
Peristiwa Pada Hari Kiamat (Lanjutan)
(QS Qaf [50]: 21-22). (Lanjutan)
Datanglah tiap-tiap diri bersama dengan seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi. Sungguh kamu dulu benar-benar lalai tentang (peristiwa) ini. Karena itu Kami singkapkan penutup matamu. Dengan itu penglihatanmu pada hari ini sangat tajam. (QS Qaf [50]: 21-22).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
Datanglah tiap-tiap diri bersama dengan seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi.
Kata « كُلُّ » (setiap) di sini memberikan makna umum, yakni mencakup semua jenis yang disebutkan dalam ayat tersebut. Dengan demikian frasa « كُلُّ نَفْسٍ » (semua jiwa atau orang) meliputi semua orang, baik Mukmin atau kafir; yang taat atau maksiat; dan yang baik maupun yang durhaka.
Sebagian mufassir mengatakan, frasa tersebut khusus untuk orang kafir. Ini merupakan pendapat Adh-Dhahhak dan Ibnu ‘Asyur. Menurut Ibnu ‘Asyur, frasa « كُلُّ نَفْسٍ » yang dibicarakan dalam ayat ini adalah khusus orang-orang musyrik. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa alasan. Pertama, konteks ayat. Kedua, frasa dalam firman Allah: « مَعَها سائِقٌ » (bersama dengan malaikat penggiring/penghalau). Alasannya, kata sâ’iq (penggiring/penghalau) lebih sesuai untuk menggiring para pelaku kejahatan. Sebaliknya, orang-orang yang diberi petunjuk menuju kemuliaan akan dipandu oleh « قَائِدٌ » (pemandu) yang berjalan di depan mereka (Lihat: QS al-Anfal [8]: 6).
Ketiga, firman Allah setelahnya:
Sungguh kamu dulu benar-benar lalai tentang (peristiwa) ini (QS Qaf [50]: 22).
Keempat, firman Allah setelahnya:
(Malaikat) yang menyertai dia berkata, “Inilah (catatan perbuatan) yang ada padaku.” (QS Qaf [50]: 23).
Pendapat pertama merupakan pendapat jumhur. Jika mendasarkan pada bentuk lahirnya, yakni frasa « كُلُّ نَفْسٍ » (tiap-tiap jiwa), menunjukkan makna umum, sehingga mencakup seluruh manusia.
Dalam ayat ini tidak disebutkan tentang ke mana mereka datang. Menurut al-Wahidi, Wahbah az-Zuhaili, dan lain-lain, mereka digiring ke Padang Makhsyar.
Semua orang datang bersama « سَائِقٌ وَشَهِيدٌ » (penggiring dan saksi). Kata « سَائِقٌ » (penggiring, penghalau), menurut banyak mufassir, adalah malaikat. Merekalah yang menggiring ke Padang Makhsyar.
Adapun terkait kata « شَهِيدٌ » (saksi) dalam ayat ini terdapat beberapa penjelasan. Pertama: Syahîd (saksi) yang dimaksud ayat ini adalah malaikat. Sâ’iq adalah malaikat yang menggiring manusia ke Padang Makhsyar. Syahîd adalah malaikat yang menjadi saksi atas semua amal perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia. Ini merupakan pendapat Ibnu Katsir, Abu al-Su’ud, Syihabuddin al-Alusi, al-Jazairi, Mujahid dan Ibnu Wahab. Menurut al-Qurthubi, pendapat ini shahih.
Namun, menurut Abu Hurairah ra., syâ’iq (yang menggiring) adalah malaikat, sedangkan syahîd (saksi) adalah amal manusia. Pendapat semisal telah dikatakan oleh adh-Dahhak dan as-Saddi.
Menurut al-Aufi, dari Ibnu Abbas ra., yang menggiring adalah malaikat, sedangkan yang menjadi saksi adalah diri manusia sendiri. Amal itu bersaksi atas dirinya sendiri, yakni kaki dan tangan manusia. Hal yang sama dikatakan oleh al-Dahhak ibnu Muzahim. Berkaitan dengan anggota tubuh menjadi saksi bagi manusia pada Hari Kiamat juga diberitakan dalam ayat yang lain (Lihat: QS an-Nur [24]: 24; QS Yasin [36]: 65).
Menurut Fakhruddin al-Razi, as-sâ’iq adalah yang menggiring orang yang berbuat baik dan orang yang faajir (pendosa). Orang baik digiring ke surga (QS az-Zumar [39]: 71). Sebaliknya, orang faajir digiring ke neraka (QS az-Zumar [39]: 73).
Di antara perkara keimanan adalah tentang peristiwa peniupan terompet sangkakala pada Hari Kiamat. Peristiwa tersebut dengan jelas disebutkan dalam ayat ini, selain dalam banyak ayat lainnya (Lihat: QS Thaha [20]: 103; QS al-Kahfi [18]: 99; QS al-Mukminun [23]: 101).
Fakhruddin ar-Razi berkata, “Tidak ada keraguan di kalangan kaum Muslim bahwa Allah SWT telah menciptakan sebuah qarn (terompet) yang ditiup oleh satu malaikat. Terompet itu disebut dengan ash-shûr, sebagaimana makna ini telah Allah sebutkan di beberapa tempat dalam Kitab-Nya yang mulia.”
Kedua: Saat terompet sangkakala itu ditiup, makhluk dimatikan dan dihidupkan kembali pada Hari Kiamat (Lihat: QS al-Zumar [39]: 68).
Kemudian dalam ayat berikutnya disebutkan:
Sungguh kamu berada dalam keadaan lalai tentang (peristiwa) ini.
Ayat ini mengingatkan « غَفْلَةٍ » (kelalaian) yang dialami oleh manusia terhadap hari tersebut. Dalam ayat ini disebutkan « هذا » (ini). Maksudnya adalah Hari Kiamat. Menurut asy-Syaukani, kalimat ini berposisi nashab sebagai al-hâl (yang menggambarkan keadaan) dari kata « نَفْس » (jiwa, yang disebutkan dalam ayat sebelumnya) atau kalimat permulaan; seolah dikatakan kepada dirinya, “Apa yang dikatakan kepada dirinya?”
Lalu siapakah mukhâthab atau yang diajak bicara dalam ayat ini? Ada beberapa penjelasan:
- Nabi saw. Pendapat ini dikatakan oleh Zaid ibnu Aslam dan anaknya. Makna ayat ini menurut mereka adalah, “Sungguh sebelumnya kamu dalam keadaan melalaikan urusan ini sebelum turunkan al-Quran kepada kamu. Lalu Kami membuka dari dirimu penutup yang menutupi dirimu dengan menurunkan al-Quran kepada kamu.Dengan itu penglihatanmu sekarang menjadi sangat tajam.”
Jika dikaitkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, penafsiran ini kurang tepat. Sebabnya, ayat ini memberikan celaan kepada orang yang lalai terhadap Hari Kiamat.
- Orang-orang kafir. Ini menurut pendapat Ibnu Abbas ra., dari Ali bin Thalhah. Demikian menurut ad-Dahhak ibnu Muzahim dan Shalih Ibnu Kaisan. Faktanya, memang orang-orang kafir benar-benar ghaflah (lalai) terhadap Hari Kiamat. Sebabnya, mereka tidak mengimani Hari Kiamat. Tentulah mereka akan lalai terhadap Hari Kiamat dan tenggelam dengan kesenangan dunia.
- Semua orang, baik yang bertakwa maupun yang durhaka. Sebabnya, negeri akhirat itu, jika dibandingkan dengan dunia, sama halnya dengan orang yang bangun (terjaga, tidak tidur) dengan orang yang tidur. Ini pendapat Ibnu Abbas dalam riwayat lain. Pendapat ini juga dipilih Ibnu Jarir al-Thabari. Mufassir tersebut berkata tentang ayat ini, “Sungguh kamu berada dalam keadaan lalai terhadap semua kedahsyatan dan kesusahan itu oleh hal-hal yang kamu lihat hari ini, wahai manusia.”
Demikian pula menurut Fakhruddin al-Razi. Khithâb ini bersifat umum. Tentang orang kafir, sudah tentu masuk dalam kategori ini. Adapun bagi orang Mukmin, hal itu menambah pengetahuannya dan tampak bagi dia sesuatu yang menakutkan. Menurut asy-Syaukani, ini merupakan pendapat mayoritas ulama tafsir.
Lalu ditegaskan:
Lalu Kami singkapkan dari dirimu penutup (yang menutupi) matamu. Dengan itu penglihatanmu pada hari itu amat tajam.
Menurut Fakhruddin ar-Razi, al-ghaflah (kelalaian) merupakan sesuatu yang menjadi al-ghithâ‘ (penutup) seperti halnya pakaian, bahkan lebih dari itu. Sebabnya, bagi asy-syâkk (orang yang ragu) itu perkaranya rancu atau samar. Adapun bagi al-ghâfil (orang yang lalai) seluruh perkaranya tertutup. Itulah al-ghulf (tutup).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah SWT akan membuka ghithâ‘ (tabir/penutup) itu. Dengan demikian, ayat ini bermakna, “Kami melenyapkan kelalaian dari dirimu sehingga pandangan hatimu menjadi tajam, padahal sebelumya tumpul.”
Menurut asy-Syaukani, yang dibuka itu adalah ghithâ‘ (penutup) sewaktu di dunia. Artinya, “Kami mengangkat hijab yang menutupi antara kamu dan akhirat; Kami mengangkat kelalaian yang ada pada dirimu terhadap akhirat.
Ibnu Jarir al-Thabari juga berkata, “Kami lalu menampakkan hal itu kepada kamu dan menjadikan terang kedua matamu hingga kamu melihat dan matamu menyaksikannya, lalu kelalaian itu pun lenyap.”
Lalu ditegaskan:
Dengan itu penglihatanmu pada hari itu amat tajam.
Menurut asy-Syaukani, makna « حَدِيدٌ » adalah « نَافِذٌ » (menembus). Artinya, kamu dapat melihat hal-hal yang tersembunyi bagi dirimu sewaktu di dunia.
Menurut Ibnu Katsir, kata « حَدِيدٌ » bermakna « قويّ » (kuat). Itu karena tiap-tiap orang pada Hari Kiamat mempunyai penglihatan yang tajam. Bahkan orang-orang kafir ketika di dunia pun, pada Hari Kiamat nanti, berada di jalan yang lurus. Namun, hal itu tidak lagi bermanfaat bagi diri mereka sedikit pun. Dalam ayat lain disebutkan:
Alangkah terangnya pendengaran mereka dan alangkah tajamnya penglihatan mereka pada hari mereka datang kepada Kami (QS Maryam [19]: 38).
Allah SWT juga berfirman:
(Alangkah ngerinya) jika kamu melihat ketika para pendosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya. (Mereka berkata), «Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar. Karena itu kembalikanlah kami (ke dunia). Kami akan mengerjakan amal shalih. Sungguh kami adalah orang-orang yang yakin.” (QS as-Sajdah [32]: 12).
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Hari ini kamu memiliki pandangan yang tajam dan pengetahuan tentang hal-hal yang kamu lalaikan di dunia.”
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [KH. Rokhmat S. Labib]