Catatan Isra Mi’raj
Bulan Rajab, tepatnya 27 Rajab tahun 10 Kenabian atau tahun 1 sebelum Hijrah, Rasulullah saw. diisrakan oleh Allah SWT dari Masjid al-Haram di Makkah ke Masjid al-Aqsha di Palestina. Jaraknya sekitar 1239 km. Lalu beliau dimi’rajkan dari Masjid al-Aqsha ke Sidratul Muntaha. Entah di mana letaknya. WalLaahu a’lam.
Hingga saat ini, menurut pandangan ahli, jarak alam semesta terjauh yang dapat diamati dari bumi sekitar 14,26 gigaparsecs (46.5 miliar tahun cahaya atau 4,40×1028 meter). Sungguh suatu perjalanan yang sangat luar biasa. Hanya ditempuh oleh Rasulullah saw. dengan sebagian malam saja. Ini di antara peristiwa yang menunjukkan betapa Allah itu Mahakuasa. AlLaahu Akbar!
Kaum Muslim sedunia pun selalu memperingati peristiwa Isra Mi’raj tersebut.
Pada bulan Rajab, sebetulnya ada beberapa peristiwa lain yang terjadi. Salah satunya adalah keruntuhan Kekhilafahan Turki Utsmani. Pada tanggal 28 Rajab 1342 H bertepatan dengan 3 Maret 1924, payung kekuasaan umat Islam itu dihancurkan oleh Inggris melalui tangan Mustafa Kemal.
Bersyukur, saya dapat menghadiri salah satu acara Peringatan Isra Mi’raj tahun 2023 ini di Bengkulu. Dalam kesempatan itu, ada pertanyaan yang muncul, “Saya dengar saat tegaknya Kekhilafahan selalu berdarah-darah? Bagaimana kehidupan sosial saat itu?”
Begitu kurang lebih pertanyaan yang muncul. Sebelum menjawab, saya menyampaikan pertanyaan balik kepada para hadirin yang memenuhi gedung saat itu. “Kalau suatu sistem itu rapuh apakah akan bertahan lama ataukah tidak?”
Hadirin serentak menjawab, “Tidak!” Ada satu orang kedengaran nyeletuk, “Pasti sebentarlah.”
“Kalau sistem kehidupan itu selalu perang dan berdarah-darah, tidak ada kemakmuran-nya, mungkinkan ia bertahan hingga 13 abad lamanya? Tegak sekitar 1300 tahun lamanya?” tanya saya lagi.
Para hadirin pun menjawab, “Tidak mungkin.”
Sebagian lagi menjawab, “Sangat tidak mungkin.”
Terdengar ada juga sedikit yang menjawab, “Hampir mustahil. Pasti cepat tumbang.”
Lalu saya menyampaikan bahwa salah satu negara besar, Uni Sovyet, berdiri hanya selama 69 tahun. Setelah itu hancur berkeping-keping. Negara adikuasa Amerika berdiri tahun 1776 M. Umurnya hingga saat ini sekitar 246 tahun, atau 2,5 abad. Sekarang sedang sempoyongan. Tanda-tanda kejatuhannya sudah banyak tampak. Sebaliknya, Kekhilafahan Islam tegak sekitar 1300 tahun atau 13 abad. Saya bertanya lagi, “Mungkinkah suatu kekuasaan berjaya 13 abad kalau isinya hanya perang melulu? Berdarah-darah?”
Hadirin lagi-lagi menjawab, “Tidak mungkin.”
“Pasti penulisan sejarahnya tidak jujur,” kata seorang peserta dari kalangan emak-emak.
Saya menyampaikan saat itu beberapa bukti ilmiah dan pengakuan jujur dari para ilmuwan Barat. “…Growth of regional and trans-regional trade, and of urban manufacturing, produced new level of prosperity across the city landscape.” (Matthew S Gordon, 2005, The Rise of Islam).
Pertumbuhan perdagangan, baik regional maupun transregional, serta manufaktur telah menghasilkan kemakmuran level baru saat itu. Najeebabadi (2001) menyampaikan hasil penelusurannya bahwa pada masa Kekhilafahan Harun al-Rasyid, surplus APBN kala itu sebanyak 900 juta dinar emas. Pada 16 Februari 2023 harga 1 gram emas sebesar Rp 895.170. Satu dinar setara dengan 4,25 gram emas. Dengan hitungan sederhana, surplus APBN saat itu sebesar Rp 3.424 triliun. Jumlah yang luar biasa! APBN Indonesia saja pada tahun 2023 ini kurang lebih Rp 2.463 triliun. Ini bukan kelebihannya atau surplusnya, tetapi APBN-nya. Luar biasa! Dalam buku Islam – A Thousand Years of Faith and Power (2002) karya Jonathan Bloom & Sheila Blair disebutkan, “In the Islamic lands, not only Muslims but also Christians and Jews enjoyed a good life.”
Keduanya menyatakan, kala itu zaman Kekhilafahan Abbasiyah di negeri-negeri Muslim yang memiliki taraf hidup baik itu bukan hanya orang-orang Islam, melainkan juga Kristen dan Yahudi. Belum lagi terkait dengan kemajuan sains dan teknologi. Salah satunya Karen Armstrong (2002) dalam bukunya, Islam – A Short History, menyebutkan, “Muslim scholars made more scientific discoveries during this time than in the whole of previously recorded history.”
Sungguh, suatu pengakuan yang tulus terhadap penemuan-penemuan baru dalam dunia pengetahuan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim pada masa Kekhilafahan Islam. Bahkan Gaston Wiet (1971) dalam buku Baghdad: Metropolis of the Abbasid Caliphate menekankan: mestinya orang-orang Barat berterima kasih dan mengapresiasi para ilmuwan periode Kekhilafahan Abbasiyah. Dia menyatakan, “People of the west should publicly express their gratitude to the scholars of the Abbasid period, who were known and appreciated in Europe during the Middle Ages.”
Itulah sebagian kecil realitas yang dituliskan sendiri oleh para ilmuwan Barat. Jadi, orang yang menyatakan sejarah Kekhilafahan Islam itu dipenuhi darah dan jauh dari kemajuan adalah kurang literasi.
Penolakan baru-baru ini terhadap sistem pemerintahan warisan Rasulullah saw. ini dengan alasan mendatangkan mudharat seperti yang dilakukan oleh ISIS hanyalah mengada-ada. Pertama: ISIS bukanlah representasi dari Kekhilafahan Islamiyah. Pada tahun 2016, Donald Trump pernah menuduh Barack Obama dan Hillary Clinton yang mendirikan organisasi tersebut (https://internasional.kompas.com/read/2016/08/11/15165611/donald.trump.sebut.presiden. obama.dan.hillary.clinton.adalah.pendiri.isis).
Kedua: Secara syar’i jelas dalilnya. Hal ini bertebaran dalam kitab-kitab para ulama. Menarik pernyataan Profesor Suteki terkait hal ini. Beliau menyatakan, “Saya jelas menyayangkan penolakan sistem Kekhilafahan oleh NU. Bagaimana pun sistem pemerintahan Islam diakui oleh semua mazhab Islam, baik di dalam kitab-kitab klasik maupun kitab-kitab modern. Seharusnya NU, sebagai ormas besar tidak alergi, tidak ikut-ikutan alergi maksudnya begitu, dengan sistem Kekhilafahan yang terbukti pernah ada. Kita pernah mengalami masa kejayaan (sepanjang era Kekhilafahan, red.), bukan hanya seratus tahunan, tetapi telah mencapai ribuan tahun. Perlu diingat, tegaknya Khilafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah kan sebenarnya sudah merupakan janji atau pernyataan Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadis yang shahih…”
WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]