Bicara Dengan Lantang!
Masihkah percaya partai?” ungkap Bang Edy. “Kalau saya sih kagak,” tambahnya.
Sikap demikian tidak mengherankan. Betapa tidak. Perilaku kalangan partai sangat membuat muak. “Gua mau muntah,” respon Bang Arbi.
Perilaku korupsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wujud dari partai sangat mengerikan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2004 hingga Juli 2023 mencatat sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD. Jumlah ini merupakan terbanyak ketiga setelah 399 kasus korupsi yang dilakukan kalangan swasta dan pejabat eselon I-IV sebanyak 349 kasus.
Pada zaman Orde Baru, DPR dikenal sebagai alat legitimasi kekuasaan belaka. Bahkan muncul lagu karya Iwan Fals yang sangat popular: Wakil rakyat seharusnya merakyat/Jangan tidur waktu sidang soal rakyat/Wakil rakyat bukan paduan suara/Hanya tahu nyanyian lagu setuju. Begitu di antara liriknya.
Realitas saat ini tampaknya tidak jauh berbeda. Sebagai contoh, pengesahan RUU “Omnibus Law” Cipta Kerja. UU itu merupakan gabungan dari 79 UU, terdiri dari 1.203 pasal. UU tersebut dikebut hingga disahkan oleh DPR hanya dalam waktu 167 hari saja. Tiap hari dikaji dan disahkan sebanyak 7-8 pasal. Ruarr biasah! Sudah dapat dibayangkan, kajian macam apa yang mereka lakukan.
“Hal yang paling menyakitkan adalah perilaku DPR yang menghalangi Anies nyalon menjadi gubernur Jakarta,” tukas Hari. Anies Baswedan dielu-elukan sebagai calon gubernur Jakarta. Namun, tidak mungkin dicalonkan hanya oleh satu partai politik saja karena ada syarat ambang batas 20%. Padahal tidak ada satu pun partai yang memenuhi ambang tersebut. Pada 20 Agustus 2024, sepekan sebelum pendaftaran calon dimulai, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon cukup dengan telah memenuhi persyaratan 6,5%-10%. Ini mengubah makna syarat ambang batas sebelumnya.
Namun, keesokan harinya, DPR melakukan rapat untuk menetapkan putusan yang bertentangan dengan putusan MK tersebut. “Jelas, DPR menghalangi rakyat memilih pemimpin yang mereka kehendaki. Bulshit slogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat,” tambah Hari.
“Demokrasi memang kacau. Memilih pemimpin saja ditentukan oleh partai dan oligarki,” ujar seorang jamaah sesaat setelah saya memberikan sebuah kajian di suatu masjid di Bogor.
Realitas itu benar-benar terjadi. “Anies Punya Elektabilitas Tinggi tapi Gagal Ikut Pilkada Jakarta 2024,” tulis Kompas.com (29/8/2024).
Rakyat pun tak dapat berbuat banyak. “Ibaratnya, orang di suruh makan dengan menu yang dipilih orang lain. Dia tidak suka, tapi dipaksa makan,” pungkas Hari lagi.
Masih percaya partai dalam demokrasi? Tak heran, tokoh ulama nasional Habib Rizieq Shihab berkali-kali menyampaikan, “Perlu dikembangkan negara tanpa partai.”
Saya menangkap itu sebagai kejengkelan terhadap perilaku politisi partai.
Masyarakat pun jengkel dengan perilaku pejabat dan anak-anaknya. Tanggal 20 Agustus 2024 jagat media sosial dihebohkan oleh perilaku Kaesang dan istrinya. Putra Presiden Joko Widodo itu dikabarkan naik pesawat jet pribadi saat jalan-jalan ke AS. Biaya sewanya sekitar Rp 3,38 miliar. “Media sosial sudah, media nasional sudah dan media international juga sudah. Apakah skandal jet pribadi anak dan menantu Presiden ini hanya dianggap cerita, atau akan menjadi pembuka kotak pandora?” tulis anggota DPR Fraksi PDIP Masinton Pasaribu.
Turunnya kepercayaan masyarakat ternyata bukan hanya terhadap partai dan pejabat beserta kroninya, melainkan juga terhadap politisi. Dalam survey Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Desember 2023, tingkat kepercayaan pada DPR sebesar 56,2%. Publikasi Ipsos pada 2023 menunjukkan kepercayaan publik terhadap politisi hanya 24%.
Tak sebatas itu. Publik mulai mempertanyakan sikap keberpihakan pihak yang disebut tokoh Islam terhadap Islam dan umatnya. Dunia maya dihebohkan dengan sambutan sebagian yang disebut tokoh Islam terhadap kehadiran Paus ke Indonesia. Nasharudin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal bahkan sampai mencium kening Paus sebagaimana heboh di medsos. “Masa iya azan maghrib di TV nasional ditiadakan dengan alasan menghormati misa yang dipimpin oleh Paus. Misa itu ibadah. Azan juga ibadah. Kok yang dikalahkan malah azan. Sungguh itu sikap intoleran. Tirani minoritas,” Hari emosi.
KH Muhyiddin Junaidi menyatakan, “Dengan alasan menghormati tamu agung, Negara harus berkorban meniadakan siaran azan. Umat Islam selalu diminta bersikap toleran kepada agama lain. Jika menolak, mereka dengan mudah dituduh sebagai kelompok intoleran dan radikal.”
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu menyatakan juga, “Pesan khutbah misanya belum lama ini mendukung LGBT. Hidden agendanya kini terbuka lebar dan publik seharusnya menggunakan akal sehat agar tak tertipu sambutan extra ordinary.”
“Sebagian tokoh Islam overacting, “offside” dalam mensikapi kehadiran Paus Fransiskus,” ujar Bang Appendi. “Beginilah dampak yang diinginkan penguasa terhadap Ormas Keagamaan yang menerima izin tambang. Muhammadiyah mengamini azan maghrib hilang dari TV saat misa Paus Fransiskus,” sahut Bang Edy.
Demokrasi makin menunjukkan watak aslinya. Gambaran tadi merupakan sebagian kecil cerminan ketidakpercayaan masyarakat kepada orang-orang yang saat ini disebut sebagai tokoh Islam.
Semua itu memberikan isyarat makin tebalnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik saat ini, pejabat beserta keluarga dan kroninya, politisi, DPR, bahkan orang-orang yang dilabeli tokoh Islam. Hal itu pun menunjukkan psikologi orang yang disebut tokoh Islam itu berada dalam posisi orang yang kalah. Ibnu Khaldun dalam kitabnya, Muqaddimah ibnu Khaldun, menyampaikan, “Sungguh orang yang kalah selamanya akan gemar meniru (mengekor) orang yang mengalahkan dirinya, baik dalam simbolnya, pakaiannya, agamanya dan semua keadaan dan kebiasaannya.”
Umat pun butuh solusi: orang dan sistem. PR-nya adalah mengapa saat pimpinan Katolik sedunia datang disambut, dihormati bahkan dielu-elukan. Sebaliknya, al-Khilafah Raasyidah ‘alaa Minhaaj an-Nubuwwah sebagai kepemimpinan umat Islam sedunia, sekadar dibicarakan saja dituding macam-macam.
Sungguh, ketidakadilan sedang ditampakkan dengan terang benderang. Yang diperlukan adalah bicara. Ya, bicara tentang kebenaran dengan lantang!
WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]