
Mabda’ (Ideologi)
Di antara pilar dasar kebangkitan suatu bangsa adalah mabda’ (ideologi ) yang dianut masyarakatnya. Kebangkitan tidak akan diperoleh lewat jalan peningkatan ekonomi semata, bukan pula sekadar lewat ketinggian teknologi.
Pengertian Mabda’(Ideologi)
Ideologi adalah lafal asing, bukan bahasa Arab. Istilah ideologi dicetuskan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836), seorang ahli filsafat Prancis. Menurut dia, ideologi merupakan cabang filsafat yang disebut science de ideas (sains tentang ide). Pada tahun 1796, ia mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pikiran manusia, yang mampu menunjukkan jalan yang benar menuju masa depan.
Dalam perkembangannya, secara istilah ideologi didefinisikan sebagai: kumpulan pemikiran yang didasarkan pada persepsi komprehensif tentang keberadaan (al-wujud), yaitu tentang apa yang ada dan apa yang akan ada, yang muncul dari sekumpulan keyakinan dan nilai-nilai yang terkait dengan warisan budaya tertentu, yang menggambarkan kerangka gerak kolektif tertentu dan menentukan tujuannya.
Dalam bahasa Arab, ideologi diungkapkan dengan istilah mabda’, yang didefinisikan sebagai:
Ideologi: Pemikiran mendasar yang dibangun di atasnya pemikiran-pemikiran lain.
Pemikiran mendasar adalah pemikiran yang sama sekali tidak didahului oleh pemikiran lainnya. Pemikiran mendasar ini hanya ada pada pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan. Inilah yang disebut dengan akidah.
Akidah ini tidak mungkin di bangun di atasnya berbagai pemikiran lain, kecuali jika akidah tersebut berupa pemikiran, yakni sesuatu yang diperoleh melalui proses pemikiran. Karena itulah Al-‘Allâmah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh menyatakan bahwa mabda’ adalah:
Ideologi: Akidah ‘aqliyah (rasional) yang dari akidah itu muncul suatu sistem.
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa ideologi tersusun dari: (1) fikrah, yakni sekumpulan konsep/pemikiran yang terdiri dari akidah dan solusi atas masalah manusia; (2) tharîqah, yakni metodologi yang menjelaskan bagaimana agar fikrah tersebut diterapkan secara praktis; yang terdiri dari penjelasan cara solusi masalah, cara penyebarluasan ideologi, dan cara pemeliharaan akidah.
Adanya tharîqah adalah suatu keharusan agar fikrah dapat terwujud. Fikrah dan tharîqah suatu ideologi adalah unik; setiap ada fikrah dalam sebuah ideologi, pasti ada tharîqah yang khas untuk menerapkan fikrah tersebut, yang berasal dari ideologi itu sendiri, bukan dari ideologi yang lain.
Mabda’ (Ideologi) Islam
Islam adalah mabda’ (ideologi) yang bersumber dari wahyu Allah. Dikatakan sebagai mabda’ karena Islam memenuhi definisi mabda’. Akidahnya adalah akidah rasional (‘aqliyyah) yang memberikan persepsi komprehensif tentang keberadaan (al-wujud). Akidahnya juga memancarkan sistem, yaitu hukum-hukum syariah untuk menyelesaikan permasalahan hidup terkait hubungan manusia dengan Tuhannya, dirinya sendiri dan juga sesamanya.
Rasionalitas akidah Islam bisa dibuktikan dengan tidak adanya kontradiksi pada apa yang diyakini dengan realitasnya. Keyakinan mengenai adanya Allah sebagai Pencipta alam, manusia dan kehidupan, misalnya, sesuai dengan realitas alam, manusia dan kehidupan itu sendiri yang terbatas. Dengan keterbatasannya, masing-masing membutuhkan yang lain. Tentu yang dibutuhkan adalah zat yang tidak terbatas, baik waktu, tempat maupun yang lain. Yang dibutuhkan pasti zat yang azali, yang ada dengan sendirinya (wâjib al-wujûd) dan tidak didahului oleh yang lain. Dia bukan makhluk, bukan pencipta dirinya sendirinya sendiri. Dialah Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa. Tidak melahirkan dan tidak dilahirkan (QS al-Ikhlâs [112]: 1-4; QS al-Hadîd [57]: 3).
Seseorang tidak harus jenius untuk meyakini dan membuktikan kebenaran akidah Islam ini. Imam al-Ashma’i (w. 216 H) pernah bertanya kepada seorang Badwi: “Bagaimana engkau mengetahui keberadaan Allah?” Badui itu menjawab, “Kotoran unta itu menunjukkan keberadaan unta. Kotoran keledai menunjukkan keberadaan keledai. Bekas tapak kaki menunjukkan keberadaan orang yang berjalan. Karena itu langit yang mempunyai gugusan bintang, bumi yang memiliki jalan-jalan yang lebar dan laut yang bergelombang, tidakkah semua itu menunjukkan keberadaan (Allah) Yang Mahalembut lagi Mahatahu?”
Berikutnya, bukti bahwa al-Quran itu datang dari Allah dapat dilihat dari kenyataan bahwa al-Quran adalah sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Dengan realitas ini, hanya ada tiga kemungkinan: (1) Al-Quran merupakan karangan orang Arab; (2) Al-Quran adalah karangan Nabi Muhammad saw.; (3) Al-Quran adalah firman Allah SWT. Tidak ada lagi kemungkinan selain dari yang tiga ini. Sebabnya, al-Quran adalah khas Arab, baik dari segi bahasa maupun gayanya.
Kemungkinan pertama jelas tertolak. Pasalnya, al-Quran telah menantang mereka semua untuk membuat karya yang serupa. Orang-orang Arab telah berusaha keras mencobanya. Akan tetapi, tidak seorang pun berhasil. Ini membuktikan bahwa al-Quran bukan berasal dari perkataan mereka.
Kemungkinan kedua juga batil. Sebabnya, Nabi Muhammad saw. adalah juga orang Arab. Selama seluruh bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa dengan al-Quran, maka Nabi Muhammad saw.—yang juga termasuk salah seorang dari bangsa Arab—pasti tidak akan mampu menghasilkan karya yang serupa dengan al-Quran. Apalagi dengan banyak hadis shahih, bahkan mutawatir, yang berasal dari Nabi Muhammad saw., yang jika dibandingkan dengan ayat-ayat al-Quran manapun, tidak dijumpai ada kemiripan gaya bahasanya. Bagaimanapun kerasnya usaha seseorang untuk menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap saja akan terdapat kemiripan antara gaya yang satu dengan yang lain. Tidak adanya kemiripan antara gaya bahasa al-Quran dengan gaya bahasa hadis menunjukkan bahwa al-Quran bukan perkataan Nabi Muhammad saw.
Oleh karena itu tinggal kemungkinan ketiga yang pasti benarnya, yakni sesungguhnya al-Quran itu adalah firman Allah, kalâmulLâh, yang menjadi mukjizat bagi pembawanya. Karena pembawa al-Quran adalah Nabi Muhammad saw., ini juga sekaligus membuktikan bahwa beliau adalah benar-benar utusan Allah SWT.
Perbandingan Mabda’ (Ideoligi).
Islam bukan hanya agama. Islam juga mabda’ (ideologi). Islam berbeda dengan Kristen, Yahudi, maupun yang lain, atau Kapitalisme dan Sosialisme. Kristen dan Yahudi hanyalah agama. Masing-masing hanya mengajarkan spiritualisme. Masing-masing tidak memiliki konsep dan sistem yang mampu menyelesaikan seluruh permasalahan hidup manusia.
Selain Islam, yang dapat digolongkan ke dalam ideologi adalah Kapitalisme dan Sosialisme. Keduanya bukan agama karena tidak mampu menyelesaikan masalah spiritualitas manusia yang muncul dari naluri beragama mereka.
Dari sisi asas, Islam merupakan mabda’ yang dibangun di atas akidah Islam. Kapitalisme dibangun di atas asas sekularisme (memisahkan urusan agama dengan urusan dunia). Sosialisme-Komunisme mendasarkan diri pada asas materialisme (evolusi materi atau dialektika materialisme) yang menyatakan bahwa materi bersifat kekal sekaligus sebagai sumber segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Terkait sudut pandang terhadap aturan dan negara, mabda’ Islam menetapkan bahwa aturan, baik ide dasarnya maupun metode pelaksanaannya, haruslah berasal dari Allah SWT. Akal manusia hanya berperan dalam memahami aturan-aturan yang telah ditetapkan tersebut, memahami realitas dan menerapkan aturan pada realitas yang sesuai. Dalam Islam, negara adalah institusi yang memiliki kewenangan untuk menerapkan aturan Allah SWT, khususnya aturan dalam ranah publik. Negara dalam Islam bukanlah sebagai wakil tuhan di muka bumi.
Ideologi Kapitalisme memandang bahwa aturan harus muncul dari manusia itu sendiri, bukan dari Tuhan. Namun karena keinginan manusia pasti berbeda satu sama lain, maka muncullah ide demokrasi, yaitu pemerintahan rakyat oleh dan untuk rakyat. Dengan kata lain rakyatlah sebagai pemegang kedaulatan (berhak membuat peraturan) dan sumber kekuasaan. Secara teori, dalam Kapitalisme, negara berkedudukan sebagai pelaksana kehendak rakyat (undang-undang). Namun realitasnya, di negara kampiun demokrasi sekalipun, negara hanya jadi pelaksana kehendak oligarki, sementara kepentingan masyarakat justru terpinggirkan.
Ideologi Sosialisme-Komunisme memandang bahwa semua aturan yang layak digunakan dalam kehidupan manusia haruslah menggambarkan kehendak materi. Artinya, aturan akan mengalami perkembangan atau perubahan seiring dengan perkembangan atau perubahan materi. Inilah yang disebut dengan konsep evolusi materi atau dialektika materialisme. Sebagai contoh, tatkala manusia menggunakan cangkul maka aturan yang berlaku pun kurang lebih menggambarkan cangkul, yakni aturan kelompok buruh. Selanjutnya saat manusia mempergunakan traktor, dan muncul mesin-mesin maka aturan menyesuaikan itu, yakni aturan kelompok pemilik modal.
Dalam ideologi Sosialisme-Komunisme, manusia dianggap sebagai alam/materi itu sendiri sehingga tidak pernah mengalami perkembangan kecuali senantiasa terikat dengan sisi alaminya itu. Ia beredar dengan alam seperti halnya gigi dalam gir. Dengan demikian tidak dikenal dengan adanya kebebasan berakidah dan berekonomi bagi individu di masyarakat. Akidah terikat dengan apa yang diinginkan oleh negara. Demikian pula perekonomian. Negara merupakan hal yang disucikan dalam ideologi Sosialisme-Komunisme.
Hanya Mabda‘ Islam yang Benar
Selain Islam, semua ideologi bersumber dari akal manusia semata. Hanya ideologi Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT. Karena itu hanya Islam yang benar, memuaskan akal dan sesuai fitrah manusia.
Kapitalisme adalah ideologi yang dibangun bukan melalui pertimbangan rasional, melainkan melalui jalan tengah/kompromi; antara tokoh gereja dan filosof. Sosialisme-Komunisme juga tidaklah dibangun berlandaskan akal, melainkan berlandaskan materi saja. Materi dianggap azali dan tidak memerlukan yang lain selain materi. Kekeliruan konsep ini dijelaskan panjang lebar di dalam Kitab Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah Jilid 1.
Terkait kesesuaian dengan fitrah, hanya Islam yang memberikan pengakuannya terhadap apa yang ada dalam fitrah manusia, berupa kelemahan dan kebutuhan diri manusia pada Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur segalanya. Sebaliknya, Kapitalisme dan Sosialisme-Komunisme tidak mengakui kelemahan manusia. Keduanya menganggap manusia ‘mahatahu’ sehingga menolak aturan Pencipta untuk mengatur diri mereka dalam kehidupan ini.
WalLâhu a’lam. [M. Taufik NT]