
Peran Negara Dalam Menjaga Ketakwaan Rakyatnya
Syaikh al-‘Âlim al-Jalîl ‘Atha Abu Rasytah menyatakan:
Takwa adalah takut dan taat kepada Allah serta menyiapkan diri untuk pertemuan dengan-Nya.
Definisi ini serupa dengan definisi yang dirumuskan oleh sebagian Sahabat Nabi saw. yang menyatakan bahwa takwa adalah:
Takut kepada Allah Yang Mahaagung, mengamalkan al-Quran dan menyiapkan diri untuk menghadapi Hari Akhirat (At-Taysîr fî Ushûli at-Tafsîr, hlm. 213).
Setidaknya ada tiga pilar takwa: takut dan taat kepada serta kesiapan menghadapi Hari Akhirat. Takut hanya kepada Allah. Rasa takut di dalam hati yang merasa selalu dipantau oleh Allah (murâqabatulLâh). Rasa takut inilah yang menjadikan seseorang senantiasa taat kepada Allah dan terikat dengan syariah-Nya, baik saat dalam keramaian atau saat sendirian. Rasa takut ini melahirkan sikap hati-hati dan sikap wara’ dengan menjauhi yang syubhat apalagi yang haram. Rasa takut kepada Allah ini pun melahirkan keberanian untuk menentang sistem dan penguasa zalim. Demikian sebagaimana para ahli hikmah menyatakan:
Jika seorang hamba takut kepada Allah, Allah akan membuat takut kepada dirinya segala sesuatu. Sebaliknya, jika seorang hamba tidak takut kepada Allah, Allah akan membuat dia takut pada segala sesuatu (Syaikh Abdurrahman al-Jurdani dalam Al-Jawâhir al-Lu’lu’iyyah Syarh Arba’în an-Nawawiyyah).
Rasa takut semacam ini lahir dari makrifat kepada Allah dan makrifat pada kehidupan akhirat. Orang yang memiliki rasa takut semacam ini menyadari dengan sebenar-benar kesadaran bahwa kehidupan akhirat adalah kehidupan yang begitu indah dan kekal yang Allah sediakan bagi orang yang beruntung dan kehinaan yang tak terperi bagi orang yang merugi. Hal ini menjadikan seorang yang muttaqin akan menyiapkan bekal terbaik untuk pertemuan dengan Allah SWT.
Reduksi Makna Takwa
Takwa yang dipaparkan di atas adalah takwa totalitas. Takwa yang menjadikan syariah sebagai pedoman hidup. Takwa yang menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan. Takwa yang menjadikan ibadah, sosial, ekonomi, pendidikan, sistem hukum, hingga politiknya berpedoman pada syariah Islam.
Namun, nyatanya hari ini makna takwa mengalami reduksi. Takwa hanya dipahami sebagai ibadah mahdhah (ibadah khusus, interaksi hamba dengan Al-Khâliq saja). Takwa tak boleh hadir dalam kancah kehidupan. Takwa tak hadir dalam tata kelola laut sebagai milik umat. Jadilah laut dipagari untuk oligarki. Takwa tak hadir dalam pengaturan anggaran pemasukan dan belanja negara. Jadilah pemalakan terjadi dengan nama pajak yang dianggap sah karena dilandasi undang-undang. Takwa hanya menjadi hiasan dalam tujuan sistem pendidikan. Takwa hanya menjadi kata yang mudah diucapkan dalam sumpah jabatan dan ikrar siswa tanpa pemaknaan yang benar dan minus implementasi. Itulah takwa versi sekularisme.
Peran Negara Mewujudkan Takwa Paripurna
Sekularisme telah memisahkan urusan agama dengan kehidupan. Dampaknya adalah pemisahan agama dengan negara. Takwa hanya menjadi tanggung jawab individu dan paling banter keluarga. Negara tidak hadir dalam menjaga ketakwaan rakyatnya. Sebagai contoh shalat. Berdasarkan survey dari Moslem Report (2019) ternyata Muslim Indonesia yang mengerjakan shalat lima waktu secara istiqamah hanya 38,9 %. Sisanya (61,1 %) shalatnya belang kambingan bahkan ada yang tidak pernah shalat sama sekali. Artinya, dari 10 Muslim di Indonesia, hanya 4 yang istiqamah shalat lima waktu. Sungguh miris. Semakin miris lagi jika survey ini dilihat dari umur yang melakukan shalat. Semakin muda umurnya semakin menurun persentase yang shalat. (Https://jatimtimes.com/baca/311729/20240509/022000/survei-hanya-38-9-umat-muslim-di-indonesia-yang-tunaikan-salat).
Ini sungguh nyata. Penulis telah melakukan survey ini di beberapa sekolah Tingkat SMP dan SMA di Banjarmasin. Lalu di mana peran negara? Ini baru ibadah mahdhah, yang menjadi rukun Islam. Setiap peringatan Hari Besar Islam para muballigh senantiasa mengingatkan hal ini. Ternyata hasil surveynya seperti ini. Apatah lagi dengan syariah lain yang relatif jarang ditausiyahkan. Belum lagi kita bicara data jumlah Muslim yang murtad setiap tahunnya. Jumlah aliran sesat yang makin tahun bukannya berkurang malah bertambah. Di manakah peran negara?
Ada seorang pejabat daerah yang mengeluarkan himbauan agar warganya melaksanakan shalat lima waktu. Sesungguhnya himbauan ini bukan maqam-nya pejabat negara. Itu maqam-nya pada ulama dan mubaligh. Semestinya maqam negara adalah mewajibkan dan memberi sanksi. Pendapat yang mu’tamad dalam mazhab Syafii menegaskan bahwa orang yang tidak mengerjakan shalat karena meyakini shalat lima waktu tidak wajib maka dihukumi murtad (keluar dari Islam). Ia diminta bertobat. Jika tidak bertobat maka dia dihukum mati, tidak dishalatkan dan tidak boleh dikuburkan di komplek pemakaman Muslim. Namun, jika dia meninggalkan shalat semata-mata karena malas dan tetap meyakini kewajibannya, dia tetap diminta bertobat. Jika tidak bertobat maka dia juga dihukum mati. Hanya saja, dia tetap dianggap Muslim. Dishalatkan dan dikuburkan di komplek pemakaman muslim (Dr. Muhammad Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fî al-Fiqh asy-Syaafi’I, 1/156-158).
Orang yang tidak melaksanakan ibadah puasa pun demikian. Jika dia mengingkari kewajibannya maka dia dianggap murtad dan dihukum mati jika tidak bertobat. Sebabnya, dia mengingkari perkara yang sudah jelas kewajibannya dalam Islam (ma’lûm[un] min ad-dîn bi ad-dharûrah). Imam Ali ra. perah menghukum cambuk 20 kali orang yang sengaja tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Saat itu beliau menyatakan:
Kami memukul kamu 20 kali karena kelancanganmu kepada Allah dan berbuka (tidak puasa) pada bulan Ramadhan (Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Muhalla, 6/184).
Nabi Muhammad saw. selaku kepala negara pernah berkeliling pasar Madinah. Beliau lalu mendapati seorang pedagang mencampur gandum basah dengan gandum kering. Beliau kemudian menghukum dengan pernyataan, “Tidak termasuk golongan kami orang yang suka menipu.” (HR Muslim).
Beliau pun menghukum rajam pezina muhshan. Beliau menegur dengan keras pelaku suap dan penerimanya. Hal tersebut diteruskan oleh para khalifah sesudahnya. Demikianlah peran negara dalam menjaga ketakwaan rakyatnya.
Jika dirincikan maka ada beberapa langkah yang dilakukan oleh negara dalam menjaga ketakwaan rakyatnya. Pertama: Melaksanakan sistem pendidikan yang berdasarkan akidah Islam. Tujuannya bukan sekadar menjadikan peserta didik matang dalam kognitif dan terampil dalam skill, namun untuk menghasilkan peserta didik yang berkepribadian Islam. Untuk mewujudkan hal ini, kurikulum pendidikannya harus Islam; mulai dari mata pelajaran/mata kuliah, materi ajar hingga pengajarnya. Semua lembaga pendidikan dari jenjang TK hingga perguruan tinggi diwajibkan mengikuti kurikulum ini. Dengan demikian diharapkan akan terwujud ketakwaan rakyat yang bersandar pada kesadaran dan keimanan.
Kedua: Menerapkan dan mengontrol penerapan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Penerapan syariah Islam secara praktis adalah pembelajaran yang paling efektif sekaligus pembuktian dalam mewujudkan Islam sebagai rahmat[an] lil ‘âlamîn. Saat sistem peradilan Islam diterapkan, seorang penguasa pun bisa dikalahkan rakyatnya. Imam Ali ra., misalnya, pernah menuntut seorang rakyatnya yang beragama Yahudi yang beliau tuduh telah mencuri baju besi milik beliau. Namun, di Pengadilan, beliau tidak bisa menghadirkan bukti dan saksi yang memadai. Akhirnya, beliau kalah di Pengadilan. Padahal saat itu beliau adalah seorang kepada negara (khalifah). Hal inilah yang kemudian menjadikan sang Yahudi itu masuk Islam. Demikian pula penerapan sistem ekonomi Islam. Sistem ini menjamin keadilan dan pemerataan ekonomi sehingga tak selayaknya ada orang yang mencuri atau mengkorupsi harta negara. Juga penerapan sistem sosial yang sesuai syariah Islam, di antaranya kewajiban menutup aurat dan larangan ber-khalwat, dapat mencegah tindak asusila seperti pelecehan seksual. Demikian seterusnya. Ringkasnya, penerapan Islam secara kâffah akan melahirkan masyarakat yang bertakwa, yang dilandasi keimanan dan ketegasan dalam penerapan aturan.
Ketiga: Menerapkan sistem pembuktian dan sistem sanksi yang sesuai dengan syariah Islam. Sistem sanksi Islam adalah sistem yang paling adil karena datang dari Allah Yang Mahaadil. Sanksi dalam Islam akan memberikan efek jera bagi pelaku dan efek pencegahan. Bayangkan, seorang calon pembunuh tentu berpikir seribu atau bahkan jutaan kali saat ia ingat bahwa ia akan dihukum bunuh (qishâsh) jika ia membunuh. Pencuri akan berpikir ribuan kali untuk mencuri jika konsekuensinya akan kehilangan tangannya. Demikian seterusnya. Ini karena dalam teori hukum ada istilah law is tool of social engineering. Hukum adalah alat untuk menggiring dan mengarahkan perilaku masyarakat. Penerapan hukum Islam akan mengarahkan untuk terwujudnya masyarakat yang islami.
Pandangan Ulama
Paham sekularisme yang memisahkan agama dan negara terbukti gagal mewujudkan dan menjaga ketakwaan rakyatnya. Ketakwaan rakyat hanya akan terwujud dan terjaga dalam sistem Islam. Islam dan negara tidak boleh dipisahkan. Keduanya mesti saling menopang dan menguatkan. Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali rahimahulLâh mengibaratkan Islam dan kekuasaan bagaikan saudara kembar. Beliau menyatakan:
Kekuasaan dan agama bagaikan saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan (negara) adalah penjaganya. Apa pun tanpa pondasi akan runtuh dan apa saja tanpa ada yang penjaganya akan hilang (Al-Ghazali, Ihyaa ‘Ulûm a-Diin, 1/17).
Imam al-Mawardi juga menyatakan bahwa peran negara (Imamah/Khilafah) adalah menjaga agama dan mengurusi urusan dunia. Beliau menyatakan:
Kepemimpinan (Imamah/Khilafah) itu dibangun sebagai pengganti (fungsi) kenabian dalam menjaga agama serta mengurusi urusan duniawi (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).
Imam al-Mawardi dalam karyanya yang terkenal, Adab ad-Dunyâ’ wa ad-Dîn, mengutip pernyataan Abdullah bin al-Mu’tazzi yang menyatakan:
Kekuasaan (negara) yang ditopang oleh agama akan bertahan dan agama yang ditopang oleh kekuasaan (negara) akan kuat (Al-Mawardi, Adab ad-Dunyâ’ wa ad-Dîn, hlm. 164).
Baik-buruknya kondisi rakyat sangat bergantung pada baik-buruknya penguasa. Baik-buruknya penguasa sangat bergantung pada ulama. Hal ini sangat tegas menjelaskan relasi antara ulama (mewakili Islam) dan penguasa serta rakyatnya. Imam al-Ghazali menyatakan:
Kerusakan rakyat itu karena kebobrokan moral para pengelola negara. Kebobrokan moral pengelola negara itu karena kerusakan moral para ulama (‘ulamâ as-sû’). kerusakan moral para ulama itu mereka dikusai oleh kecintaan pada harta dan kedudukan (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, 2/357).
Jelaslah dari berbagai kutipan di atas bahwa agama (Islam) dan negara saling menopang untuk mewujudkan dan menjaga ketakwaan rakyat.
Ramadhan adalah momentum paling tepat untuk mengembalikan dan mewujudkan makna takwa yang sesungguhnya dalam realitas kehidupan.
Semoga pada Ramadhan tahun ini umat makin sadar akan pentingnya penegakan Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah sebagai institusi yang akan mewujudkan dan menjaga ketakwaan rakyat. Âmîn. [Wahyudi Ibnu Yusuf]