Hiwar

Ustadz Dr. Dwi Condro: Negara Bisa Dibangun Tanpa Pajak

Pengantar:

Tahun depan, 2025, Pemerintah akan memberlakukan kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) menjadi 12% dari sebelumnya 11%. Pemerintah tentu memiliki banyak alasan. Namun demikian, kenaikan PPN tersebut disinyalir bakal berdampak serius terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Pasalnya, di tengah ekonomi masyarakat yang sulit dan belum pulih pasca Covid, kenaikan PPN ini akan makin menambah beban ekonomi mereka.

Pertanyaannya: Mengapa Pemerintah tetap nekad menaikkan PPN dalam kondisi ekonomi masyarakat yang sedang terpuruk? Apa saja dampaknya bagi masyarakat secara umum? Tidak adakah jalan keluar yang lain untuk menutupi defisit APBN selain dengan utang dan pajak? Jika ada, dari mana saja sumber pendapatan APBN bisa diupayakan? Bagaimana caranya? Bagaimana ketentuan Islam dalam masalah ini?

Itulah di antara pertanyaan yang disampaikan kepada Pakar Ekonomi Islam, Ustadz Dr. Dwi Condro, dalam wawancara Redaksi kali ini. Berikut hasil wawancara selengkapnya.

 

Ustadz, Pemerintah berencana me­naikkan pajak PPN menjadi 12%. Walau terbatas di beberapa item, apakah ini tetap akan memberikan dampak signifikan kepada masyarakat luas?

Jelas. Walaupun tidak semua item barang dan jasa terkena kenaikan PPN 12 %, kenaikan PPN tersebut tentu akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang dan jasa. Kenaikan harga tersebut tentu akan mempengaruhi daya beli masyarakat secara luas, terutama bagi mereka yang mengandalkan barang-barang konsumsi untuk kebutuhan sehari-hari seperti barang elektronik, pakaian, kendaraan, perabot rumah tangga, produk makanan olahan, produk jasa industri komersial, dsb. Kenaikan harga barang dan jasa yang terdampak PPN tersebut juga tentu akan memberikan efek domino terhadap kenaikan harga barang dan jasa lainnya, walaupun PPN-nya tidak naik.

Bagi pengusaha dan pelaku bisnis, kenaikan PPN ini juga jelas akan mempengaruhi penjualan produk-produk mereka. Penjualan produk mereka akan terus mengalami penurunan akibat semakin lemahnya daya beli masyarakat.

 

Logika Pemerintah menaikkan PPN 12% adalah untuk menambah penerimaan negara. Logiskah?

Dalam kacamata ekonomi Kapitalisme, kebijakan itu tentu dianggap logis. Sebabnya, sumber utama penerimaan APBN adalah dari pajak. Jadi, kalau penerimaan pajak selama ini masih kurang, tentu solusinya dengan menaikkan pajak. Namun, jika dilihat dari kacamata ekonomi Islam tentu tidak logis. Sebabnya, sumber utama penerimaan negara bukanlah dari pajak.

 

Pemerintah juga beralasan untuk menekan defisit anggaran negara. Apakah rasional alasan tersebut?

APBN kita selama ini memang selalu defisit. Artinya, besarnya penerimaan utama APBN yang dari pajak itu selalu lebih rendah dari pengeluarannya. Untuk menutup kekurangannya (defisitnya), selama ini selalu dengan menambah utang. Padahal beban utang APBN sudah sangat besar. Jadi, logika penaikan PPN tentu dianggap rasional. Tentu sekali lagi, ini dilihat dari kacamata ekonomi kapitalis.

 

Alasan kenaikan PPN 12% disampaikan oleh Pemerintah untuk mendukung pembangunan. Apakah tidak ada jalan lain?

Menurut ajaran ekonomi Kapitalisme, sumber utama dana pembangunan adalah dari APBN. Jika sumber utamanya adalah dari penerimaan pajak maka menaikkan PPN menjadi 12 % itu logikanya jelas akan mendukung peningkatan pembangunan. Apakah ada jalan lain? Tentu sangat banyak. Namun, tentu saja dengan cara yang menggunakan perspektif ekonomi Islam.

 

Mungkinkah kenaikan PPN 12% akan berdampak pada kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi masyarakat?

Sebagaimana yang telah dijelaskan tadi, kenaikan PPN 12 % tentu akan berdampak pada kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi masyarakat. Mengapa? Sebabnya, pajak dalam konteks produksi barang dan jasa termasuk komponen biaya (beban). Jika pajak naik, tentu biaya produksi akan naik. Selanjutnya, tentu akan menyebabkan harga jual barang dan jasa tersebut akan mengalami kenaikan.

 

Apakah kenaikan PPN 12% juga akan semakin menekan turunnya daya beli masyarakat yang sudah rendah?

Tentu saja. Jika harga-harga mengalami kenaikan, sementara pendapatan masyarakat relatif tetap, tentu akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung pada penurunan daya beli masyarakat.

 

Mungkinkah kenaikan PPN 12% akan menaikkan inflasi dan akan mengancam ekonomi masyarakat kecil?

Sebagaimana tadi sudah saya sampaikan, pajak adalah salah satu komponen biaya produksi. Jika pajak naik, tentu biaya produksi akan naik. Jika biaya produksi secara makro ekonomi mengalami kenaikan, maka menurut teori ekonomi, hal itu akan menyebabkan kurva penawaran agregat (Agregate Supply) akan mengalami penurunan (bergeser ke kiri). Hal itu tentu akan menyebabkan terjadinya inflasi, yang disebut dengan istilah CPI (Cost Push Inflations). Jika ekonomi mengalami inflasi, kelompok masyarakat yang akan langsung mengalami dampaknya adalah masyarakat ekonomi kecil karena daya beli mereka yang memang sudah pas-pasan (dengan harga yang normal). Apalagi jika harganya mengalami kenaikan (inflasi).

 

Apakah kenaikan PPN 12% itu pro rakyat? Sebabnya, di sisi lain Pemerintah memberikan tax holiday kepada pengusaha besar, sementara kekayaan alam di obral ke asing, dll?

Jika fakta yang terjadi adalah benar demikian, kenaikan PPN 12 % tentu merupakan penindasan terhadap rakyat, khususnya golongan menengah ke bawah. Sementara itu, pemberian tax holiday kepada pengusaha besar, kekayaan alam yang di obral ke asing, tentu merupakan kebijakan yang sangat menguntungkan bagi kelompok mereka.

 

Apa kesalahan fatal paradigma pajak dalam ekonomi kapitalis?

Kesalahan yang paling fatal dari paradigma pajak dalam ekonomi kapialis adalah menjadikan pajak sebagai jalan utama untuk mewujudkan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Menurut pandangan ekonomi kapitalis, dalam sistem ekonomi pasar bebas, kemungkinan terjadinya pemerataan pendapatan sangatlah kecil. Maka dari itu, pemerataan ekonomi hanya dapat diwujudkan dengan pemungutan pajak, melalui APBN. Kemudian dari APBN itulah pemerataan dapat diwujudkan, seperti melalui layanan negara, pembangunan berbagai sarana dan prasarana, berbagai subsidi, tunjangan sosial dsb.

 

Bagaimana paradigma Islam dalam bernegara? Pelayanan atau lepas tangan?

Paradigma Islam dalam bernegara adalah mendudukkan penguasa sebagai pelayan bagi seluruh rakyatnya, secara adil dan tanpa kecuali. Penguasa harus melayani rakyatnya secara cepat, akurat dan gratis, alias bebas dari semua biaya.

 

Bagaimana paradigma Islam mengenai pajak?

Menurut pandangan Islam, hukum negara memungut pajak kepada rakyatnya adalah haram. Pemungutan pajak kepada rakyatnya hanya dibolehkan dalam kondisi darurat, yaitu ketika Kas Negara (Baitul Mal) dalam keadaan kosong atau kurang untuk memenuhi keperluan yang bersifat wajib, yang kewajiban menjadi tanggung jawab negara dalam pemenuhannya. Pemungutan pajak yang bersifat darurat itu pun harus diikuti dengan persyaratan yang sangat ketat, yaitu: (1) Hanya boleh dipungut pada kondisi Kas Negara tidak ada uang atau harta; (2) Hanya dipungut dari laki-laki Muslim yang kaya; (3) Tidak boleh dipungut dari warga negara kafir dzimmy; (4) Harus sesuai dengan jumlah dana yang diperlukan; (5) Tidak boleh bersifat permanen atau hanya bersifat temporal.

 

Mungkinkah membangun sebuah negara tanpa pajak?

Tentu saja sangat mungkin. Sebabnya, dalam perspektif ekonomi Islam, APBN Islam mempunyai 12 sumber penerimaan, yang pos-pos pemasukannya sudah ditetapkan oleh syariah Islam secara jelas. Kedua belas pos penerimaan negara tersebut adalah: (1) Anfâl, Ghanîmah, Fai dan Khumûs; (2) Kharâj; (3) Jizyah; (4) Harta Kepemilikan Umum (seperti barang tambang dan SDA lainnya); (5) Harta Milik Negara yang berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pendapatannya; (6) ‘Usyur; (7) Harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara, harta hasil kerja yang tidak dijinkan syariah, serta harta yang diperoleh dari hasil tindakan curang lainnya; (8) Khumûs barang temuan dan barang tambang; (9) Harta yang tidak ada ahli warisnya; (10) Harta orang-orang murtad; (11) Zakat; (12) Pajak (dharîbah), jika dalam kondisi darurat.

 

Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam agar pajak tidak menjadi pilar ekonomi negara?

Umat Islam harus terus-menerus memperjuangkan atau mendakwahkan agar ekonomi yang diterapkan oleh negara adalah ekonomi Islam, bukan ekonomi Kapitalisme. Ekonomi Islam hanya bisa terwujud dalam wadah negara yang menerapkan Islam secara kâffah, yaitu Negara Khilafah Islamiyah. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen + 9 =

Back to top button