Hiwar

KH. Rokhmat S. Labib: Wajib Menegakkan Kembali Khilafah


Pengantar:

Puasa Ramadhan adalah salah satu cara untuk mewujudkan takwa secara personal. Orang yang bertakwa dicirikan oleh keterikatannya dengan syariah secara total (kâffah), bukan secara parsial. Karena itu di dalam masyarakat yang individu-individunya bertakwa, segala urusan kehidupan mereka—ibadah, muamalah [ekonomi, politik, sosial, pendidikan, hukum, pemerintahan] maupun ‘uqûbât—sejatinya diatur hanya dengan syariah Islam. Namun, faktanya tidak demikian. Saat ini masyarakat di negeri ini masih jauh dikategorikan sebagai masyarakat yang bertakwa. Padahal penduduk negeri ini mayoritas Muslim.

Pertanyaannya: Mengapa demikian? Apa akar penyebabnya? Mengapa puasa Ramadhan yang dilaksanakan setiap tahun seolah tak memberikan efek di masyarakat? Apa penyebabnya? Bagaimana pula solusinya yang paling mendasar? Di mana pula peran negara dalam menegakkan dan menerapkan syariah secara kâffah dalam mewujudkan masyarakat yang bertakwa? Betulkah syariah secara kâffah tak akan tegak tanpa Khilafah?

Itulah di antara pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada KH Rochmat S Labib dalam wawancara dengan Redaksi kali ini. Berikut ini wawancara lengkapnya.

 

Kyai, mengapa saat ini banyak Muslim yang berpuasa, namun ketakwaannya tampak parsial dan tidak total?

Banyak faktor. Di antara penyebab utamanya adalah faktor pemahaman. Islam belum dipahami sebagai agama dan ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Karena pemahamannya tentang Islam masih parsial, ketakwaannya juga parsial.

 

Apa penyebab banyak kaum Muslim hanya menonjol dari sisi ritual dan spiritual belaka?

Seperti saya katakan tadi, penyebab utamanya adalah soal pemahaman yang masih parsial tentang Islam. Islam hanya dianggap sebagai agama yang mengajarkan seputar ibadah mahdhah dan berbagai pengaturan kehidupan privat lainnya, seperti akhlak, makanan, pakaian, kehidupan rumah tangga, dan semacamnya. Padahal Islam mengatur semua interaksi yang dilakukan manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya sendiri maupun sesama manusia. Islam mengatur kehidupan pribadi, keluarga dan negara.

 

Jika demikian, apakah hakikat ketakwaan itu menurut Kyai,?

Secara bahasa, kata at-taqwâ berasal dari kata al-wiqâyah yang berarti perlindungan, yakni, menjaga sesuatu dari semua yang membahayakan. Makna tersebut seperti dalam QS ad-Dukhan ayat 56: wa waqâhum ‘adzâba al-jahîm (Dia melindungi mereka dari azab neraka yang menyala-nyala).

Adapun secara istilah, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama. Di antara ta’rîf atau definisi yang banyak digunakan adalah yang disampaikan oleh Thalq bin Habib. Menurut beliau, takwa adalah engkau mengerjakan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah, dengan mengharap rahmat Allah, dan meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah, karena takut akan azab Allah.

Bertolak dari definisi tersebut, ketakwaan paripurna terjadi ketika mengamalkan dan menerapkan Islam secara kâffah atau keseluruhan. Ini karena Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari aqidah, ibadah, makanan, pakaian, akhlak, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hingga negara. Karena itu siapa pun yang ingin ketakwaannya paripurna, harus harus mengamalkan semua ajaran Islam tersebut. Dalam Surat al-Baqarah 208 Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû udkhulû fî as-silmi kâffah (Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total).

Menarik sekali penjelasan Wahbah al-Zuhaili tentang ayat tersebut. Dalam Tafsirnya, Al-Munîr, beliau berkata, “Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, terimalah Islam secara utuh, dan jangan mencampurkan Islam dengan selainnya. Lakukanlah semua yang diperintahkan oleh Islam, dalam perkara ushûl wa furû’ (pokok dan cabang), serta hukum-hukumnya, tanpa memilah-milah atau memilih sebagian saja. Jangan seperti orang yang mengerjakan shalat dan puasa, tetapi meninggalkan zakat dan hudûd (hukum-hukum pidana), atau masih mengonsumsi khamr, mengambil riba, melakukan zina, dan perbuatan seperti yang kita saksikan sekarang ini.”

Oleh karena itu, rajin dalam ibadah, namun tidak mau terikat dengan hukum syariah yang mengatur politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain-lain, jelas bukan takwa yang paripurna.

 

Bagaimana cara agar saat Ramadhan, bulan takwa, umat Islam menempa diri bukan hanya pada aspek ritual saja, namun juga menyadari sepenuhnya bahwa hukum Allah wajib ditegakkan secara total?

Langkah penting harus dilakukan adalah memberikan pemahaman yang benar dan komprehensif tentang Islam. Di antara yang dapat ditempuh adalah menunjukkan ayat-ayat al-Quran dan Hadis Nabi saw. yang menjelaskan tentang keseluruhan ajaran Islam. Selain ayat-ayat dan hadis-hadis yang membicarakan shalat, zakat, puasa, haji, zikir dan berbagai ibadah lainnya; ditunjukkan juga ayat-ayat dan hadis-hadis yang menjelaskan tentang kepemimpinan, politik, ekonomi, jihad, rampasan perang, perdamaian, hukuman bagi pelaku kejahatan, seperti membunuh, mencuri, berzina, dan lain-lain. Agar lebih mantap, ditunjukkan juga berbagai kitab tafsir, syarah hadis, fiqih, dan penjelasan para ulama mu’tabar tentang semua itu.

Diterangkan juga Islam yang dipraktikkan Nabi saw. mulai dari Makkah hingga di Madinah. Ketika di Madinah beliau bukan hanya sebagai nabi dan rasul yang tugasnya menyampaikan risalah, tetapi juga sebagai kepala negara yang memiliki otoritas menerapkan hukum dalam kehidupan. Beliau mengangkat para Sahabatnya dalam struktur negara seperti wazîr, gubernur, qâdhi, panglima perang, duta negara, dan lain-lain. Ketika ditinggalkan oleh beliau, kekuasaan Islam meliputi seluruh Jazirah Arab.

Kekuasaan Islam itu dilanjutkan Al-Khulafâ‘ ar-Râsyidûn. Kekuasaannya makin membentang luas hingga mencakup Mesir, Syam, Irak, Persian dan Asian Tengah.

Tak berhenti pada mereka. Islam yang diterapkan dalam sistem kehidupan itu terus dilanjutkan oleh para khilafah berikutnya hingga Khilafah Utsmaniyah, yang diruntuhkan pada tahun 1924.

Nah, Ramadhan yang di dalamnya ada kewajiban puasa, dan di antara hikmahnya adalah membuat pelakunya menjadi orang yang bertakwa, merupakan momentum yang sangat tepat untuk mengingatkan itu semua; bahwa ketakwaan yang paripurna menuntut penerapan Islam secara kâffah.

 

Bagaimana penjelasan firman Allah tentang puasa dalam al-Quran yang menegaskan dengan kata “kutiba”?

Nah, ayat-ayat yang menyebutkan kata tersebut bisa dijadikan contoh. Dalam al-Quran, terdapat beberapa ayat yang menyebut: kutiba ‘alaykum. Hanya saja, kata yang menjadi nâib al-fâ’il berbeda. Dalam QS al-Baqarah ayat 183 disebutkan ash-shiyâm (puasa); dalam ayat 178, disebutkan al-qishâsh; dan dalam ayat 216 dinyatakan al-qitâl (perang). Menurut Al-Farra’ dalam kitab Rawâi` al-Bayân fî Tafsîr Âyâtal-Ahkâm, semua frasa “kutiba ‘alaykum” bermakna “furidha ‘alaykum” (difadhukan atau diwajibkan atas kalian).

Jika kita tidak berani meninggalkan puasa, semestinya juga tidak berani meninggalkan perang di jalan Allah dan hukum qishâsh. Semuanya wajib, yang berakibat dosa ketika ditinggalkan.

Kesadaran inilah yang harus dimunculkan pada kaum Muslim. Mereka berdosa ketika tidak menerapkan syariah dalam kehidupan.

 

Bagaimana cara agar pada Ramadhan kali ini, umat Islam menyadari bahwa problem carut-marut kehidupan saat ini adalah karena syariah Islam tidak diterapkan?

Banyak. Bisa ditunjukkan kepada umat tentang berbagai kerusakan dalam kehidupan sekarang yang tidak bisa di atas oleh sistem Sekularisme-Kapitalisme. Bahkan semua problem tersebut adalah hasil dari penerapan sistem bobrok tersebut. Problem kemiskinan, kezaliman para penguasa, maraknya kriminalitas, carut-marutnya pendidikan, kerusakan moral dan sosial, dan berbagai persoalan lainnya dengan mudah dilihat oleh mata. Semua problem tersebut tidak akan selesai selama sistem tersebut yang diterapkan.

Secara keyakinan juga harus dijelaskan bahwa semua kerusakan itu terjadi akibat umat meninggalkan Islam. Dalam QS Thaha ayat 124 dinyatakan: Wa man a’radha ‘an dzikrî fa inna lahû ma’îsyat[an] dhanka (Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia kehidupan yang sempit). Ayat tersebut memberikan ancaman kepada siapa saja yang berpaling dari Islam, al-Quran, syariah dan petunjuk Allah SWT; niscaya akan mendapatkan penghidupan yang sempit dan susah. Demikian penjelasan para ulama tafsir, seperti asy-Syaukani, al-Biqa’i, dan lain-lain.

 

Bisakah syariah Islam menjadi solusi atas problematika kontemporer yang saat ini menimpa seluruh aspek kehidupan?

Ya. Pasti bisa. Hukum-hukum Islam itu merupakan solusi bagi problematika dalam kehidupan. Dalam hubungan manusia dengan Penciptanya, Islam menetapkan hukum-hukum tentang ibadah seperti shalat, zakat, dan lain-lain. Untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya, Islam menetapkan hukum seputar makanan dan minuman. Islam juga menetapkan hukum pernikahan untuk mengatur kehidupan keluarga dan keturunan. Dalam masalah kepemilikan dan pengaturan harta, Islam menggariskan sistem ekonomi. Dalam hal kekuasaan dan pengaturan pemerintahan, Islam menetapkan Khilafah sebagai sistem pemerintahan yang wajib diterapkan.

Semua itulah yang benar karena berasal dari Tuhan Yang Mahabenar, juga pasti mendatangkan keridhaan Allah SWT serta melahirkan hasanah atau kebaikan di dunia dan akhirat.

 

Bisakah penerapan syariah Islam tanpa adanya institusi politik (Khilafah)?

Jika yang dimaksudkan adalah menerapkan Islam secara kâffah atau total, tidak mungkin. Yang paling jelas, bagaimana menerapkan hukum-hukum hudûd dan jinâyât sebagaimana diterangkan dalam al-Quran dan as-Sunnah tanpa Khilafah? Bagaimana menjalankan perintah jihad futûhât yang bertujuan untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia tanpa Khilafah? Tanpa Khilafah juga tak terbayangkan hukum kepemilikan umum, Baitul Mal, ketentuan tentang uang, dan berbagai hukum bisa dijalankan. Apalagi hukum Islam dalam hal pemerintahan dan negara, seperti tentang kedaulatan di tangan syariah, kekuasaan di tangan umat, dan lain-lain.

Juga jangan dilupakan, satu-satunya sistem pemerintahan yang disyariatkan Islam adalah Khilafah. Karena itu mengangkat khalifah, sebagaimana diterangkan para ulama, hukumnya adalah fardhu kifayah. Jadi seandainya, sekali lagi ini hanya perandaian, seluruh hukum Islam diterapkan, minus Khilafah, berarti belum total, karena ada sebagian hukum yang belum diterapkan.

 

Apakah masih relevan Khilafah dalam konteks kekinian?

Patut ditegaskan, Khilafah merupakan bagian dari syariah Islam. Masak ada hukum Islam yang berasal dari Allah SWT tidak relevan diterapkan pada zaman dan tempat tertentu? Siapa pun yang berani mengatakan Khilafah tidak relevan pada saat ini, sama halnya dengan meragukan, bahkan mengingkari, Allah Yang Mahatahu dan Mahaadil.

WalLâhu a’lam. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

11 + 16 =

Back to top button