KH Shiddiq al-Jawi: Rekontekstualisasi Fikih Wajib Ditolak
Pengantar Redaksi:
Kembali ide rekonstekstualisasi fikih diwacanakan. Apa sebetulnya yang dimaksud dengan rekonstekstualisasi fikih? Apa yang menjadi latar belakang kemunculannya? Apa pula target dan tujuannya? Benarkah demi merespon tantangan zaman yang terus berubah? Pertanyaan yang lebih mendasar: Benarkah saat ini umat memerlukan rekonstualisasi fikih?
Itulah beberapa hal yang ditanyakan kepada KH Shiddiq al-Jawi dalam wawancara dengan Redaksi kali ini.
Pemerintah saat ini mengkampanyekan rekontekstualisasi fikih. Bagaimana menurut Kiai?
Sebenarnya istilah rekontekstualisasi yang dikampanyekan Menteri Agama saat ini bukan istilah baru. Dulu Menteri Agama Munawir Sjadzali tahun 1980-an akhir juga pernah mengkampanyekan apa yang disebut reaktualisasi fikih. Kedua istilah itu substansinya sama, yaitu menundukkan fikih Islam agar sesuai dengan fakta yang ada.
Menteri Agama telah menyebut contoh rekontekstualisasi fikih Islam. Beliau bilang, Khilafah akan menjadi bencana bagi umat Islam kalau diperjuangkan untuk eksis lagi. Pernyataan seperti ini intinya penolakan terhadap Khilafah. Mengapa Khilafah ditolak? Sebenarnya Khilafah ditolak atau tertolak bukan karena Khilafah tidak sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah, melainkan karena dianggap tidak sesuai dengan fakta. Fakta yang ada ini maksudnya boleh jadi sistem republik yang ada, atau boleh jadi konsep-negara (nation-state) yang sedang diterapkan.
Intinya, oleh penggagas rekontekstualisasi fikih, fakta telah dijadikan standar atau norma yang absolut yang harus diikuti. Di sisi lain, fikih Islam dijadikan sebagai suatu pemikiran yang relatif dan wajib ditundukkan pada fakta.
Namun, proses penundukan fikih agar mengikuti fakta ini sering dilakukan secara halus. Tidak vulgar. Caranya dengan memanfaatkan ayat, hadis, atau konsep tertentu, seperti konsep Maqashid Syari’ah atau konsep Tajdid, yang telah dipalsukan atau direkayasa maknanya agar cocok dengan fakta.
Apa kesalahan mendasar dari rekontekstualisasi fikih?
Dalam bahasa fikih, kesalahan dasarnya adalah menjadikan fakta sebagai dalil syariah atau mashdar al-ahkam, yakni sumber hukum bagi fikih Islam. Karena berbagai macam fakta dalam kehidupan itu hakikatnya adalah karya manusia, maka sebenarnya, kesalahan fatalnya adalah menjadi manusia sebagai sumber hukum. Bolehkah dalam Islam, manusia dijadikan sumber hukum? Jelas tidak boleh, bukan? Dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islami karya Syaikh Wahbah Zuhaili, ditegaskan bahwa seluruh fuqaha sepakat bahwa yang menjadi Al-Hakim (Pembuat Hukum Islam) adalah Allah. Bukan manusia. Jadi jelas, konsep rekontekstualisasi fikih itu tidak mungkin mendapat justifikasi dari Islam sampai Hari Kiamat.
Yang seharusnya menjadi standar atau norma bagi fikih itu bukan fakta, apa pun bentuknya, melainkan al-Quran dan as-Sunnah. Kedua sumber hukum inilah yang seharusnya menjadi standar atau norma bagi fikih Islam. Bukan yang lain.
Bagaimana sebenarnya mendudukkan fakta dalam fikih?
Fakta yang ada harus diletakkan posisinya secara benar, yaitu sebagai sasaran atau objek penerapan fikih Islam, bukan sebagai standar atau norma bagi fikih Islam.
Dengan kata lain, faktalah yang wajib mengikuti fikih Islam, bukan sebaliknya, yaitu fikih Islam mengikuti fakta. Misalnya, di suatu masyarakat Muslim ada kebiasaan minum khamr (minuman keras). Fikih Islam secara jelas telah mengharamkan khamr (QS al-Maidah [5]: 90). Manakah yang benar, apakah masyarakat yang wajib mengikuti hukum haramnya khamr sebagaimana ketentuan fikih Islam, ataukah fikih Islamnya yang diubah sehingga hukum khamr diubah dari haram menjadi halal atas nama rekontekstualisasi fikih Islam?
Jadi Islam mengajarkan konsep yang sangat berkebalikan dengan rekontekstualisasi fikih Islam. Menurut konsep rekontekstualisasi fikih Islam, kalau ajaran Islam tidak sesuai fakta, maka ajaran Islam itu yang diubah agar sesuai fakta. Sebaliknya, dalam Islam, jika ada fakta yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka faktalah yang wajib diubah dan ditundukkan pada ajaran Islam, bukan ajaran Islamnya yang diubah agar sesuai dan cocok dengan fakta.
Ada teladan yang bagus. Seorang sahabat Nabi saw., Anas bin Malik ra. menceritakan, suatu saat dia dan sebagian Sahabat Nabi saw., yaitu Abu Ubaidah, Abu Thalhah dan Ubay bin Kaab, sedang minum-minum khamr. Saat itu khamr belum diharamkan. Lalu datanglah seseorang sambil mengumumkan, “Sungguh khamr telah diharamkan!” Abu Talhah pun spontan berkata, “ Anas, tumpahkanlah khamr yang ada!” Lalu Anas pun segera menumpahkan semua khamr yang ada. (HR al-Bukhari).
Hadis ini mengajarkan kepada kita, ketika ada fakta yang tidak sesuai ajaran Islam, seperti adanya orang Islam yang minum khamr, padahal khamr sudah diharamkan, maka yang harus diubah adalah faktanya, yaitu orang Islam itu wajib mengikuti ajaran Islam. Bukan sebaliknya, yaitu orang Islamnya tetap saja minum khamr, lalu hukum haramnya khamr diubah dari haram menjadi halal agar sesuai dengan fakta yang ada.
Benarkah fikih Islam itu terkategori klasik (kuno atau ortodoks) dan modern?
Istilah ortodoks yang dipakai Menteri Agama untuk fikih Islam itu keji sekali. Ortodoks itu istilah dalam tradisi agama Katolik, yang bermakna ajaran yang baku yang ditetapkan dalam suatu konsili Gereja, misalnya Konsili Vatikan II yang diadakan antara tahun 1962-1965. Istilah ortodoks sering digunakan dalam makna pejoratif (penghinaan) karena dianggap melawan modernitas. Biasanya istilah ini digunakan oleh para orientalis atau politisi Barat, dalam proyek-proyek jahat dari Barat terhadap umat Islam. Istilah Islam ortodoks, misalnya, digunakan John Richard Thackrah dalam bukunya Dictionary of Terrorism (2013).
Jadi, kalaupun mau menyebut fikih Islam kurang mampu merespon modernitas, silakan, tetapi jangan gunakan kata “ortodoks”. Itu keji sekali dan sangat menghina umat, seolah-olah umat Islam ini adalah umat Katolik.
Maqashid Syari’ah oleh penganut paham rekontekstualisasi dianggap sebagai dasar hukum. Benarkah demikian?
Maqashid Syari’ah banyak diekploitasi untuk tujuan-tujuan jahat di luar tujuan syariah, yang justru menghapuskan hukum-hukum syariah itu sendiri. Misalnya dikatakan, jihad itu hanya wasa’il (sarana/alat/instrumen antara). Yang penting adalah tujuan (maqashid) dari jihad itu sendiri, yaitu menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Maka dari itu jihad itu bisa diganti dengan yang lain, misalnya dakwah via internet.
Khilafah juga dikatakan hanya wasa’il (sarana/alat/instrumen antara). Yang penting adalah tujuan (maqashid) dari Khilafah itu, yaitu mewujudkan keadilan, persamaan dan kesejahteraan. Jadi Khilafah itu bisa diganti dengan sistem pemerintahan lainnya, seperti republik-demokrasi, kerajaan, dsb.
Sesungguhnya ini bukan Maqashid Syari’ah, tetapi penghancuran syariah, sekaligus sebuah pemalsuan intelektual terhadap konsep Maqashid Syari’ah itu sendiri, yang digagas oleh Imam Syathibi dalam kitabnya, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah Juz kedua.
Dalam konsep Maqashid Syari’ah yang orisinal dari Imam Syathibi, tujuan-tujuan syariah hanya dapat diwujudkan dengan syariah saja, bukan melalui jalan lain di luar syariah. Sebaliknya, dalam konsep Maqashid Syari’ah yang sudah dipalsukan, tujuan-tujuan syariah dapat diwujudkan tanpa harus melalui syariah. Jadi Maqashid Syari’ah yang sudah dipalsukan ini, intinya adalah oplosan beracun antara konsep Imam Syathibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat dengan konsep Nicholo Machiaveli dalam bukunya, The Prince, yang mengajarkan prinsip sesat “tujuan dapat menghalalkan segala macam cara (the end justifies the means)”.
Mereka juga menganggap penerapan Islam sebagai sumber masalah, seperti kewajiban Khilafah. Bagaimana ini, Kiai?
Masalah yang bagaimana maksudnya? Enak aja, ngomong seenaknya tanpa data dan fakta. Kalau memang kewajiban menegakkan Khilafah itu sumber masalah atau bencana, tunjukkan dong buktinya atau datanya. Jangan hanya klaim kosong tanpa bukti dan argumentasi. Islam mengajarkan: Qul haatuu burhaanakum in kuntum shaadiqiin (Katakanlah datangkanlah bukti-bukti kalian jika kalian orang yang benar) (QS al-Baqarah [2]: 111).
Begini. Sebenarnya silakan saja kalau ada kajian serius yang membuktikan bahwa kewajiban Khilafah itu menjadi bencana bagi umat Islam. Silakan. Namun, tentu harus berdasarkan data yang valid, dan juga analisis data yang benar juga. Kajian yang mempredisi kondisi akan datang, yang disebut forecasting dalam dunia intelijen, ada ilmunya, ada metodologinya. Tidak semau-maunya main klaim dan main tuduh tanpa bukti apapun.
NIC (National Intelligence Council), sebuah lembaga intelijen AS, pada tahun 2004 pernah merilis Mapping The Global Future, sebuah prediksi kondisi politik global tahun 2020. Lalu bulan Maret 2021 yang lalu, NIC juga merilis Global Trends 2040, yang meramalkan kondisi politik global di tahun 2040 yang akan datang.
Kalau ada kajian serius yang seperti itu tentang Khilafah, silakan dirilis, supaya bisa dikaji umat Islam secara serius dan mendalam. Namun, jika tidak ada kajiannya, tidak ada datanya, dan tidak ada analisisnya, kecuali data abal-abal dan analisis dangkal, maka patut diduga pernyataan tersebut hanayalah stigma negatif terhadap Khilafah. Padahal Khilafah itu jelas merupakan ajaran Islam.
Mereka mengklaim bahwa rekontekstualisasi fikih adalah islami karena berdasarkan hukum syariah atau ijtihadi. Benarkah demikian?
Ijtihad apanya? Ijtihad itu sangat berbeda dengan rekontekstualisasi fikih. Ijtihad itu makna dasarnya adalah mewujudkan hukum yang sama sekali baru, bukan mengubah hukum yang sudah mapan menjadi hukum lain, seperti dalam rekontekstualisasi fikih. Ijtihad itu juga ada majal-nya, atau bidang yang menjadi lapangan ijtihad, yaitu hal-hal yang tidak ada nas-nya.
Dalam rekontekstualisasi fikih, yang dijadikan sasaran adalah bidang yang ada nas-nya, misalnya kewajiban Khilafah, diubah dan dihapuskan hukumnya. Khilafah yang semula wajib hukumnya lalu diubah menjadi hukum lain, boleh jadi diubah menjadi boleh (mubah)—sehingga ada justifikasi untuk sistem lain seperti republik atau monarki— atau boleh jadi diubah menjadi haram (tertolak) sehingga konsep Khilafah dihapuskan dari kurikulum pendidikan. Rekontekstualisasi fikih seperti ini hakikatnya bukan ijtihad, yang bermakna memahami nas, melainkan justru memperkosa nas, yaitu memaksakan makna-makna asing yang tidak terkandung di dalam nas itu sendiri.
Ada anggapan bahwa fikih Islam saat ini jumud dan produk Perang Salib sehingga tidak relevan lagi. Bagaimana tanggapan Kiai?
Pernyataan bahwa fikih itu produk Pasca Salib, tidak sesuai fakta dan hanya mengekor pernyataan orang lain, yaitu Prof. Nasarudin Umar. Ia pernah mengatakan bahwa fikih Islam tentang Darul Kufur atau Darul Harb adalah produk Perang Salib abad ke-12 dan ke-13 Masehi. Pernyataan ini tidak sesuai fakta, karena konsep Darul Kufur atau Darul Harb ditulis sebelum Perang Salib. Para ulama mazhab yang empat, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad sudah membicarakan atau menuliskan tema Darul Islam dan Darul Harb, padahal mereka hidup di abad ke-8 dan ke-9 Masehi.
Jadi apa yang seharusnya kita lakukan terhadap fikih Islam saat ini?
Yang diperlukan terhadap fikih Islam, secara garis besar, ada dua. Pertama: Jika ada fikih Islam yang tidak diterapkan, padahal menerapkannya statusnya wajib, maka hukumnya wajib untuk diterapkan kembali. Misalnya fikih jinayat, atau sistem pidana Islam. Namun, karena sistem pidana Islam ini mensyaratkan adanya Khilafah, berarti Khilafah wajib ditegakkan kembali, sebelum pemberlakuan kembali sistem pidana Islam.
Kedua: Jika ada fikih Islam yang belum menjawab berbagai persoalan kontemporer, maka yang wajib dilakukan adalah melakukan ijtihad.
Apakah ide rekontekstualisasi Islam ini murni dari Islam ataukah membebek dari Barat? Apa tujuan utama di balik isu rekontekstualisasi fikh ini?
Rekontekstualisasi fikih bukanlah agenda yang lahir dari ajaran Islam, melainkan konsep yang lahir dari Barat. Busthomi Muhammad Said dalam kitabnya, Mafhum Tajdid ad-Din, menjelaskan, di Barat telah terjadi tren kaum Yahudi dan Nasrani, pada abad ke-17 dan ke-18 Masehi, apa yang disebut modernism (al-‘ashraniyyah), yaitu suatu metode untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Yahudi dan Nasrani agar sesuai dengan dunia modern. Tren inilah yang kemudian diikuti oleh segelintir intelektual liberal atau sekular dari umat Islam, yang sering disebut sebagai “pembaharu” atau “modernis” dan sebutan palsu lainnya, seperti Sayyid Ahmad Khan, Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, dan sebagainya.
Tujuan utama rekontekstualisasi fikih adalah menghancurkan fikih Islam dengan jalan mengubahnya agar sesuai dengan fakta-fakta yang tercipta akibat dominasi dan hegemoni Barat di Dunia Islam. Yang akan beruntung adalah Barat, di bawah pimpinan AS, dan tentu para antek-antek mereka di Dunia Islam, yaitu para pemimpin dan intelektual liberal yang menjadi komprador Barat.
Apa yang harus dilakukan oleh umat terkait dengan ide dan gerakan rekontekstualisasi fikih ini?
Tentu umat wajib menolak rekontekstualisasi fikih ini! []