu. Pemilu lalu, rakyat memilih satu dari 3 paslon. Lalu benarkah rakyat menginginkan 3 paslon itu? Siapakah yang memilih 3 paslon itu. Coba, siapa yang memillih Gibran menjadi cawapres Prabowo, rakyatkah? Pasti bukan. Kekuatan elit penguasa dan pengusahalah yang memilihkan. Hasil nego-nego di antara mereka. Di situlah makna nyata dari bahwa rakyat hanya dijadikan sebagai alat legitimasi saja dari apa yang telah dipilihkan oleh elit politik.
Sering dikatakan bahwa demokrasi memberikan jalan sempit pada Islam. Betulkah demikian?
Ya, memang begitu faktanya. Secara teori demokrasi memberikan jalan bagi siapa saja untuk meraih cita-cita politiknya. Namun, ketika cita-cita itu bertentangan dengan kepentingan Barat, seperti tegaknya syariah secara kaaffah, demokrasi akan menutup diri. Lihatlah, kemenangan FIS 86% dalam Pemilu di Aljazair tahun 90-an, dengan berbagai cara yang keji dibatalkan oleh kekuatan militer dukungan Barat di sana. FIS bahkan kemudian dinyatakan sebagai partai terlarang. Lebih dari 30 ribu anggotanya, termasuk dua tokoh utamanya, Ali Belhaj dan Abbas Madani, dijebloskan ke dalam penjara.
Hal serupa terjadi juga pada Hamas di Palestina dan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang memenangi Pemilu di sana. Mohammad Mursi, yang belum genap 2 tahun menjabat presiden, dikudeta oleh militer atas dukungan Barat. Negara-negara Barat diam saja atas kudeta yang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mereka agung-agungkan itu. Jangankan mengecam, menyebut itu sebagai kudeta pun tidak, hingga hari ini.
Meski begitu, mengapa umat Islam, bukan hanya di Indonesia, umumnya masih saja berharap mendapatkan keadilan bahkan tegaknya syariah Islam dalam sistem demokrasi?
Karena mereka merasa, inilah satu-satunya jalan untuk meraih tujuan. Demorasi dianggap sebagai jalan yang paling baik dalam mewujudkan cita-cita politik. Seolah tidak ada cara lain selain demokrasi. Sering diungkap, jika tidak melalui cara demokrasi, lantas menggunakan apa?
Sikap seperti ini menunjukkan kelemahan, sekaligus ketidakberdayaan kita akibat telah sangat lama masuk pada apa yang disebut jebakan intelektual (intelectual trap). Padahal sesungguhnya masih ada jalan lain. Melalui jalan umat (‘an thariiq al-ummah). Itu yang kita sebut sebagai thariiqah dakwah Rasulullah saw. Ini metode perjuangan yang islami dan insha Allah akan bisa menghantarkan pada perwujudnan cita-cita politik kita, yakni tegaknya kembali kehidupan Islam.
Jika demokrasi kita sebut sebagai jalan konstitusional formal, maka jalan lain ini boleh kita sebut konstitusional non-formal. Disebut non-formal karena ia tidak melalui prosedur yang normal, seperti berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang terjadi melalui gerakan reformasi. Jika mengikuti jalan formal, mestinya Pak Harto menjabat hingga 2003. Namun, baru tiga bulan menjabat, Mei 1998, ia didesak untuk mundur. Lalu semua pihak mengamini pengunduran itu.
Akankah jalan itu bisa mengantarkan pada keberhasilan perubahan?
Yakin bisa. Sejarah sudah membuktikan. Melalui dakwah Rasulullah Muhammad saw., Islam berhasil mengubah masyarakat jahiliah Arab menjadi masyarakat terkemuka. Mereka kemudian memimpin peradaban dunia di era Kekhalifahan Umayah maupun Abasiah. Hal ini dicetak oleh tinta emas sejarah sebagai peradaban yang paling agung pada saat belahan dunia lain sedang dalam masa kegelapan. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw. dinobatkan oleh Michael Hart sebagai the most influezial person in history (orang yang paling berpengaruh sepanjang sejarah).
Perubahan yang menyeluruh dan akan menyebabkan perubahan mendasar dalam Islam itu seperti apa, Ustadz?
Yang pertama dan utama adalah perubahan cara berpikir. Dari sini akan terbentuk keyakinan yang benar. Itulah tauhid atau keimanan kepada Allah. Lalu berdasarkan tauhid itu, tegak kesadaran ibadah atau ketaatan pada segenap perintah dan larangan Allah baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, apalagi dalam kehidupan masyarakat dan negara. Dalam kerangka ibadah juga, terdorong melakukan amar makruf nahi mungkar.
Namun, banyak orang mempertanyakan “role model” perubahan dalam Islam itu seperti apa?
Nabi Muhammad saw. itulah role model dari perubahan besar dunia, dari kegelapan menuju cahaya iman. Dari jahiliah ke peradaban gemilang yang dipancari oleh iman, ilmu dan amal.
Lalu bagaimana fungsi dan peran partai politik dalam Islam guna mendukung perubahan?
Partai politik dalam Islam memegang peranan sangat penting. Setidaknya ada 4 fungsi. Pertama, melakukan fungsi pembinaan dan pengkaderan. Ini fungsi dasar. Melalui pembinaan dan pengkaderan, akan lahir para pejuang yang siap memimpin umat guna mengatur masyarakat dengan sebaik-baiknya berdasar syariah Islam sehingga kerahmatan bagi sekalian alam bisa diujudkan secara nyata. Kedua, fungsi representasi. Partai politik harus bisa mewakili umat, menyampaikan ide dan aspirasi umat penguasa. Ketiga, fungsi edukasi dan agregasi. Partai politik harus bisa meningkatkan kesadaran politik umat, menyerap, menghimpun dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Keempat, fungsi koreksi. Partai melaksanakan kewajiban amar makruf nahi mungkar, agar jalannya kepemimpinan, pemerintahan dan kehidupan masyarakat dan negara selalu dalam rel Islam.
Kalau melihat partai-partai yang mengklaim berjuang melalui demokrasi, menurut Ustadz sejauh mana mereka memperjuangkan syariah Islam? Atau jangan-jangan selama ini tidak ada yang memperjuangkan syariah Islam?
Dari segi platform, ada. Hanya saja perjuangan seperti itu memang tidak mudah. Hasil perolehan suaranya dalam Pemilu selalu jauh di bawah partai sekuler. Karena itu kekuatan politiknya juga kecil. Akibatnya, gagasan-gagasan politiknya tidak bisa direalisasikan karena kalah suara.
Oleh karena itu, partai-partai Islam tidak boleh menjadikan Pemilu sebagai satu-satunya jalan untuk menegakkan syariah Islam, sedemikian sehingga seolah-olah hidup matinya bergantung pada pemilu. Parpol Islam harus sungguh-sungguh melaksanakan semua fungsi parpol, terutama fungsi edukasi, pembinaan dan pengkaderan agar secepatnya terwujud kesadaran politik Islam di tengah-tengah masyarakat. Juga, mereka wajib melakukan kritik terhadap penguasa atas kebijakan zalim yang tidak sesuai dengan syariah, serta mengungkap makar jahat negara asing di negeri ini dan negara dunia Islam yang lain. Hanya melalui cara ini, kekuatan politik Islam untuk mewujudkan perubahan mendasar tersebut bisa dibentuk.
Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam agar perubahan terjadi dan seluruh syariah Islam dapat diterapkan secara kaaffah dalam naungan Khilafah?
Pertama, umat harus ditunjuki jalan perjuangan yang lain itu, menggenapi yang sudah ada, yakni jalan perjuangan yang ditunjukkan oleh Baginda Rasulullah saw. Kedua, umat harus dipahamkan bahwa perjuangan adalah bagian dari ibadah. Selain kemenangan yang harus menjadi tujuan, keikhlasan dan ketepatan dalam perjuangan juga sangat penting karena disitulah letak nilai dari ibadah. Oleh karena itu, meski tidak mudah, visi perjuangan semacam ini tetap harus dilakukan.
Mohon dijelaskan lebih lanjut apa itu ‘an thariiq al-ummah, konstitusional non-formal dalam upaya penegakkan syariah Islam secara kaaffah dalam naungan Khilafah tersebut?
Pertama, pembinaan dan pengkaderan dengan tsaqaafah yang shahih harus semakin digencarkan. Begitu juga penyebaran fikrah Islam (nasyrul-afkaar) di tengah masyarakat juga harus semakin diintensifkan. Meningkatnya ghiirah keislaman di tengah masyarakat yang ditunjukkan oleh berbagai indikator seperti meningkatnya jumlah jamaah umrah, semangat bermuamalah non ribawi, rumah tangga, pernikahan, pendidikan Islami dan lainnya, menunjukkan bahwa pengkaderan dan pembinaan serta nasyrul-afkaar yang sudah dilakukan selama ini pasti membuahkan hasil yang nyata. Jika ini bisa diteruskan dengan lebih baik pada masa akan datang, insya Allah hasilnya akan lebih dahsyat.
Kedua, selain kepada grass root, dakwah juga harus menyentuh level the influenzial people, dimana pengaruh (kekuatan dan kekuasaan) yang dimiliki bisa digunakan untuk dakwah. Jika dua level ini tersentuh, insya Allah kemenangan dakwah, hanya soal waktu, akan bisa diraih. WalLaah a’lam. []