Ibrah

Politik

DALAM Islam, politik (siyâsah) sesungguhnya bersandar pada nilai-nilai ideologis dan spiritual yang tinggi. Politik bukanlah seni merebut dan mempertahankan kekuasaan. Dalam Islam, politik (siyâsah) hakikatnya adalah: ri’âyah syu’ûn al-ummah bi syar’ilLâh (pengurusan dan pelayanan urusan umat berdasarkan tuntunan syariah Allah SWT).

Karena itu penguasa atau pemimpin dalam Islam bukanlah raja yang bertakhta dengan hak istimewa. Dia hanyalah seorang hamba yang dibebani amanah yang jauh lebih berat dibandingkan dengan rakyat biasa. Rasulullah saw. bersabda:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Imam (Kepala Negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban (di akhirat) atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Dalam Islam, menjadi penguasa atau pemimpin adalah beban akhirat. Bukan sebuah kehormatan dunia. Karena itu kepemimpinan dalam Islam bukan jalan kemewahan, tetapi jalan ibadah dan pelayanan. Ini sesuai dengan sabda Nabi saw.:

«سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ»

Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR Abu Nu‘aim dalam Hilyah al-Awliyâ’, 10/117).

 

Hadis ini bukan retorika, tetapi prinsip agung dalam sistem kepemimpinan Islam. Seorang pemimpin yang benar-benar memahami tugasnya akan melihat rakyat bukan sebagai objek kekuasaan; tetapi sebagai amanah dari Allah yang wajib dipelihara dengan cinta, keadilan dan pengorbanan. Itulah karakter dasar kepemimpinan dalam Islam: melayani umat dengan kasih sayang dan keadilan.

Amanah dan adil adalah inti dari siyâsah (politik) Islam (lihat:

QS an-Nisa’ [4]: 58). Dalam banyak tempat, Allah SWT bahkan menggandengkan keadilan dengan ketakwaan. Pemimpin yang adil tidak akan menzalimi rakyatnya. Sebabnya, dia sadar bahwa setiap keputusan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT kelak. Dia akan selalu mengingat sabda Rasulullah saw.:

«مَا مِنْ رَاعٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»

”Tidaklah seorang pemimpin yang diberi amanah oleh Allah, lalu dia meninggal dalam keadaan mencederai rakyatnya, kecuali Allah haramkan bagi dirinya surga.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Rasulullah saw. sendiri adalah seorang kepala negara yang selalu hadir di hati umat (rakyat)-nya karena beliau amat mencintai dan menyayangi mereka.

Demikian pula Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Ketika diangkat sebagai khalifah, beliau langsung menyatakan, ”Aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian. Padahal aku bukan yang terbaik di antara kalian. Karena itu jika aku benar, bantulah aku. Jika aku salah, luruskanlah aku.” (Târîkh ath-Thabari, 2/245).

Kata-kata ini menunjukkan kerendahan hati dan kesadaran bahwa kepemimpinan adalah amanah, bukan privilege. Beliau memimpin dengan kerendahan hati dan cinta kepada umat. Bahkan ketika sakit menjelang wafatnya, beliau masih memikirkan nasib kaum rakyatnya, bukan dirinya.

Demikian pula Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau adalah simbol keadilan. Ketika seorang warga Mesir mengadukan kezaliman anak gubernur Mesir, Khalifah Umar memanggil keduanya ke Madinah. Lalu beliau mempersilakan rakyat jelata itu membalas cambukan kepada anak gubernur di hadapan publik. Khalifah Umar ra. berkata kepada gubernur itu, ”Sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?” (Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubalâ’, 2/514).

Ketika rakyat kelaparan pada masa paceklik, Khalifah Umar tak mau makan sampai rakyatnya betul-betul kenyang. Beliau berkata, “Bagaimana mungkin aku merasa kenyang, sementara rakyatku lapar?” (Ibn Sa‘d, Thabaqât al-Kubrâ, 3/312).

Beliau pun pernah menggendong sendiri karung gandum ke rumah seorang janda yang kelaparan. Ketika ajudannya menawarkan bantuan, beliau menjawab, “Apakah engkau yang akan memikul dosaku kelak pada Hari Kiamat?” (Ibn al-Jauzi, Manaaqib ‘Umar, hlm. 149).

Keteladanan juga ditunjukkan oleh Khalifah Utsman bin ‘Affan ra. Pada masa kekeringan, beliau pernah membeli—dari uang pribadinya—Sumur Raumah dari orang Yahudi untuk diberikan kepada umat Muslim secara gratis.

Keteladanan juga ditunjukkan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Khalifah Ali adalah lambang kecerdasan dan keberanian, tetapi juga kelembutan hati. Beliau pun dikenal sebagai sosok pemimpin yang suka hidup zuhud. Pakaian dan makanannya sangat sederhana. Padahal, kalau mau, beliau bisa hidup mewah.

Berikutnya adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau adalah salah satu sosok pemimpin teladan yang paling menggetarkan hati. Sesaat setelah dilantik sebagai khalifah, beliau menangis dan berkata, “Duhai Allah, Engkau telah membebani diriku perkara yang besar. Jika Engkau tidak menolongku maka binasalah aku dan umat ini.”

Beliau adalah khalifah yang sangat takut terhadap hisab Allah. Selama menjabat, beliau menolak semua harta negara. Istrinya, Fathimah binti Abdul Malik, bersaksi, “Demi Allah, ia tak pernah menyentuh satu dirham pun dari Baitul Mal. Setiap malamnya diisi dengan tangis dalam sujud.” Beliau biasa memadamkan lampu minyak negara saat membicarakan urusan pribadi/keluarga. Beliau memandang urusan pribadi/keluarga tidak boleh menggunakan fasilitas publik (Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 9/199).

Beliau hanya menjabat dua tahun. Namun, dalam waktu singkat, rakyatnya makmur dan hidup sejahtera. Bahkan dikatakan bahwa pada zamannya tak ditemukan lagi orang miskin yang layak menerima zakat (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 9/199).

Demikianlah para penguasa Muslim dulu. Mereka benar-benar memahami dan mempraktikan dengan baik hakikat politik (siyâsah) Islam, yakni: mengurus dan melayani rakyat berdasarkan tuntutan syariah Allah SWT.

Alhasil, wahai para penguasa dan para pemimpin! Jadikanlah kekuasaan kalian sebagai sarana ibadah kepada Allah SWT dan pelayanan kepada rakyat kalian. Bukan sebagai puncak nafsu dunia dan ketundukan pada godaan setan. Ingatlah! Kelak, di Akhirat, yang paling berat hisabnya adalah para penguasa dan para pemimpin seperti kalian! Saat demikian, kekuasaan yang kalian usahakan dan kalian pertahankan mati-matian—tanpa kalian peduli halal dan haram—benar-benar akan berbuah penyesalan yang amat dalam!

 

Wa mâ tawfîqîillâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

14 + nineteen =

Check Also
Close
Back to top button