Dunia Terbalik
Dunia Terbalik. Itu bukan judul sinetron belaka, namun realitas yang dapat kita saksikan sehari-hari. Suatu waktu Kapolres Dharmasraya, Sumatera Barat, diwawancarai sebuah TV swasta. Ketika ditanya oleh penyiar bagaimana bisa disimpulkan pelaku itu jaringan teroris, jawabannya, “Dalam proses kami melumpuhkan kedua pelaku tersebut, pelaku meneriakkan takbir…”
Padahal takbir adalah ucapan Allahu Akbar, suatu kalimat thayibah. Kalimat zikir yang mulia itu pun dituding sebagai ciri teroris. Sungguh memilukan. Kalimat yang selalu diucapkan dalam setiap peralihan gerakan shalat tersebut pun dilabeli sebagai salah satu ciri teroris. Anehnya, kelompok bersenjata di Papua yang melakukan teror bahkan menyandera 1.300 orang hanya disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), bukan teroris. Tidak aneh jika muncul opini bahwa kata teroris hanya dilekatkan pada Muslim. “Kalau agamanya bukan Islam mah tidak akan dinamai teroris sekalipun melakukan teror,” ujar seorang mahasiswa dengan geram kepada saya.
Begitu pula pihak-pihak yang menjual aset negara kepada asing, memberikan pantai untuk dikuasai segelintir orang dengan reklamasi, atau menjadikan aliran kepercayaan sejajar dengan agama. Pelakunya pun menamakan dirinya sebagai Pancasilais, toleran dan perawat kebhinekaan. Sebaliknya, ustadz yang hendak memberikan ceramah pada kaum remaja tentang “Wahyu dan Nafsu” dianggap membahayakan. Tablig akbarnya dihalang-halangi. Ia disuruh menandatangani surat pernyataan. Bila tidak mau, ia dilarang memberikan ceramah atau mengisi tablig akbar.
Dipersekusi. Pihak yang membubarkan pengajian seakan menjadi penjaga kebhinekaan. Salah menjadi benar. Benar dianggap salah. “Yang benar dipenjara. Yang salah tertawa,” kata Rhoma Irama.
Memang, dunia terbalik. “Dulu, tahun 1980-an, saya dibawa ke Koramil tanpa ba bi bu, tanpa ditanya, tanpa tahu kesalahan apa, hanya sekadar saya mengisi pengajian,” ujar Pak Miftah, seorang tokoh yang saya kenal. “Kini, fitnah itu terjadi lagi. Kita perlu bersabar,” tambahnya sambil menerawang.
Saya jadi teringat pada kisah Abu Umayyah asy-Sya’bani. Beliau pernah bertanya kepada Abu Tsa’labah al-Khusyani tentang ayat (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberikan kemadaratan kepada kalian jika kalian telah mendapat petunjuk… (TQS al-Maidah [5]: 105). Abu Tsa’labah berkata, “Demi Allah, engkau bertanya tentang sesuatu yang pernah aku tanyakan kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Kalian harus melakukan amar makruf nahi munkar hingga jika engkau melihat kekejian yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, harta dunia yang diutamakan dan berbagai keanehan pemilik pendapat dalam berpendapat, hendaknya engkau memperhatikan diri sendiri dan tinggalkan kebanyakan orang. Sungguh di belakang kalian terdapat hari-hari saat kesabaran di dalamnya laksana memegang bara api, pahala bagi orang yang beramal di dalamnya seperti pahala lima puluh orang yang beramal seperti amal kalian.” (HR at-Tirmidzi).
Ya, akan ada kondisi yang memerlukan kesabaran luar biasa. Hal senada disebutkan di dalam hadis Nabi Muhammad saw., “Kecelakaan bagi Arab karena keburukan. Telah dekat fitnah-fitnah laksana potongan malam gelap gulita. Seseorang pada pagi hari beriman dan pada sore hari kafir. Suatu kaum menjual agama mereka dengan seonggok dunia. Orang yang pada saat itu memegang agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR Ahmad).
Fitnah akan bertebaran. Banyak orang sulit membedakan antara fitnah dan kebenaran sesulit membedakan warna di malam kelam. Tolok ukur saat itu adalah materi. Uang menjadi penguasa. Yang akan selamat adalah orang yang berpegang teguh pada Islam. Namun, siapa pun yang bersabar dalam berpegang teguh pada Islam laksana orang yang memegang bara api. Ia mungkin kesakitan, panas bahkan dianggap aneh dan dituduh macam-macam. Persis seperti orang yang memegang bara api, tentu akan dianggap aneh.
“Zaman sekarang memang zaman fitnah,” ujar Ustadz Mufti. Presiden Dewan Pusat Syarikat Islam Indonesia (SII) ini lalu menceritakan pengalamannya pada tahun 70-80an. Dakwah saat itu dihalang-halangi. Tuduhan pun macam-macam. “Namun, alhamdulillah, sampai sekarang ini dakwah terus berjalan,” tegasnya penuh semangat.
Hanya satu jalan dalam menghadapi tantangan dan ujian, yakni sabar dan terus berjuang di jalan Allah Zat Yang Mahabesar. Dunia hanyalah tempat lewat. Perhitungan sejati kelak di akhirat. Menarik ungkapan Buya Hamka, “Allahu Akbar yang tertulis dalam dada saudara itulah sekarang yang kami mohon direalisasikan. Allahu Akbar yang di dalamnya terkandung segala macam sila, baik panca, atau sapta, atau ika, atau dasa; Allahu Akbar yang menjadi pertahanan saudara ketika saudara pernah menghadapi bahaya besar! Allahu Akbar yang menjadi pertahanan saudara pada saat maut telah melayang-layang di atas kepala saudara. Allahu Akbar yang kepada-Nya putra saudara yang tercinta saudara serahkan! Allahu Akbar yang dengan dia saudara sambut waktu lahir dari perut ibu.” (H. Abdul Malik Karim Amrullah (2008), Berbeda dalam Mencari Kebenaran dalam Pancasila dan Islam; Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante). []