
Bagaimana Membentuk Pengadilan yang Kredibel?
Soal:
Bagaimana cara Islam membentuk pengadilan dan hakim yang kredibel? Bebas dari suap dan praktik makelar kasus?
Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa hal yang harus dijelaskan. Pertama: Tentang pengadilan (al-Qadhaa’) dan sistemnya di dalam Islam. Dalam pandangan Islam, al-Qadhaa’ (pengadilan) didefinisikan dengan:
الإخْبَارُ عَنْ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَلَى سَبِيْلِ الْإِلْزَامِ
Menyampaikan [keputusan] tentang hukum syariah dalam bentuk yang mengikat (tidak bisa diganggu-gugat dan dibatalkan).1
Definisi ini dikemukakan oleh Ibn Farhun dan diadopsi oleh al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Nizhaam al-Hukmi fî al-Islâm. Berdasarkan definisi ini, di dalam Islam tidak ada pengadilan banding, atau pengadilan tinggi dan rendah. Ini karena semua keputusan bersifat mengikat.
Kedua: Islam tidak mengenal trias politika, sebagaimana yang diajarkan Montesque. Dia membagi kekuasaan menjadi tiga: Legislatif, Eksekutif dan Judikatif. Kekuasaan pengadilan (Judikatif) tidak bisa diawasi dan dikontrol oleh negara. Sebaliknya, di dalam Islam, tiga kekuasaan itu menyatu. Meski dalam ranah pengadilan, seorang hakim harus independen, ia wajib diawasi dan dikontrol oleh Khalifah.
Karena itu sistem pengadilan di dalam Islam ini sangat unik. Ia berbeda sama sekali dengan sistem pengadilan yang ada saat ini.
Ketiga: Syarat Qâdhi di dalam Islam juga khas yaitu: (1) Muslim; (2) Balig; (3) Berakal; (4) Merdeka; (5) Adil; (6) Mampu (baik secara keilmuan, emosional maupun intelektual); dan (7) (ada yang menambahkan) Mempunyai indera yang selamat.2
Keempat: Pihak yang bisa mengangkat Qâdhi, menurut para ulama, adalah: (1) Khalifah kaum Muslim; (2) Pembantu Khalifah (Mu’awin Tafwidh); (3) Wali; (4) Qâdhi al-Qudhaat (Kepala Qadhi).3
Kelima: Para fuqaha’ mengatakan bahwa Khalifah harus memilih dan mengangkat Qâdhi yang kredibel, baik dari segi keilmuan maupun kepribadiannya. Pertanyaannya, bagaimana caranya Khalifah mengetahui kriteria tersebut? Para fuqaha’ itu menyatakan, jika Khalifah mengetahui seseorang yang kredibel untuk jabatan tersebut, maka dia bisa memilih dan mengangkat orang tersebut. Khalifah bisa juga bertanya kepada para ulama yang kredibel tentang siapa kira-kira menurut mereka orang yang layak dipilih dan diangkat menjadi Qâdhi?
Setelah itu Khalifah bisa melakukan fit and proper test. Tentu untuk mengetahui kredibilitasnya, baik yang terkait dengan keilmuan maupun kepribadiannya. Tidak ada larangan sebelum pemilihan dan penetapan seseorang sebagai kandidat Qâdhi, calon Qâdhi tersebut mengajukan lamaran, atau membuat Curikulum Vitae yang lengkap tenyang dirinya.
Keenam: Setelah terpilih menjadi Qâdhi, Qâdhi tersebut tidak boleh berbisnis. Ini penjelasan Imam as-Syafii.4 Meski demikian tetap diperbolehkan untuk melakukan aktivitas yang tidak menyita kesibukannya sebagai Qâdhi. Ini pendapat as-Samnani:
اَلْحَاكِمُ أَجِيْرُ المُسْلِمِيْنَ فَلاَ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَشَاغَلَ بِمَتْجَرٍ يَقْطَعُهُ عَنِ النَّظَرِ فِي أُمُوْرِهِمْ, فَإِنْ نَظَرَ فِي مَتْجَرٍ أَوْ صُنْعَةٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقَطِعَ بِذَلِكَ عَمَّا أُسْنِدَ إِلَيْهِ جَازَ
Seorang hakim (penguasa, termasuk Qâdhi) adalah pegawai kaum Muslim. Jadi tidak semestinya dia menyibukkan diri dengan tempat bisnis, yang membuat dirinya terputus dari mengurusi urusan mereka (kaum Muslim). Jika dia mengurusi tempat bisnis atau pabrik, tetapi tidak membuat dirinya terputus dari apa (tugas-tugas) yang diserahkan kepadanya, maka boleh.5
Namun, pendapat yang dianggap kuat, adalah meninggalkan semua urusan, termasuk bisnis, yang bisa menganggu atau menciderai kredibilitas Qâdhi sebagai Qâdhi meski itu hukum asalnya mubah. Qâdhi juga tidak boleh menerima hadiah (gratifikasi). Hal ini bisa menganggu independensi Qâdhi dalam membuat keputusan. Dalam konteks ini, hadiah tersebut termasuk suap. Hukumnya haram.
Ketujuh: Qâdhi digaji dari Baitul Mal. Namun, sebagian fuqaha’ menyatakan bahwa hukumnya makruh bagi Qâdhi mengambil gajinya dari Baitul Mal, kecuali jika benar-benar membutuhkan. Bahkan mazhab Syafii dan al-Maziri (pengikut mazhab Maliki) menyatakan, kalau Qâdhi sudah kaya, dan tidak lagi membutuhkan gaji tersebut, maka tidak boleh mengambil apapun dari Baitul Mal. Mazhab Hanbali, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qudamah, menyatakan boleh. Hal itu merupakan haknya. Inilah pendapat yang digunakan oleh Jumhur fuqaha’.6
Kedelapan: Ada yang sangat penting untuk menjaga kredibilitas Qâdhi, yaitu akhlak sang Qâdhi itu sendiri. Para ulama menyebutkan, akhlak Qâdhi sebagai berikut:
- Berwibawa (mempunyai haybah);
- Tawadhu’ (rendah hati);
- Jauh dari sifat atau karakter yang bisa menodai kehormatannya sebagai Qâdhi;
- Tidak banyak bergaul atau berinteraksi dengan orang-orang, agar tidak banyak terpengaruh oleh mereka, yang bisa mempengaruhi keputusannya dalam pengadilan;
- Tidak hidup di tengah masyarakat atau komunitas yang tidak layak bagi dirinya;
- Tidak tertawa atau gurau dengan yang lain di forum-forum mereka, atau forumnya sendiri;
- Bahasanya harus santun, tinggi dan beradab; jauh dari kata-kata kasar, jorok, menghina atau merendahkan orang lain, atau sombong.7
Jika semua yang telah dijelaskan di atas ada, ditopang dengan sistem ketatanegaraannya yang dibangun berdasarkan akidah Islam, yakni seluruh sistem yang diterapkan adalah sistem Islam, maka mengembalikan kredibilitas pengadilan dan hakim bukan isapan jempol. Sebaliknya, jika sistem ketatanegaraannya tidak dibangun berdasarkan akidah Islam, dan seluruh sistem yang diterapkan bukan sistem Islam, maka mewujudkan kredibilitas pengadilan dan hakim itu hanyalah ilusi.
Mengapa harus dimulai dari akidah Islam sebagai asasnya? Karena pengadilan itu bisa meringankan hisab Qâdhi di akhirat dan bisa sebaliknya. Taruhannya adalah surga atau neraka. Karena itu Nabi saw. bersabda:
«الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ قَاضِيَانِ فِي النَّارِ وَقَاضٍ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الْحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ لَا يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ قَضَى بِالْحَقِّ فَذَلِكَ فِي الْجَنَّةِ»
Hakim itu ada tiga. Dua di neraka dan satu di surga. Seseorang yang menghukumi secara tidak benar, padahal ia mengetahui mana yang benar, maka ia di neraka. Seorang hakim yang bodoh, lalu menghancurkan hak-hak manusia, maka ia di neraka. Seorang hakim yang menghukumi dengan benar, maka ia masuk surga (HR at-Tirmidzi).
Dengan kesadaran akidah seperti ini, seorang Qâdhi dan semua aparat penegak hukum tidak akan berani bermain api; mempermainkan keputusan, jual-beli kasus, termasuk makelar hukum. Pasalnya, di sana ada hak orang lain yang harus ditunaikan atau kewajiban orang lain yang harus diambil. Orang yang diambil haknya, dengan cara yang batil, bisa dipaksa mengalah di dunia, tetapi tidak di hadapan Allah SWT. Allah adalah Tuhan Yang Mahaadil:
أَلَيۡسَ ٱللَّهُ بِأَحۡكَمِ ٱلۡحَٰكِمِينَ
Bukankah Allah adalah Hakim Yang paling adil (QS at-Tin [95]: 8).
Dengan akidah seperti ini, ditopang dengan penerapan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan, maka masalah mempermainkan keputusan, jual-beli kasus, termasuk makelar dan mafia hukum semuanya bisa diselesaikan.
Inilah satu-satunya cara yang bisa menyelesaikan benang kusut peradilan di negeri ini, juga negeri-negeri kaum Muslim.
WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
- Lihat, Ibn Farhun, Tabshiratu al-Hukkam fî Ushul al-Aqdhiyah wa Manahij al-Ahkam, Juz I/12; Abd al-Karim Zaidan, Nidzam al-Qadha’ fî al-Islam, 12.
- Lihat, Abd al-Karim Zaidan, Nidzam al-Qadha’ fî al-Islam, 23-28.
- Lihat, Abd al-Karim Zaidan, Nidzam al-Qadha’ fî al-Islam, 29-34.
- Lihat, al-Qadhi al-Mawardi, Adab al-Qadhi, Juz I/237-238.
- Lihat, As-Samnani, Raudhatu al-Qudhat, Juz I/658; Abd al-Karim Zaidan, Nidzam al-Qadha’ fî al-Islam, 54.
- Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/37; Abd al-Karim Zaidan, Nidzam al-Qadha’ fî al-Islam, 55.
- Lihat, Abd al-Karim Zaidan, Nidzam al-Qadha’ fî al-Islam, 55.