Nisa

Menyoal Nasib Perempuan di Hari Perempuan Internasional


International Women Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional yang ditetapkan oleh Barat dan diperingati setiap tanggal 8 Maret adalah untuk menunjukkan betapa pentingnya posisi perempuan. Dilansir dari Internationalwomensday.com, bahwa tema yang diusung pada tahun 2025 ini adalah “Percepat Aksi”. Tema ini berfokus pada percepatan kesetaraan perempuan.

Memang kondisi perempuan di belahan dunia manapun, termasuk di negeri ini, dalam keadaan tidak baik-baik saja bahkan bisa dikatakan terpuruk. Jauh dari sejahtera. Bahkan rasa aman pun hari ini tidak mudah didapatkan baik dari negara maupun keluarga. Berbagai permasalahan yang dialami perempuan makin beragam dan terus meningkat jumlahnya.

Menukil data SIMFONI-PPPA, total laporan kekerasan seksual yang masuk ke KemenPPPA per 1 Januari hingga November 2024 sebanyak 23.782 kasus. Dari total kasus tersebut, sebanyak 20.599 korbannya adalah perempuan. Sebanyak 61,1 persen atau sebanyak 14.540 perempuan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sepanjang 2024 ini (Cnnindonesia.com, 25/10/2024).

Belum lagi kasus perceraian yang terus meningkat jumlahnya. Sepanjang tahun 2024, Badan Peradilan Agama dan Mahkamah Agung mencatat sekitar 463 ribu kasus perceraian di Indonesia. Penyebab perceraian di Indonesia beragam. Di antaranya pertengkaran dan perselisihan, masalah ekonomi, perselingkuhan, KDRT dan sebagainya.

Wajar jika banyak pihak berupaya untuk menghentikan semua kondisi ini. Salah satunya adalah dengan pengarusan kesetaraan gender yang makin massif, termasuk pada momen IWD ini.

 

Apa Sebenarnya yang Terjadi?

Dalam praktik kehidupan hari ini, Islam sebagai telah dipinggirkan dari fungsinya sebagai sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Sebagian besar umat Islam lebih memilih berkiblat pada sistem kehidupan Barat, yakni sistem sekularisme-kapitalisme yang melahirkan liberalisme atau kebebasan.

Kondisi ini membawa pengaruh yang besar terhadap kemunduran umat di berbagai bidang. Umat Islam menjadi seperti buih di laut yang dipermainkan gelombang. Mereka terus mengikuti skenario Barat yang menginginkan umat Islam tidak pernah bangkit kembali. Salah satu serangan Barat untuk melumpuhkan umat adalah serangan terhadap kaum perempuan.

Barat telah menyadari betapa dalam sejarah kejayaannya yang panjang, umat Islam tidak lepas dari peran perempuan. Para perempuan ini menjadi ibu dari generasi emas para pemimpin, pejuang dan ulama ternama. Mereka berjuang di belakang layar. Mereka melahirkan, mendidik dan membentuk kepribadian tokoh-tokoh besar yang tercatat dalam sejarah ditakuti oleh Barat. Di antaranya Thariq bin Ziyyad, Shalahuddin al-Ayyubi, Muhammad al-Fatih dan sebagainya.

Barat menyadari bahwa untuk “membunuh” Islam, mereka terlebih dulu harus membunuh peran para ibu. Untuk itulah Barat telah menyuntikkan salah satu racunnya ke Dunia Islam. Ide feminisme yang lantas diperhalus dengan istilah kesetaraan gender. Tujuannya untuk memastikan para perempuan Muslim menjadi mandul dalam mencetak generasi pejuang kebangkitan Islam.

 

Bukan Berasal dari Islam

Kesetaraan gender sering dianggap sebagai sebuah nilai universal yang harus diperjuangkan oleh semua orang tanpa memandang agama, ras, bangsa maupun apapun. Padahal jelas, kesetaraan gender bukan ide universal. Ide ini memiliki akar di dalam sejarah Barat dan pengalaman para feminis Barat. Ide ini lahir karena adanya diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan di berbagai belahan dunia pada masa lampau, termasuk di negara-negara Barat.

Fakta diskriminasi di masyarakat Barat itulah yang kemudian menyebabkan perempuan Barat menuntut keadilan dan kesetaraan perempuan. Mereka mencari kebebasan dan kemandirian. Bebas dari dominasi laki-laki. Mandiri dalam menentukan sikap dan mengelola hak milik mereka baik kekayaan maupun diri (tubuh) mereka sendiri. Bebas dari berbagai tugas domestik termasuk pengurusan, pengasuhan dan pendidikan anak. Mereka menganggap bahwa tugas domestik adalah tugas yang tak penting dan merendahkan perempuan.

Ide kesetaraan gender ini lahir sejak abad 18 seiring dengan kemunculan kapitalisme. Akan tetapi, gerakannya baru muncul pada awal abad ke 20. Salah satu yang menonjol adalah Women’s Lib yang berpusat di Amerika. Orientasi gerakannya bersifat sosial politik. Perjuangannya dilakukan melalui parlemen, turun ke jalan (demonstrasi), juga aksi pemboikotan. Pada tahap awal isu yang diangkat adalah persamaan hak untuk memilih. Ini karena pada saat itu kaum perempuan disamakan dengan anak-anak yang tidak boleh mengikuti Pemilu.

Inilah sebenarnya latar belakang kemunculan ide dan gerakan feminisme di Eropa dan Amerika. Meskipun kemudian lahir dalam berbagai ragam dan bentuk, sesungguhnya intinya adalah pemberontakan terhadap tatanan masyarakat yang mereka anggap bersifat patriarkis. Termasuk terhadap ide-ide teologis (agama) dan institusi sosial-kultural yang sering dituduh sebagai pangkal dari ketidakadilan sistemik perempuan.

Pada saat masyarakat dunia memandang rendah perempuan, Islam datang di belahan dunia Arab justru untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Islam datang membawa perubahan pada nasib perempuan. Islam menyatakan bahwa kemuliaan adalah milik laki-laki dan perempuan (Lihat: QS al-Hujurat [49]: 49).

Dengan demikian jelaslah bahwa kesetaraan gender tidak lahir dari masyarakat Islam. Ajaran Islam yang luhur telah menempatkan posisi perempuan sebagai pencetak generasi manusia dan mitra sejajar laki-laki dalam membangun peradaban. Jauh sebelum para perempuan Barat menuntut keadilan, para Muslimah telah memperoleh hak-hak mereka. Kesetaraan gender juga jelas bertentangan dengan Islam. Beralihnya kepemimpinan laki-laki ke perempuan di dalam rumah tangga, hapusnya kewajiban mencari nafkah dari pundak suami, hapusnya ketaatan pada suami, hapusnya hukum nusyuz karena dianggap sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan, jelas bertentangan dengan hukum Allah (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 34).

 

Solusi yang Gagal

Apakah kesetaraan gender menghantarkan perempuan pada segala hal yang dijanjikan, seperti kesejahteraan? Bagaimana dengan keamanan? Juga keadilan? Ternyata tidak. Kesetaraan gender tidak memberikan solusi apapun. Ia hanya menambah panjang daftar persoalan perempuan. Ketika perempuan didorong untuk bekerja, ini justru membebani perempuan dengan sesuatu yang seharusnya bukan menjadi tugasnya. Ketika perempuan didorong untuk mandiri, tidak membutuhkan siapapun bahkan suaminya sekalipun, ternyata ini melawan fitrah. Perempuan ingin dilindungi, ingin dijaga dan ingin bergantung kepada laki-laki. Apakah kesetaraan gender dan kebebasan perempuan membawa kebahagiaan? Sama sekali tidak.

Kesetaraan gender bukanlah cara untuk menghilangkan penindasan atas perempuan atau menegakkan kehormatan bagi perempuan. Ide ini tidak menyelesaikan masalah perempuan. Ketika perempuan mandiri, justru lebih rentan dari sisi perlindungan. Lihatlah betapa banyak tenaga kerja wanita baik di Indonesia maupun negeri-negeri Muslim lainnya yang pergi ke luar negeri tanpa disertai suami atau keluarga/mahram lainnya. Banyak di antara mereka yang diperkosa, dianiaya, terancam hukuman mati, dan tak sedikit yang akhirnya meregang nyawa, pulang hanya tinggal nama.

Bagaimana halnya dengan yang bekerja di tanah air? Mereka mengalami nasib yang tak jauh berbeda. Mereka harus berjibaku dari pagi hingga petang bahkan malam atau dari malam hingga pagi lagi. Semua itu demi sebuah kemandirian dan kebebasan atas nama kesetaraan gender. Apa yang kemudian didapatkan? Terkurasnya tenaga. Capek yang luar biasa. Sang buah hati di rumah, yang menunggu senyuman dan belaian lembut tangan sang bunda, akhirnya harus menelan ludah kecewa. Sang ibu bahkan tak sempat lagi memberikan senyuman, ataupun sekadar sapaan karena anaknya sudah tertidur kelelahan menunggu bunda tercinta. Pagi-pagi buta sang bunda sudah harus berangkat. Dengan menempuh perjalanan yang kadang masih sepi, siap menawarkan ancaman kehormatan dan keamanan sang bunda. Lalu siapa yang akan melindungi dirinya?

Akankah sistem kapitalisme yang menjadikan perempuan semata sebagai alat penggerak roda perekonomian ini mampu melindungi mereka? Sama sekali tidak. Akankah kebebasan yang diberikan kepada perempuan menaikkan harkat dan martabat mereka? Sama sekali tidak. Lihatlah, dengan dalih kebebasan, betapa banyak perempuan mengobral kehormatan mereka. Betapa banyak aurat perempuan yang harusnya ditutup ternyata dibiarkan terbuka lebar hingga menghinakan mereka?

Kesetaraan gender telah menghantarkan dampak negatif terhadap perempuan, hubungan laki-laki dan perempuan, kehidupan keluarga dan masyarakat. Dampak buruk penerapan ide ini di negeri-negeri Barat seharusnya cukup untuk membuat negeri-negeri Muslim untuk tidak membebek, mengikuti ide yang jelas-jelas tak memberikan sedikit pun kebaikan ini.

Peningkatan kualitas perempuan seharusnya tidak untuk menghancurkan institusi keluarga. Perempuan bekerja seharusnya sebagai bentuk kontribusi perempuan untuk membentuk masyarakat yang berperadaban luhur dan mulia. Bukan demi mencari nafkah diri apalagi keluarganya. Perempuan berpendidikan seharusnya demi meningkatkan kualitas anak dan keluarga, juga masyarakat. Bukan untuk diperas tenaganya demi untuk bisnis dan kepentingan ekonomi lainnya.

 

Saatnya Kembali pada Islam

Antusiasme sebagian masyarakat kaum Muslim terhadap kehadiran ide ini tampak ketika mereka berupaya menghubungkan antara ide kesetaraan gender ini dengan Islam. Bahkan para ‘pemikir’ di antara mereka dengan bangga menyebut diri sebagai feminis Muslim. Padahal ada pertentangan yang sangat jauh antara spirit feminisme dan Islam, antara kesetaraan gender dan Islam, dari sisi manapun.

Di sinilah seharusnya umat Islam waspada terhadap berbagai upaya yang seolah-olah membela perempuan. Padahal semua itu justru menghinakan perempuan karena semakin menjauhkan mereka dari pemahaman Islam yang lurus. Apalagi Peringatan Hari Perempuan Internasional atau WID tahun ini justru diarahkan pada percepatan kesetaraan perempuan.

Sudah saatnya kita sadar bahwa tidak ada satu alasan pun yang membuat kaum Muslim harus ikut-ikutan mengadopsi, mempropagandakan bahkan memperjuangkan ide feminisme yang mengusung ide kesetaraan gender. Islam telah memiliki pandangan yang unik tentang keberadaan laki-laki dan perempuan sekaligus mengenai hubungan keduanya serta bentuk kehidupan masyarakat yang hendak dibangun di atas landasan akidah dan aturan-aturannya.

Pemberdayaan perempuan seharusnya diarahkan bukan pada kemandirian dan kebebasan, melainkan pada upaya mengokohkan ketahanan keluarga Muslim, menguatkan perannya sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt. Dengan itu mereka mampu melahirkan generasi berkualitas prima dan membangun Muslimah berkarakter kuat dalam rangka amar makruf nahi mungkar. Sudah saatnya kita membuang jauh-jauh ide kesetaraan gender, ide cacat dan irasional, yang tidak akan mampu menyelesaikan persoalan perempuan dan tidak akan mampu menghantarkan perempuan pada kemuliaan dan takwa.

Hanya dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam institusi Khilafah perempuan akan mulia, bahagia dan sejahtera.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Ummu Nashir N.S]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

thirteen − twelve =

Back to top button