Ibrah

Wujud Takwa


Sebagaimana sudah dimaklumi, Puasa Ramadhan adalah salah satu sarana penting dalam mewujudkan ketakwaan pada diri seorang Muslim (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 183).

Banyak definisi takwa yang diungkapkan oleh para ulama. Yang paling populer, takwa didefinisikan dengan: imtisâl awâmirilLâh wa ijtinâb nawâhihi (menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya).

Para ulama juga banyak menyebut ciri-ciri orang bertakwa. Salah satunya adalah yang pernah dinyatakan oleh Sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Menurut beliau, takwa memiliki empat kriteria utama. Pertama: Al-Khawf min al-Jalîl (Rasa takut kepada Allah Yang Maha Agung). Seorang Mukmin yang bertakwa selalu merasa takut akan murka dan azab Allah SWT. Dengan itu ia berusaha senantiasa menjauhi larangan-Nya dan berusaha melaksanakan perintah-Nya dengan penuh ketaatan.

Kedua: Al-‘Amal bi at-Tanzîl (Mengamalkan al-Quran). Takwa bukan hanya sebatas keyakinan, tetapi juga harus diwujudkan dalam amal perbuatan sehari-hari sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.

Ketiga: Al-Qanâ’ah bi al-Qalîl (Merasa cukup dengan yang halal walau sedikit). Orang yang bertakwa tidak tamak terhadap dunia. Ia merasa cukup dengan rezeki yang halal meski sedikit dan tidak berlebihan dalam mengejar kesenangan duniawi.

Keempat: Al-Isti’dâd li Yawm ar-Rahîl (Mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan setelah mati). Seorang Mukmin yang bertakwa selalu mengingat kematian dan kehidupan akhirat. Dengan begitu ia akan selalu memanfaatkan waktunya untuk beribadah dan berbuat kebaikan sebagai bekal menuju pertemuan dengan Allah SWT (Abu Nu’aim al-Asfahani, Hilyat al-Awliyâ’, 1/79).

Kriteria takwa ini sejatinya harus mewujud dalam keseharian seorang Muslim. Di antaranya tercermin pada rasa khawatir dan rasa takutnya yang besar terhadap azab Allah SWT di akhirat. Dalam hal ini, kita perlu banyak belajar kepada generasi salafush-shâlih. Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. menggambarkan bagaimana keadaan para Sahabat Nabi saw., misalnya, yang penuh dengan ketakwaan. Beliau mengisahkan bahwa para Sahabat Nabi saw. sering keluar pada pagi hari dengan rambut kusut, wajah pucat berdebu dan mata bengkak karena semalaman suntuk beribadah, bersujud dan berdiri dalam shalat malam sambil membaca al-Quran (Abu Nu’aim al-Asfahani, Hilyat al-Awliyâ’, 1/76).

Di antara para Sahabat Nabi saw. yang bertakwa bahkan telah dijamin masuk surga adalah Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Beliau terkenal memiliki rasa takut yang luar biasa kepada Allah SWT. Suatu ketika, Sayidina Abu Bakar, misalnya, melihat seekor burung yang hinggap di sebuah pohon. Beliau berkata, ”Bahagialah engkau, wahai burung. Engkau makan dari pepohonan, berlindung di rerimbunan daun-daunnya dan terbang melayang sekehendakmu; sementara engkau tidak akan dihisab. Celakalah aku, wahai Abu Bakar. Andai saja aku seperti seekor burung.” (Abu Nu’aim al-Asfahani, Hilyat al-Awliyâ’, 1/30).

Demikian pula Sayidina Umar bin al-Khath­thab ra. Beliau pun termasuk salah seorang Sahabat yang dijamin bakal masuk surga. Sebagaimana Sayidina Abu Bakar, Sayidina Umar juga memiliki rasa takut yang luar biasa kepada Allah SWT. Diriwayatkan, misalnya, Sayidina Umar ra., karena begitu kuat rasa takutnya akan hisab Allah SWT di akhirat kelak, pernah berkata, ”Alangkah baiknya jika aku ini hanya sebatang pohon, yang kemudian ditebang dan dijadikan kayu bakar.”

Contoh lain adalah Ar-Rabi’ bin Khutsaim rahimahulLâh. Beliau adalah salah satu ulama Tâbi’în yang dikenal sangat zuhud dan bertakwa. Beliau adalah murid dari Abdullah bin Mas’ud ra. Suatu ketika, seorang tamu bernama Mundzir ats-Tsauri mengunjungi dirinya. Saat itu sang tamu melihat Ar-Rabi’ sedang menangis. Ketika ditanya alasannya, Ar-Rabi’ menjawab bahwa ia menangis karena merasa dosa-dosanya teramat banyak. Obatnya adalah istighfar serta tobat nashûhâ. Beliau juga menyatakan bahwa dibandingkan dengan para Sahabat Nabi saw., dirinya merasa seperti pencuri karena merasa sangat kurang dalam beribadah kepada Allah SWT (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 4/260).

Contoh lainnya lagi adalah Muhammad bin Sirin rahimahulLâh. Beliau adalah seorang Tâbi’în yang hidup di tengah para Sahabat Rasulullah saw. Meskipun terlahir dengan status sebagai anak budak, beliau dikenal karena ketakwaan dan keilmuannya. Beliau selalu menjaga lisannya dan berhati-hati dalam berbicara, serta sangat teliti dalam urusan halal dan haram (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 4/606).

Teladan lainnya adalah Sa’id bin al-Musayyib rahimahulLâh. Beliau adalah juga salah satu Tâbi’în terkemuka yang dikenal karena ketakwaan dan keilmuannya. Beliau pernah menolak tawaran Khalifah untuk menikahkan putrinya dengan putra Khalifah. Beliau memilih menikahkan putrinya dengan seorang muridnya yang miskin, namun bertakwa. Keputusan ini menunjukkan bahwa beliau lebih mengutamakan agama dan akhlak daripada status sosial atau kekayaan (Ibnu Sa’ad, Thabaqât al-Kubrâ, 5/120).

Berikutnya adalah Umar bin Abdul Aziz rahimahulLâh. Beliau adalah seorang khalifah dari generasi Tâbi’ at-Tâbi’în. Beliau dikenal karena ketakwaan dan keadilannya. Beliau hidup sederhana meskipun memiliki kekuasaan yang besar. Suatu ketika, saat sedang bekerja pada malam hari dengan menggunakan lampu minyak milik negara, datanglah anaknya untuk membicarakan urusan keluarga. Beliau memadamkan lampu tersebut dan menyalakan lampu miliknya sendiri, agar tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Tindakannya ini menunjukkan ketakwaan dan integritasnya dalam memisahkan antara urusan negara dan pribadi (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 5/133).

Teladan berikutnya adalah Imam Ibnu al-Jauzi rahimahulLâh. Imam Ibnu al-Jauzi (510-597 H) pernah bercerita bahwa beliau telah menulis 2000 jilid buku, menjadikan 100 ribu orang bertobat dan membuat 20 ribu orang Yahudi dan Nasrani masuk Islam. Meskipun demikian, beliau tetap merasa khawatir terhadap nasibnya di akhirat (Ibnu al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah 4/123).

Kisah-kisah di atas menggambarkan betapa mendalamnya ketakwaan para Sahabat, Tâbi’în dan Tâbi’ at-Tâbi’în yang tercermin dalam perilaku sehari-hari mereka. Terutama tampak pada rasa khawatir dan rasa takut mereka yang luar bisa besar kepada Allah SWT. Bagaimana dengan kita?

Wa mâ tawfîqîillâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen − six =

Check Also
Close
Back to top button