Memuliakan Ilmu
Imam Malik rahimahulLaah adalah salah seorang ulama yang sangat memuliakan ilmu. Diriwayatkan, dalam sebuah kunjungan ke Kota Madinah untuk menziarahi Makam Rasulullah saw., Khalifah Bani Abbasiyyah saat itu, Harun ar-Rasyid, tertarik untuk mengikuti kajian Kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik.
Untuk itu Khalifah mengutus Yahya bin Khalid al-Barmaki untuk memanggil Imam Malik. Namun, Imam Malik menolak untuk mendatangi Khalifah seraya berkata kepada utusan Khalifah itu, “Al-‘Ilmu yuzâr wa lâ yazûr, yu’tâ wa lâ ya’tî (Ilmu itu dikunjungi, bukan mengunjungi. Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi).” (Lihat: Al-‘Ashami, Samth an-Nujûm al-‘Awâlî fî Anbâ’ al-Awâ’il at-Tawâlî, II/2014).
Demikianlah sikap Imam Malik. Di tangan beliau, ilmu benar-benar ditempatkan pada kedudukan mulia dan terhormat. Tak mudah direndahkan dan disepelekan. Bahkan oleh seorang penguasa besar, seperti Khalifah Harun ar-Rasyid sekalipun.
Inilah yang juga dilakukan oleh Imam Malik. Dalam rangka mencari ilmu sekaligus mengumpulkan hadis, beliau rela mendatangi tidak kurang dari 900 ulama di majelis-majelis mereka. Tak jarang untuk itu beliau menempuh perjalanan yang sangat jauh. Dengan segala jerih-payahnya wajarlah jika Imam Malik menjadi salah seorang ulama terkemuka pada zamannya hingga kini.
Tak hanya Imam Malik, semua ulama—dengan ilmu mereka, juga dengan segala jerih-payah mereka dalam meraih ilmu—menduduki kedudukan yang mulia. Tak hanya di tengah-tengah umat, tetapi juga tentu di sisi Allah SWT. Tak hanya di dunia, tetapi tentu juga di akhirat. Demikian sebagaimana firman Allah SWT (Lihat: QS al-Mujadilah [58]: 11).
Memang, tak semua Muslim bisa meraih posisi sebagai ulama atau menjadi orang yang berilmu. Tidak ada masalah. Sebabnya, yang wajib dan dituntut dari setiap Muslim adalah belajar atau mencari ilmu. Hal itu sekaligus merupakan cara dia dalam memuliakan ilmu. Karena itu benar yang dinyatakan oleh Abu ad-Darda’ ra. Sebagaimana dinukil oleh Imam Ahmad rahimahulLaah dalam kitabnya, Az-Zuhd:
أُطْلُبُوا الْعِلْمَ، فَإِنْ عَجَزْتُمْ فَأَحَبُّوا أَهْلَهُ، فَإِنْ لَمْ تُحِبُّوْهُمْ فَلاَ تُبْغِضُوْهُمْ
Carilah oleh kalian ilmu. Jika kalian lemah (dalam mencari ilmu), cukup cintai ahli ilmu (para ulama). Jika kalian tak sanggup mencintai para ulama, janganlah sekali-sekali membenci mereka.
Namun demikian, kewajiban belajar atau mencari ilmu seharusnya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bukan dengan main-main dan tidak serius. Generasi salafus-shalih dulu kebanyakan serius dan bersungguh-sungguh dalam belajar dan mencari ilmu. Sabar. Tak mudah bosan. Apalagi putus asa. Karena itu para pencari ilmu senantiasa mengamalkan apa yang dinyatakan oleh sebagian ulama salaf:
مَنْ لَمْ يَصْبِرْ عَلَى ذلِّ التَّعلُّمِ بَقِيَ عمُرَه فِي عِمَايَةٍ الْجَهَالَةِ، وَمَنْ صَبَرَ عَلَيْهِ آلَ أمرُه إلى عزِّ الدُّنيا والآخرةِ
Siapa saja yang tidak sabar atas kesulitan dalam belajar, pasti umurnya dia habiskan dalam kesesatan akibat kebodohan. Sebaliknya, siapa saja yang sabar dalam belajar, ia akan meraih kemuliaan di dunia dan akhirat (Ibnu Jamaah, Tadzkirah as-Saami’ wa al-Mutakallim, hlm. 91).
Para pencari ilmu juga amat paham dan tentu mengamalkan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafii rahimahulLaah:
مَنْ لَمْ يَذُقْ ذُلَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً، تَجَرَّعَ ذُلَّ الْجَهْلِ طُوْلَ حَيَاتـِهِ
Siapa saja yang belum pernah merasakan kehinaan (kesulitan/penderitaan) dalam belajar sesaat saja, dia pasti akan menelan kepahitan akibat kebodohan sepanjang hidupnya (Asy-Syafii, Diiwan al-Imaam asy-Syaafi’i, hlm. 33-34).
Karena itu, cara pencari ilmu memuliakan ilmu tidak lain dengan “menghinakan” dirinya di hadapan ilmu. Salah satu wujudnya adalah dengan berpayah-payah dalam belajar dan mencari ilmu. Apalagi ilmu memang tak mungkin bisa diraih kecuali dengan belajar dengan segala kesungguhan, keseriusan, kerja keras dan segala pengorbanan.
Karena itulah para pencari ilmu selalu mengamalkan kata-kata ulama berikut:
اَلْعِلْمُ لاَ يُعْطِيْكَ بَعْضَهُ حَتَّى تُعْطِيْهِ كُلَّكَ
Ilmu itu tidak akan memberi kamu meski hanya sebagiannya saja hingga engkau mengorbankan bagi ilmu itu seluruh jiwa-ragamu (Qadhi Abu Yusuf, Al-Jaami’ li Akhlaaq ar-Raawi, 2/174).
Karena itu dikatakan pula:
وَإِذَا أَعْطَيْتَهُ بَعْضَكَ لَمْ يُعْطِكَ شَيْئًا مِنْهُ
Jika engkau hanya mengorbankan sebagian dirimu saja dalam meraih ilmu, maka ilmu tidak akan memberi kamu bagiannya sedikit pun.
Cara lain dalam memuliakan ilmu adalah dengan memuliakan para mu’allim (guru) dan para ulama. Betapapun banyaknya ilmu yang diraih oleh seorang pelajar/santri, hal itu tak akan menjadi berkah jika ia tidak memuliakan guru (mu’allim)-nya dan para ulama. Apalagi sampai merendahkan mereka.
Dalam Kitab Kifâyah al-Atqiyaa’ wa Minhâj al-Ashfiyaa’, dinyatakan: “Siapa saja yang merendahkan gurunya maka Allah SWT akan menimpakan tiga musibah berat kepada dirinya: (1) Lupa atas ilmu yang telah ia hapal; (2) Tumpul lisannya (dalam menyampaikan ilmu); (3) Hidup dalam keadaan faqir di akhir hayatnya.” (Lihat juga: An-Nawawi, Salaalim al-Fudhala, hlm. 84).
Dengan demikian memuliakan guru dan para ulama adalah keniscayaan. Untuk itu, kata-kata Imam Ali ra. berikut ini layak menjadi bahan renungan para pencari ilmu. Beliau berkata:
أَنَا عَبْدُ مَنْ عَلَّمًنِي حَرْفًا وَاحِدًا إِنْ شَاءَ بَاعَ وَإِنْ شَاءَ اسْتَرَقَ
Aku adalah hamba sahaya dari siapapun yang mengajari aku meski hanya satu huruf. Jika dia mau, dia bisa menjual diriku. Jika dia mau, dia bisa menjadikan diriku tetap sebagai budaknya (Az-Zarnuji, Ta’liim al-Muta’allim, hlm. 15-16).
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. [Arief B. Iskandar]