Nafsiyah

Meneladani Kesabaran Para Pejuang Islam

Palestina berduka. Kaum Muslim Gaza didera derita. Namun, kita mendapati mereka beriman dan bersabar menghadapi rasa duka. Sementara itu, dunia di bawah asuhan jahat Kapitalisme Global mengabaikan mereka. Tidaklah kesabaran itu melXekat pada mereka melainkan karena keimanan yang terpatri dalam dada. Rasulullah saw. bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَه كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْراً لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَه

Sangat menakjubkan urusan orang beriman. Seluruh urusannya baik. Hal itu tak akan terjadi kecuali pada orang beriman. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Itu adalah kebaikan bagi dirinya. Jika ditimpa kesulitan, ia bersabar. Itu pun merupakan kebaikan bagi dirinya (HR Muslim dan ath-Thabarani).

 

Keteguhan kaum Muslim Palestina pun menjadi pembicaraan dunia, bahkan disambut dengan keislaman segolongan manusia. Bagaimana tidak?! Dari mulai anak-anak belia hingga orang dewasa dan tua renta terbiasa membasahi lisannya dengan berzikir mengingat-Nya dan melantunkan ayat-ayat suci al-Quran yang mulia, mengundang keberkahan, memenuhi perintah dalam ayat-Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ  ١٥٣

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Sungguh Allah beserta kaum yang sabar (QS al-Baqarah [2]: 153).

 

Allah SWT mengawali ayat ini dengan seruan kepada kaum Mukmin. Ini karena keimanan pada hakikatnya menjadi landasan atas kesabaran. Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah, saat menafsirkan ayat ini, menjelaskan bahwa kesabaran itu tergambar dalam upaya menyampaikan dan mengamalkan kebenaran, mampu menghadapi cobaan di jalan Allah dan berhasil menjalani itu semua berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Tak ada penyimpangan dan sikap lemah menghadapi itu semua (lihat pula: QS al-Baqarah [2]: 249; QS al-Anfal [8]:  46). Selalu berpegang teguh pada Islam dalam menghadapi dan menyikapi kejahatan musuh merupakan gambaran dari kesabaran. Betapa mulianya golongan ini. Rasulullah saw. bersabda:

وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

Tidaklah seseorang dianugerahi (oleh Allah) sesuatu yang lebih baik dan luas (kebaikannya) daripada kesabaran (HR Muttafaqun alayh).

 

Bagaimana tidak? Kesabaran itu mencakup: (1) Kesabaran dalam menegakkan ketaatan; (2) Kesabaran dalam menahan diri dari keburukan; (3) Kesabaran dalam menghadapi ujian dari Allah.

Dengan demikian kesabaran menuntun pada kebaikan dalam setiap keadaan. Relevan saat Allah menegaskan Diri-Nya membersamai orang yang sabar (InnalLâha maa ash-shâbirîn). Benarlah ungkapan:

لَوْلَا حَوَادِثَ الأَيام لَمْ يُعْرَفْ *

صَبرُ الكِرَامِ وَلَا جَرْعَ اللِّئَامِ


Andai tiada ragam bencana hari-hari, tak akan diketahui kesabaran orang-orang terpuji, tidak pula kegundahan orang-orang yang tercela.

 

Bercermin dari Keteladanan Para Pejuang

Kesabaran umat ini pun telah dicontohkan oleh generasi terbaik umat ini. Allah SWT menggambarkan dalam firman-Nya:

وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيّٖ قَٰتَلَ مَعَهُۥ رِبِّيُّونَ كَثِيرٞ فَمَا وَهَنُواْ لِمَآ أَصَابَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا ٱسۡتَكَانُواْۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ  ١٤٦

Berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut-(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai kaum yang sabar (QS Ali ’Imran [3]: 146).

 

Al-’Allamah asy-Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni dalam Shafwat at-Tafâsîr (hlm. 212) menjelaskan: Artinya, betapa banyak para nabi yang berjihad meninggikan kalimat Allah. Lalu para ulama rabbani dan ahli ibadah yang shalih berjuang membersamai para nabi ini. Kemudian di antara mereka mendapati kematian yang dinantikan (syahid). Namun, tempaan kematian dan luka-luka tidaklah mengendorkan semangat mereka, melemahkan tekad di dada, membuat mereka tunduk dan melemah di hadapan musuh hingga meraih predikat walLâhu yuhibbu ash-shâbirûn (Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang bersabar).

Itu semua tertoreh dalam lembaran sîrah NabiyuLlaah al-Mushthafa Muhammad saw.dan para Sahabat beliau tatkala menghadapi persekusi kaum kafir Quraisyi:

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنٗا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ  ١٧٣

(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepada mereka, Sungguh orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu, takutlah kalian kepada mereka. Ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, Cukuplah Allah (menjadi Penolong) bagi kami dan Dia adalah Sebaik-baik Pelindung.” (QS Ali ‘Imran [3]: 173).

 

Ramadhan bahkan menjadi salah satu momentum terbaik yang mencatat perjuangan agung mereka. Perang besar Badar al-Kubra’ terjadi pada 17 Ramadhan. Peristiwa agung penaklukkan Kota Makkah dari Quraysyi (Fath Makkah) pun terjadi pada  bulan Ramadhan. Tentu karena mereka menyadari bahwa Ramadhan penuh dengan keutamaan dan berjuang di di medan juang di bulan Ramadhan adalah sebaik-baiknya keadaan. Abu Hurairah ra. berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

مَوْقِفُ سَاعةٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ عِنْدَ الحَجَرِ اْلأَسْوَدِ

Kedudukan satu jam di jalan Allah lebih baik daripada menghidupkan Lailatul Qadar di sisi Hajar Aswad (HR Ibn Hibban dan al-Baihaqi).

 

Ketika mereka mendapati kematian di jalan Islam, itu pun kelak menjadi kebaikan bagi seorang Mukmin. Sebabnya, didapati limpahan rahmat-Nya atas golongan yang Allah firmankan:

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ طُوبَىٰ لَهُمۡ وَحُسۡنُ مَآبٖ  ٢٩

Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik (QS ar-Ra’d [13]: 28-29).

 

Kebaikan juga melingkupi kaum Mukmin pada akhir zaman. Mereka tak pernah menjumpai Rasulullah saw., namun mengimani beliau, mendakwahkan dan membela risalah beliau dari berbagai penyimpangan. Dari Abu Said al-Khudri ra. bahwa seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah saw., Wahai Rasulullah saw., apakah thûbâ (kebaikan) bagi orang yang menjumpai dirimu dan beriman kepadamu? Rasulullah saw. bersabda:

طُوبَى لِمَنْ رَآنِي وَآمَنَ بِي وَطُوبَى، ثُمَّ طُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلَمْ يَرَنِي

Kebaikan bagi orang yang menjumpai diriku dan beriman kepadaku, dan kebaikan (bagi dia). Kemudian kebaikan bagi orang yang beriman kepadaku meskipun ia tidak pernah menjumpai diriku (HR Ibn Hibban).

 

Lafal thûbâ yang diulang sebanyak dua kali bagi orang yang tak pernah berjumpa dengan Rasulullah saw., namun mengimani beliau, merupakan penegasan (tawkîd) atas keutamaannya. Syaikh Ahmad al-Maraghi (w. 1371 H) dalam Tafsîr al-Marâghî (XIII/101) berkata, “Yakni mereka yang beriman dan beramal shalih. Bagi mereka kebahagiaan dan penyejuk mata di sisi Rabb mereka dan baiknya tempat pulang dan kembali mereka. Di dalam ayat ini terdapat dorongan untuk menaati ALlah serta peringatan atas bermaksiat dan besarnya siksaan-Nya, apa-apa yang tidak ada kesamaran di dalamnya.”

Ketika ia kembali kepada Allah sebagai jiwa-jiwa yang tenang (an-nafs al-muthmainnah) (lihat: QS al-Fajr [89]: 27-28), maka ia mendapati keridhaan-Nya, dianugerahi jannah-Nya. Ketika itulah seorang Muslim mendapati masa rehat. Ibn Abi Ya’la (w. 526 H) dalam Thabaqât al-Hanâbilal (I/293) menukilkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) yang ditanya seseorang. “Kapan seorang hamba bisa beristirahat, wahai Imam?” Imam Ahmad menjawab:

عِنْدَ أَوَّلِ قَدَمٍ يَضَعُهَا فِي اْلجَنَّةِ

Ketika ia pertama kali menginjakkan kakinya di surga-Nya.

 

WalLaahu alam. [Irfan Rhamdan W, M.Pd.I.]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × four =

Back to top button