Iqtishadiyah

Mencegah Pemodal Mengintervensi Negara

Dalam sistem Kapitalisme, korporasi, terutama yang dimiliki oleh investor swasta, memiliki kekuatan yang sangat signifikan dalam mempengaruhi kebijakan Pemerintah. Para pemilik modal menerapkan berbagai strategi untuk mendapatkan keringanan pajak, subsidi, regulasi yang menguntungkan mereka dan bantuan Pemerintah lainnya yang diperlukan untuk memenuhi kepentingan mereka. Hubungan yang erat dengan elit politik, misalnya, memudahkan mereka mendapatkan kredit berbunga rendah dari bank-bank Pemerintah, kemudahan perizinan, serta berbagai keistimewaan ekonomi lainnya.1

Berikut ini adalah beberapa strategi yang digunakan korporasi swasta untuk mempengaruhi berbagai kebijakan publik agar sejalan dengan kepentingan mereka.

 

  1. Keterlibatan dalam Pemerintahan.

Salah satu cara bagi sejumlah pemodal atau korporasi untuk mendapatkan akses ke Pemerintah adalah melalui pengangkatan mereka di berbagai posisi strategis di kementerian dan lembaga negara. Pengangkatan ini menempatkan mereka pada posisi untuk mendukung—dan sering langsung menerapkan—rekomendasi kebijakan yang diajukan oleh DPR, para penasihat Presiden dan kementerian atau lembaga, serta dengan komite bisnis.2

Pemodal juga dapat menempatkan orang-orang yang dapat mereka kontrol dalam jabatan strategis. Pemodal menempatkan atau mendorong mantan eksekutif korporasi untuk masuk ke pemerintahan atau sebaliknya. Salah satu contohnya adalah beberapa orang dekat seorang pengusaha batubara nasional menjadi menteri dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.3

Di sisi lain, korporasi juga merekrut mantan penjabat untuk mengisi pos-pos strategis di perusahaan mereka. Tujuannya adalah meningkatkan daya tawar mereka di hadapan Pemerintah. Dengan itu diharapkan dia bersedia mendukung bisnis korporasi meskipun kerap merugikan kepentingan rakyat. Di Indonesia, jamak mantan menteri, purnawirawan perwira militer dan kepolisian menjadi komisaris di perusahaan-perusahaan besar. Salah satu contohnya adalah penempatan seorang mantan Danjen Kopassus sebagai komisaris PT Bintang Delapan. Perusahaan tersebut merupakan salah satu pemegang konsesi tambang nikel terbesar di Sulawesi Tengah. Selain itu, perusahaan ini merupakan salah satu pemegang saham di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), kawasan yang menjadi pusat smelter bagi berbagai perusahaan dari Cina.

 

  1. Pengaruh Melalui Kelompok Lobi.

Di berbagai negara, lobi politik diakui sebagai mekanisme yang sah untuk memperoleh pengaruh terhadap pembuat kebijakan. Kelompok lobi dibentuk oleh korporasi untuk mempengaruhi legislasi dan kebijakan. Mereka bekerja melalui asosiasi industri dan pengusaha atau konsultan agar kepentingan bisnisnya diutamakan dalam proses legislasi. Latar belakang mereka, selain dari pengusaha, juga dari mantan pejabat dan pakar.4

Kelompok kepentingan terorganisir tersebut memainkan peran penting dalam proses pembuatan kebijakan ekonomi. Organisasi lobi yang efektif dapat memengaruhi bagaimana kebijakan dirancang, disepakati dan diimplementasikan. Lobi ini juga bertujuan untuk menunda atau menggagalkan undang-undang yang dianggap merugikan mereka. Menurut studi Campos dan Giovannoni, perusahaan yang merupakan anggota kelompok lobi lebih memungkinkan untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak tergabung.5

Penyusunan UU Omnibus Law Cipta Kerja tahun 2021, misalnya, digawangi oleh satuan tugas yang diisi oleh para pengurus Komite Dagang Indonesia (KADIN).

 

  1. Suap dan Gratifikasi kepada Pejabat Publik.

Salah satu cara pemodal mempengaruhi kebijakan agar menguntungkan mereka adalah melalui praktik suap dan gratifikasi kepada pejabat agar mendapatkan keuntungan. Di Indonesia praktik suap atau gratifikasi kepada pejabat publik untuk mempengaruhi keputusan tertentu sangat masif. Sejak 2004-2023, tindak pidana korupsi gratifikasi dan suap merupakan kasus terbanyak yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jumlahnya sebanyak 989 kasus. Kasus-kasus ini melibatkan berbagai profesi seperti kepala daerah, pejabat eselon, anggota parlemen, hakim, dan pengusaha swasta.6

Tujuan pemberian suap dan gratifikasi ini antara lain untuk mempermudah perizinan atau untuk memenangkan tender proyek Pemerintah.

 

  1. Pendanaan Kampanye dan Politik.

Pemilik modal memberikan sumbangan besar kepada kandidat atau partai politik selama kampanye. Harapannya, kebijakan Pemerintah nantinya berpihak pada kepentingan mereka. Kandidat yang terpilih sering merasa berhutang budi. Lalu mereka memberikan akses atau kemudahan bagi pemodal tersebut. Studi Claessens dan rekan-rekannya membuktikan bahwa perusahaan-perusahaan yang memberikan kontribusi politik, seperti dana kampanye atau dukungan lainnya, kepada kandidat atau partai politik tertentu, cenderung mendapatkan akses pembiayaan dari bank yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan lain yang tidak berkontribusi.7

Dengan kata lain, perusahaan yang memiliki hubungan politik (political connections) lebih mudah mendapatkan dukungan dari Pemerintah dibandingkan dengan yang tidak memiliki koneksi.

 

  1. Penguasaan Media Massa.

Para pemimpin korporasi juga menggunakan berbagai cara untuk membatasi independensi Pemerintah. Pemodal yang memiliki atau mendanai media massa bisa mempengaruhi opini publik agar mendukung kebijakan tertentu atau membangun citra positif bagi bisnis mereka. Berita dan informasi tertentu bisa dibatasi atau diputarbalikkan demi melindungi kepentingan pemodal.

Menurut Noam Chomsky, profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT), korporasi berpengaruh besar dalam mengendalikan media untuk mendukung kepentingan mereka. Mereka menggunakan industri public relations dan propaganda untuk merekayasa persetujuan publik melalui kontrol ketat atas informasi yang beredar. Mereka menguasai media untuk menciptakan slogan-slogan kosong, mengalihkan perhatian publik dengan hiburan, dan membangun rasa takut terhadap musuh-musuh imajiner. Dengan begitu publik tetap pasif dan tidak kritis. Dengan demikian, menurut Chomsky, kerjasama erat antara media, elite bisnis dan politik mampu menciptakan “persetujuan publik” atas kebijakan yang sebenarnya merugikan mereka.8

Para pengusaha juga menggunakan strategi yang disebut sebagai astroturfing. Praktik tersebut melibatkan korporasi yang membayar kelompok non-profit atau perusahaan hubungan masyarakat untuk menyebarkan pesan yang telah direkayasa guna menciptakan dukungan palsu dari masyarakat akar rumput terhadap suatu isu atau untuk kepentingan perusahaan itu sendiri.9

Di Indonesia, praktik astroturfing terlihat di media sosial. Perusahaan atau instansi Pemerintah membayar influencer atau akun-akun media sosial untuk mempromosikan suatu kebijakan tertentu dengan cara yang tampak organik.

 

  1. Pengaruh Korporasi Melalui Lembaga Kajian.

Salah satu cara korporasi mempengaruhi regulasi adalah mendanai akademisi dan kelompok-kelompok penelitian, termasuk think-tank atau kelompok diskusi kebijakan. Lembaga kajian dapat memberikan rekomendasi perencanaan kebijakan kepada Pemerintah dengan berbagai cara. Pada tingkat yang paling umum, pejabat terpilih atau anggota staf mereka membaca siaran pers, artikel opini dan laporan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Mereka juga diberi kesempatan untuk memberikan kesaksian di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membuat undang-undang baru atau menyiapkan usulan anggaran.10

Korporasi sering mempengaruhi lembaga riset demi keuntungan industri mereka. Salah satunya melalui pendanaan yang diarahkan untuk mendukung posisi industri. Strategi ini mencakup penyebaran agenda riset melalui konferensi, komite bersama dan kolaborasi dengan institusi terkemuka. Misalnya, industri tembakau mendanai riset yang menyatakan bahwa kecanduan nikotin lebih dipengaruhi oleh faktor genetik, bukan produk rokoknya, untuk mempengaruhi kebijakan publik yang menguntungkan mereka.11

Contoh lainnya adalah pernyataan Rima Alaily, Deputy General Counsel Microsoft, bahwa “Google menggunakan strategi yang sudah terbukti berhasil selama bertahun-tahun dalam menghadapi regulasi anti-monopoli di Eropa dan Amerika Serikat. Mereka memberikan pendanaan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada para akademisi dan pengamat industri untuk menyerang Microsoft dan membuat ‘studi’ yang dapat digunakan untuk mendiskreditkan kompetitor mereka.”12

Di sisi lain, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan Pemerintah yang mencari dukungan intelektual untuk pembuatan kebijakan berbasis bukti meningkat, mereka semakin sering melakukan intervensi dalam penelitian yang mereka pesan atau lelang.13

Dengan intervensi ini, tidak sedikit think-tank yang seharusnya bersikap independen, justru menjadi corong kepentingan penguasa yang dibalut dengan kajian ilmiah.

 

Mencegah Intervensi Pemodal

Sistem Islam memiliki beberapa prinsip yang secara historis efektif untuk mencegah intervensi pemodal dalam hukum dan pemerintahan. Di antaranya:

 

  1. Kehidupan Negara Islam dibangun atas dasar akidah Islam.

Akidah Islam, yang melahirkan berbagai aturan Islam, menjadi dasar bernegara dan bermasyarakat. Ia juga menjadi dasar dalam pembentukan kepribadian di sekolah dan masyarakat. Dengan dasar ini, nuansa spiritual akan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat, baik pada level individu, keluarga, masyarakat maupun bernegara. Roda pemerintahan dan kegiatan bisnis akan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang lahir dari kesadaran individu dan kontrol dari masyarakat dan negara. Penyimpangan dapat dideteksi secara dini dan diselesaikan sesuai dengan hukum-hukum Islam.

 

  1. Sumber hukum yang pasti dan metode istinbaath yang shahih.

Dalam Islam, hukum bersumber dari wahyu, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Parameter legalitas hukum didasarkan pada metode istinbaath (penggalian hukum) yang shahih yang berasal dari sumber tersebut dan dilakukan oleh para mujtahid. Hal tersebut menjamin bahwa hukum tetap netral, tidak dipengaruhi oleh kepentingan individu atau kelompok. Aturan Islam yang lengkap juga menghilangkan kekaburan hukum yang menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari Islam. Sebagai contoh, Islam telah menetapkan pembagian harta secara jelas: harta milik pribadi, harta milik publik dan harta milik negara. Dengan hukum ini, harta milik publik tidak dapat dimiliki atau dikuasai oleh individu atau kelompok tertentu. Aturan ini juga menghindarkan penguasaan sumberdaya publik oleh pemodal swasta dan asing yang dapat menjadi pintu untuk mempengaruhi kebijakan demi keuntungan mereka.

 

  1. Pemilihan pejabat dan pegawai negara yang mengedepankan aspek ketakwaan dan kecakapan.

Pejabat dan pegawai negara merupakan pilar utama yang menjamin pengaturan urusan publik berdasarkan ideologi Islam. Karena itu mereka harus memiliki kepribadian Islam yang kuat serta memiliki sifat takwa baik pada dirinya maupun ketika melayani rakyatnya. Nabi saw. senantiasa menasihati para pejabat yang diangkat untuk bertakwa kepada Allah SWT. “Rasulullah saw., jika mengangkat seseorang sebagai amir (pemimpin) atas suatu pasukan atau sariyyah (pasukan kecil), selalu berpesan khusus kepada dirinya untuk bertakwa kepada Allah dan berbuat baik kepada kaum Muslim yang menyertai dia.” (HR Muslim).

Dengan sifat tersebut, mereka akan patuh terhadap syariah Islam ketika menjalankan tugasnya, termasuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh syara’ seperti korupsi, menerima suap dan hadiah.

 

  1. Sanksi keras terhadap pejabat dan rakyat yang melakukan praktik-praktik yang bertentangan dengan syariah.

Islam melarang keras pejabat publik untuk menerima hadiah, suap, atau melakukan korupsi. Ancaman sanksinya sangat tegas. Rasulullah saw. bersabda, “Pemberi dan penerima suap dilaknat dalam neraka.” (HR at-Tirmidzi).

Penegakan hukum yang ketat terhadap pelaku suap atau korupsi memastikan bahwa para pejabat tetap menjaga integritas mereka dan bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan kepada pemodal.

 

  1. Kewajiban kontrol (muhasabah) oleh rakyat, partai politik, dan institusi negara terhadap pejabat negara.

Islam mendorong setiap Muslim untuk menjalankan amar makruf nahi mungkar, termasuk kepada para pejabat negara. Bahkan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa diganjar dengan pahala seperti syahid jika ia terbunuh. Partai politik juga dibentuk atas dasar Islam dengan tugas utama melakukan muhaasabah kepada penguasa, selain kegiatan politik lainnya, seperti mendidik publik agar terikat pada ideologi Islam. Institusi Negara, seperti Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim, juga berfungsi untuk mengontrol jalannya pemerintahan agar tetap sesuai dengan hukum Islam. Dengan pengawasan ini, intervensi pemodal terhadap Pemerintah termasuk penyusunan berbagai regulasi akan dapat dicegah. Majelis Umat terdiri dari wakil-wakil rakyat yang mengawasi kebijakan Pemerintah. Adapun Mahkamah Mazhalim menangani kezaliman atau pelanggaran yang dilakukan oleh aparat negara, termasuk jika terdapat kebijakan yang tidak sesuai dengan hukum Islam karena dipengaruhi atau diintervensi oleh pihak tertentu.

 

Dengan penerapan prinsip-prinsip di atas, selain berbagai aturan Islam lainnya, sistem Islam dirancang untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, transparan, serta terhindar dari pengaruh pemilik modal. Dengan itu hukum dan kebijakan senantiasa berorientasi pada keadilan dan kemaslahatan umat. Namun demikian, pelaksanaan hal-hal tersebut hanya dapat berlangsung pada sistem pemerintahan yang berlandaskan akidah Islam, yakni Khilafah Islam.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Muis].

 

Catatan kaki:

  1. Leuz, Christian, and Felix Oberholzer-Gee. “Political relationships, global financing, and corporate transparency: Evidence from Indonesia.” Journal of financial economics 81, no. 2 (2006): 411-439.
  2. Domhoff, G. William. Who Rules America?: The Corporate Rich, White Nationalist Republicans, and Inclusionary Democrats in the 2020s. Routledge, 2021.
  3. Majalah Tempo. “Para Bohir di Belakang Pemilihan Menteri Kabinet Prabowo.” Tempo, 20 Oktober 2024.
  4. Domhoff, G. William. Who Rules America?
  5. Campos, Nauro F., and Francesco Giovannoni. “Political institutions, lobbying and corruption.” Journal of Institutional Economics 13, no. 4 (2017): 917-939.
  6. “Mengapa Gratifikasi dan Suap Masih Marak Terjadi?” ACLC KPK. https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20240327-mengapa-gratifikasi-dan-suap-masih-marak-terjadi. Diakses 5 November, 2024.
  7. Claessens, Stijn, Erik Feijen, and Luc Laeven. “Political connections and preferential access to finance: The role of campaign contributions.” Journal of financial economics 88, no. 3 (2008): 554-580.
  8. Chomsky, Noam. Media control: The spectacular achievements of propaganda. Seven Stories Press, 2011.
  9. Scott, Matthew J. “Ripping up the astroturf: regulating deceptive corporate advertising methods.” Iowa L. Rev. 105 (2019): 431.
  10. Domhoff, G. William. Who Rules America?
  11. Fabbri, Alice, Alexandra Lai, Quinn Grundy, and Lisa Anne Bero. “The influence of industry sponsorship on the research agenda: a scoping review.” American journal of public health 108, no. 11 (2018): e9-e16.
  12. Rima Alaily (28 Oktober 2024). Google’s Shadow Campaigns. https://blogs.microsoft.com/on-the-issues/2024/10/28/googles-shadow-campaigns/. Diakses 4 November 2024.
  13. Pautz, Hartwig. “Revisiting the think-tank phenomenon.” Public policy and administration 26, no. 4 (2011): 419-435.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × four =

Back to top button