Idealkah Keluarga Yang Demokratis?
Permasalahan keluarga hari ini sudah sedemikian peliknya. Kasus kekerasan semakin marak, bahkan tidak sedikit yang berujung kepada kematian. Bahkan kekerasan seksual pada anak mayoritas dilakukan oleh orang dekat korban. Belum lagi kasus perceraian yang semakin hari semakin meningkat. Tidak sedikit anak-anak remaja yang terlibat pergaulan bebas hingga ada di antara mereka hamil di luar nikah. Tidak hanya itu, rapuhnya mental anak-anak hari ini pun sudah semakin mengemuka. Ada yang menyebutnya sebagai generasi stroberi: dari luar terlihat bagus, tetapi di dalamnya rapuh atau terkena mental illness. Semua menggambarkan keluarga yang sakit. Wajar jika kemudian muncul perbincangan tentang keluarga ideal itu seperti apa?
Sebagian orang menilai, jika orangtua menciptakan lingkungan yang demokratis maka akan terbentuk anak yang mandiri dan akan berpotensi menjadi pemimpin. Dalam lingkungan keluarga yang demokratis, anak diajari bagaimana menyampaikan pendapatnya dengan baik. Lalu anak dituntun untuk memutuskan sendiri apa yang dia ingin lakukan. Orangtua tidak melakukan judgement atas keputusan yang sudah dibuat anak. Kemudian anak diajari untuk belajar lebih banyak mendengar (Kompas.com, 30/08/2022).
Benarkah Ideal?
Mubadalah.id melansir sebuah pernyataan bahwa dalam keluarga, suami dan istri harus saling menghormati, menyayangi dan mendukung perkembangan diri dan membantu kesulitan masing-masing dengan sepadan. Jika terjadi bentrok kepentingan, suami dan istri harus menyelesaikannya dengan kompromi dan negosiasi, bukan siapa yang lebih mendominasi. Demikian halnya dengan anak-anak. Mereka diberi kebebasan untuk berpendapat dan berbuat. Orangtua tidak boleh memaksakan kehendak karena hal ini bisa dinilai sebagai bentuk kekerasan psikis terhadap anak.
Sepintas lalu konsep keluarga yang demokratis ini terlihat baik dan seolah akan memberikan solusi terhadap permasalahan keluarga. Relasi suami-istri dibangun berdasarkan kesetaraan, kehendak berdua, keridhaan berdua, saling berbagi di antara keduanya. Dengan memberikan kebebasan berpendapat dan bertindak kepada anak-anak serta tidak mengekang mereka, seolah-olah akan menyelesaikan konflik atau permasalahan dalam keluarga. Apakah benar demikian?
Sesungguhnya konsep keluarga yang demokratis ini tidak lepas dari sistem kapitalistik yang diterapkan hari ini, yang mendewakan kebebasan serta menjadikan aturan manusia sebagai pijakan. Wajar jika kemudian konsep kesetaraan dan keadilan menjadi pijakan, termasuk suami-istri setara dalam rumah tangga. Padahal, sebuah institusi apapun harus ada aturan main, juga pemimpin yang mengayomi anggotanya bahkan memberi keputusan pada situasi genting. Demikian halnya keluarga, sebagai institusi terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Bagaimanapun dibutuhkan adanya seorang pemimpin dalam keluarga. Tentu saja pemimpin hanya satu di dalam satu institusi. Demikian halnya dalam keluarga. Bagaimana mungkin bisa diwujudkan ketenteraman jika tidak ada pemimpin dalam keluarga atau sebaliknya ada dua kepemimpinan dalam sebuah keluarga?
Apalagi Allah SWT, Al-Khaaliq al-Mudabbir, telah menjelaskan kepada kita bahwa laki-laki (suami) adalah pemimpin atas perempuan (istri). Demikian sebagaimana firman-Nya dalam al-Quran (QS an-Nisa’ [4]: 34)
Keluarga Ideal: Keluarga Taat Syariah
Sebagai risalah yang sempurna dan menyeluruh, Islam telah memberikan tuntunan tentang tujuan sebuah pernikahan. Karena itu keluarga ideal adalah keluarga yang menjadikan syariah Islam sebagai pijakan dalam menjalani kehidupan.
Islam telah memberikan aturan yang khusus kepada suami dan istri untuk mengemban tanggung jawab kepemimpinan dalam rumahtangga. Suami adalah pemimpin rumah tangga. Istri adalah ibu sekaligus pengatur rumah suaminya. Rasul saw. bersabda, “Seorang laki-laki adalah pemimpin rumahtangga; ia akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya. Seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah suami dan anak-anaknya; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan-nya…” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Peran kepemimpinan dalam hadis ini sama sekali tidak menunjukkan adanya legitimasi atau superioritas derajat yang satu atas yang lain. Pemimpin keluarga tidak dianggap lebih mulia dari anggota keluarganya. Seorang suami atau ayah tidak dianggap lebih mulia dibandingkan dengan istri dan anak-anaknya. Kepemimpinan adalah tanggung jawab dan amanah yang dibebankan oleh Allah SWT untuk dilaksanakan, selanjutnya dipertanggungjawabkan sebagai sebuah amal ibadah.
Islam menetapkan peran suami adalah menjadi pemimpin keluarga yang berkewajiban menafkahi dan melindungi seluruh anggota keluarganya. Ia adalah nakhoda yang akan mengendalikan kemana biduk akan diarahkan. Kepemimpinan tersebut telah Allah amanahkan ke pundak suami (QS an-Nisa’ [4]: 34). Sebagai pemimpin keluarga, suami berkewajiban memberi nafkah yang layak kepada istri dan anak-anaknya (QS al-Baqarah [2]: 233).
Allah SWt pun telah memerintahkan kepada suami/ayah agar bergaul secara makruf dengan istrinya dan anggota keluarga lainnya. Dalam menjalankan perannya, seorang suami/ayah tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku dan kasar terhadap keluarganya. Bahkan sebaliknya, ia harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia, penuh kelembutan dan kasih sayang. Sebagai pemimpin ia tidak boleh bertindak otoriter. Karena itu ketika istrinya atau anak-anaknya mengusulkan sesuatu, memiliki pendapat berbeda atau bahkan memiliki keinginan tertentu, maka seorang ayah dituntut untuk mendengarkan pendapat dan usulan tersebut untuk kemudian diambil sebuah keputusan sesuai dengan tuntunan syariah Islam.
Benar. Seorang anak dilatih untuk berpendapat dan menyampaikan pemikirannya bahkan membuat keputusan. Hanya sajam syariah Islam yang harus dijadikan pijakan. Di sinilah orangtua berperan untuk memberikan pemahaman Islam kaaffah kepada anak-anaknya.
Mewujudkan Keluarga yang Ideal
Oleh karena itu keluarga Muslim jangan sampai terjebak dengan narasi keluarga demokratis yang hari ini terus digulirkan. Sebaliknya, mereka harus berupaya untuk mewujudkan keluarga ideal, yaitu keluarga Muslim yang menjadikan akidah dan syariah Islam sebagai pijakan.
Ada beberapa hal yang bisa kita upayakan untuk mewujudkan keluarga ideal berdasarkan syariah Islam. Di antaranya: Pertama, menguatkan kembali pondasi dasar, visi dan motivasi dalam membangun rumah tangga. Pondasi dasar dari pernikahan tersebut adalah akidah Islam. Bukan manfaat ataupun kepentingan. Visi yang kuat akan membawa bahtera rumah tangga berlayar menuju pulau harapan, yaitu menuju keluarga yang penuh keberkahan; sakinah, mawaddah warrahmah; yang terjauhkan dari kekerasan, kekasaran, sikap kesewenangan dan kehancuran. Menjaga visi pernikahan akan menghindarkan anggota keluarga termasuk pasangan suami-istri dari penyimpangan.
Kedua, menjadikan seluruh anggota keluarga taat syariah. Keluarga Muslim akan terjaga jika setiap anggotanya menjadikan syariah Islam, halal dan haram sebagai standar dalam berbuat dan menilai sesuatu. Di sanalah letak keridhaan Allah. Baik atau buruk suatu aktivitas haruslah ditimbang berdasarkan ketentuan syariah. Bukan hawa nafsunya; suka atau tidak suka. Sebabnya, yang paling mengetahui mana yang baik atau buruk bagi manusia hanyalah Allah SWT, Pencipta manusia (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 216).
Ketiga, mempelajari Islam dan meningkatkan kesadaran politik anggota keluarga. Hal ini bisa dilakukan dengan terus mengkaji Islam. Dengan kata lain, melakukan proses pencerdasan seluruh anggota keluarga—terutama yang telah balig—dengan Islam kaaffah (ideologis). Pemahaman ini dijadikan sebagai sandaran atau rujukan untuk membendung dan melawan pemikiran-pemikiran yang rusak, termasuk Islam Moderat, sekaligus dijadikan rujukan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan.
Keempat, hanya bersandar pada Allah; menguatkan idrak shilah bilLaah. Di tengah sistem yang rusak ini, agar kita selalu memiliki hati dan jiwa yang tenteram serta terjaga kewarasan kita, maka sudah seharusnya kita selalu mendekat kepada Allah SWT. Hanya dengan mendekat kepada Sang Khalik sajalah kita akan mampu mengarahkan kecenderungan-kecenderungan kita pada apa yang telah Allah SWT tuntunkan dan kita bisa berpikir benar. Banyak hal yang bisa kita lakukan. Di antaranya banyak berzikir, berdoa, sedekah, berpuasa sunnah dan shalat sunnah serta amalan sunnah lainnya. Lebih baik lagi jika kita sempurnakan dalam tahajud kita, dengan senantiasa kita curhatkan seluruh permasalahan kita hanya kepada Allah SWT. Selain akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah, kita juga akan mendapatkan ketenangan.
Kelima, menjadikan dakwah sebagai bagian penting kehidupan keluarga dan saling mendukung. Untuk mewujudkan suasana takwa di dalam keluarga, juga mengkondisikan agar semua anggota senantiasa terikat dengan aturan Allah dan berjalannya semua fungsi keluarga, maka perlu menjadikan dakwah atau amar makruf nahi mungkar sebagai bagian penting dari kehidupan sehari-hari seluruh anggota keluarga. Saling mendukung sebagai sebuah tim dakwah terkecil dan saling memberi nasihat satu sama lain. Memadukan tugas dalam keluarga dengan dakwah akan terasa berat jika tidak saling mendukung bahkan membantu. Karena itu setiap anggota keluarga harus terus saling menguatkan satu sama lain agar aktivitas dakwah berjalan dengan baik, sebagaimana yang Allah tegaskan dalam QS al-Maidah ayat 2.
Keenam, peduli terhadap permasalahan umat. Permasalahan kompleks yang dihadapi oleh keluarga-keluarga Muslim saat ini di negeri ini adalah buah dari penerapan sistem sekuler kapitalis, yang semuanya itu akan berakhir jika syariah Islam diterapkan secara kaaffah. Penerapan syariah Islam secara kaaffah ini hanya akan terwujud dalam naungan Khilafah Islamiyah. Oleh karena itu, menegakkan Khilafah merupakan perjuangan yang harus dilakukan oleh keluarga Muslim. Menegakkan Khilafah merupakan ‘proyek besar’ yang tidak bisa dilakukan oleh individu, tetapi harus dilakukan oleh umat Islam secara berjamaah.
Khatimah
Demikianlah, telah sangat jelas bahwa keluarga yang demokratis bukanlah keluarga ideal. Sebabnya, ia sebenarnya bertumpu pada pemikiran sekuler-kapitalis yang mendewakan kebebasan, baik kebebasan berpendapat maupun berperilaku. Karena itu keluarga Muslim harus waspada agar tidak tergoda dan terjebak oleh racun-racun kapitalisme yang bisa menjauhkan keluarga Muslim dari Islam bahkan bisa tergelincir kepada kubangan dosa. Na’uudzubilLaahi min dzaalik.
Keluarga ideal hanya terwujud jika syariah Islam dijadikan pijakan oleh keluarga Muslim dalam mengarungi kehidupan. Ini semua akan terwujud dengan sempurna jika ada sistem ideal yang mengayominya. Tiada lain adalah sistem Islam. Karena itu keluarga Muslim harus bersatu, bergandengan tangan dan melangkah bersama, melakukan perjuangan bersama untuk tegaknya kembali sistem Islam dalam naungan Khilafah yang telah terbukti selama belasan abad lamanya mampu menjaga keluarga Muslim dalam keberkahan.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Najmah Saiidah]