Opini

Riba Menjerat Masyarakat

Miris. Sejumlah anggota DPRD Subang periode 2024 – 2029 telah mengajukan pinjaman dengan agunan SK pada lembaga perbankan. Rata-rata mereka mengajukan pinjaman sebesar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar dengan mekanisme potong gaji sebesar 50 % setiap bulan.

Bagaimana memikirkan rakyat, sementara mereka memutar otak untuk melunasi hutang kepada bank. Padahal kisaran gaji rata rata anggota DPRD Kabupaten/Kota perbulannya dapat mencapai Rp 36 juta-45 juta. Nominal tersebut sudah termasuk potongan PPh 21 pajak penghasilan sebesar 15%.

Jika dipotong setengahnya praktis hanya Rp 18 juta perbulannya. Padahal kebutuhan dan gaya hidup sebagai anggota Dewan tidak akan mencukupi hanya dengan uang sebesar itu. Apalagi saat semua kebutuhan dan biaya biaya serba mahal.

Jalan yang biasa ditempuh bagi anggota Dewan adalah mengambil proyek-proyek strategis untuk menambah penghasilan mereka,  menjadi calo undang-undang dan korupsi anggaran.

Salah satu cara menaikkan gengsi dan bayar hutang kampanye adalah dengan menggadaikan SK. Kondisi seperti ini merata di hampir semua anggota DPRD dan DPR seluruh Indonesia.

Fenomena ini paling tidak menunjukkan tiga hal. Pertama, biaya politik demokrasi sangat mahal. Hanya orang-orang kaya saja yang bisa mengikutinya. Jika tidak punya uang, mereka akan mencari donatur dan sponsor yang membiayai mereka. Namun, ini tidak gratis. Ada kompensasi ketika sudah duduk di kursi DPRD atau DPR.

Jika tidak punya donatur atau sponsor, mereka akan menjual apa saja yang dia punya untuk bisa ikut kontestasi Pileg, seperti kasus artis Anisa Bahar dan pelawak Dede Sunandar.

Tidak jarang juga para calon  anggota Dewan berutang dan akan dibayar jika lolos. Naifnya, jika gagal banyak di antara mereka gila dan stres.

Dengan pola pembiayaan pencalonan seperti ini mustahil mereka berjuang untuk rakyat. Sebabnya,  dua tahun pertama pastilah mereka berpikir untuk balik modal dan bayar utang. Dua tahun  kedua mulai kampanye untuk pencalonan kedua. Praktis tidak ada waktu memikirkan rakyat.

Kedua, pola pikir sebagian besar anggota Dewan dan masyarakat masih memandang bahwa riba atau bunga bank bukanlah dosa besar. Padahal riba dosanya sama dengan berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Sabda Nabi saw., “Riba itu memiliki tujuh puluh dosa. Yang paling ringan dari dosa riba adalah sama dengan seorang lelaki menikah (berzina) dengan ibunya.” (HR al-Hakim).

Ketiga, Pemerintah malah  memfasilitasi dosa riba bagi rakyatnya. Bahkan riba atau bunga adalah instrumen paling penting dalam kebijakan moneter negara. Riba atau bunga ibarat darah dalam tubuh manusia. Pemerintah menaikkan dan menurunkan suku bunga bank untuk memompa dan mengerem tingkat inflasi negara.

Alhasil, jika paradigma ekonomi negara seperti ini, negaralah pihak yang menjerumuskan rakyatnya dalam dosa yang sangat besar. Dosa riba ini kelak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Allah SWT berfirman (yang artinya): Siapa saja yang kembali mengambil dosa riba maka mereka adalah penduduk neraka. Mereka kekal di dalamnya (QS al-Baqarah [2]: 275).

Wal ‘iyaazhu bilLaah. [Muhammad Ayyubi; (Direktur Mufakkirun Siyasiyyun Community)]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

12 − ten =

Check Also
Close
Back to top button