Soal Jawab

Bagaimana Hukum Pajak Menurut Islam?

Soal:

Bagaimana sebenarnya hukum pajak dalam pandangan Islam? Apakah boleh atau tidak? Jika boleh, apakah kebolehan tersebut bersifat mutlak, atau ada batasannya?

 

Jawab:

Para fuqaha’ membangun argumentasi boleh dan tidaknya pajak berdasarkan asumsi, apakah boleh mengambil harta dari kaum Muslim selain zakat? Dalam hal ini ada dua kelompok. Pertama: fuqaha’ yang menyatakan bahwa zakat merupakan satu-satunya harta yang boleh diambil dari kaum Muslim, sementara yang lain tidak boleh. Dalil mereka adalah Hadis Nabi saw. yang menyatakan:

«لًيْسَ فِي المَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ»

Di dalam harta tidak ada hak lain [yang wajib ditunaikan] selain zakat (HR Ibnu Majah).

 

Di dalam nas tersebut, dengan tegas dinyatakan, bahwa selain zakat, sama sekali tidak ada kewajiban harta yang harus ditunaikan oleh kaum Muslim. Selain itu, baik di dalam al-Quran maupun as-Sunnah, tidak ada nas yang menyatakan kewajiban harta yang lain, selain zakat. Andaipun ada yang lain, maka setelah ditetapkan kewajiban membayar zakat, maka kewajiban ini telah membatalkan kewajiban membayar harta yang lain. Ini merupakan pendapat Ibn al-‘Arabi (mazhab Maliki).

Kedua: Fuqaha’ yang menyatakan bahwa selain zakat ada hak lain yang wajib dibayarkan oleh kaum Muslim. Pada saat terjadi penaklukan Islam, yang dimulai sejak zaman Khalifah Abu Bakar, kemudian Khalifah ‘Umar dan Khalifah ‘Utsman, maka mulai muncul dua kelas di masyarakat, yaitu kelas kaya dan kelas miskin. Ketika itu, Abu Dzar al-Ghifari menyerukan agar orang-orang kaya tidak menimbun hartanya, setelah mengeluarkan kewajiban zakatnya, serta membelanjakan hartanya di jalan Allah. Beliau berangkat dari firman Allah:

﴿وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُوْنَهَا فِي سَبِيْلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ﴾

Orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak membelanjakan hartanya di jalan Allah, maka sampaikanlah kepada mereka azab yang pedih (QS at-Taubah [9]: 34).

 

Di antara pendukung pendapat ini adalah Imam Malik. Beliau yang menyatakan:

«يَجِبُ عَلَى كَافَّةِ المُسْلِمِيْنَ فِدَاءَ أَسْرَاهُمْ وَإِنِ اسْتَغْرَقَ ذَلِكَ أَمْوَالَهُمْ»

Seluruh kaum Muslim wajib menebus tawanan-tawanan mereka sekalipun itu benar-benar menghabiskan harta mereka.

 

Pendapat ini juga diikuti oleh para Tâbi’în, seperti an-Nakha’i, as-Sya’bi, ‘Atha’ dan Mujahid. Di kalangan mazhab Zhahiri, Ibn Hazm al-Andalusi juga mendukung pandangan ini.

Dari dua argumentasi di atas, maka pendapat yang kedua yang lebih kuat. Selain itu, hadis yang digunakan oleh kelompok pertama, menurut Imam an-Nawawi dan al-Baihaqi, terbukti lemah. Dengan demikian, pendapat yang pertama terbukti lemah dan tidak bisa diamalkan.

Karena itu mengambil harta dari kaum Muslim, selain zakat, hukumnya boleh. Termasuk di antaranya adalah pajak. Hanya saja, pajak ini diberlakukan dalam kondisi ketika Baitul Mal tidak mempunyai harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Ini sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar, saat Tahun Paceklik, saat terjadi kelaparan di mana-mana. Beliau sampai menyatakan:

«لَوْ اِمْتَدَّتِ المَجَاعَةُ لَوَزَّعْتُ كُلَّ جَائِعٍ عَلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ المُسْلِمِيْنَ, إِنَّ النَّاسَ لَا يَهْلِكُوْنَ عَلىَ إِنْصَافِ بُطُوْنِهِمْ»


Andai saja kelaparan ini meluas, aku akan membagi-bagi setiap orang yang kelaparan ini di setiap rumah-rumah kaum Muslim. Sungguh orang tidak akan binasa karena perut-perut mereka sudah rata [terisi].

 

Dari sini, Ibn Hazm menyatakan:

«وَفَرْضٌ عَلَى الأَغْنِيَاءِ مِنْ أَهْلِ كُلِّ بَلَدٍ أَنْ يَقُوْمُوْا بِفُقَرَائِهِمْ, وَيُجْبِرُهُمُ السُّلْطَانُ عَلَى ذَلِكَ, إِنْ لَمْ تَقُمِ الزَّكَوَاتُ بِهِمْ, وَلَا فِي سَائِرِ أَمْوَالِ المُسْلِمِيْنَ بِهِمْ, فَيُقَامُ لَهُمْ بِمَا يَأْكُلُوْنَ مِنَ الْقُوْتِ الَّذِيْ لَابُدَّ مِنْهُ, مِنَ اللِّبَاسِ لِلشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ بِمِثْلِ ذَلِكَ, وَبِمَسْكَنٍ يُكِنُّهُمْ مِنَ المَطَرِ.»

Wajib bagi orang-orang kaya penduduk sebuah negeri untuk membantu kaum fakir di kalangan mereka. Para penguasa wajib memaksa mereka untuk menunaikan kewajiban tersebut jika zakat tidak mencukupi, begitu juga harta-harta kaum Muslim yang lain. Mereka diberi makan dengan makanan pokok yang seharusnya. Juga pakaian untuk musim dingin dan panas seperti itu. Begitu juga tempat tinggal yang bisa melindungi mereka dari hujan.

 

Imam al-Ghazali, dalam Ihyâ’-nya, juga menyatakan:

«وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلىَ المُوْسِرِ مَهْمَا وَجَدَ مُحْتَاجًا أَنْ يُزِيْلَ حَاجَتَهُ فَضْلاً عَنْ مَالِ الزَّكاَةِ»

Maknanya, bagi orang yang berkelapangan, ketika dia menemukan orang yang membutuhkan, wajib untuk menghilangkan kebutuhan [orang yang membutuhkan tersebut], selain dari harta zakatnya.

 

Secara historis, pada zaman Khilafah ‘Abbasiyah, saat Tatar menyerang wilayah Syam, Azh-Zhahir Baibaras bersemangat untuk memerangi mereka, dan membutuhkan dana tidak sedikit untuk menyiapkan tentara dan membiayai pasukan, tetapi di Baitul Mal dananya tidak cukup. Ketika itu, para ulama’ Syam mengeluarkan fatwa tentang kebolehan untuk mengambil harta rakyat untuk membiayai tugas dan kewajiban tersebut.

Pada zaman Yusuf at-Tasifin di Andalusia juga sama. Untuk menghadapi musuh dan mengerahkan pasukan dibutuhkan dana. Namun, di Baitul Mal, dananya tidak cukup. Karena itu beliau mengumpulkan para ulama dan qâdhi, di antaranya al-Qadhi Abu al-Walid al-Baji. Mereka sepakat mengeluarkan fatwa tentang kebolehan mengambil harta kaum Muslim untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Hanya saja, kebolehan untuk mengambil pajak dari kaum Muslim ini tidak bersifat mutlak, melainkan melekat padanya sejumlah syarat.

Pertama: Saat negara tidak memiliki harta tidak mencukupi kebutuhan. Imam Al-Ghazali menyatakan:

«أَنَّهُ إِذَا خَلَتِ الأَيْدِي مِنَ الأَمْوَالِ وَلَمْ تَكْفِ أَمْوَالُ المَصَالِحِ خَرَاجَاتِ الْجُنُوْدِ وَخِيْفَ مِنْ تَهْدِيْدِ الْعَدُوِّ لِلْبِلَادِ أَوْ تَمَرُّدِ بَعْضِ الْجُنُوْدِ جَازَ لِلْحَاكِمِ فَرْضَ الضَّرَائِبِ عَلَى الأَغْنِيَاءِ بِمَا يَكْفِيْهِمْ تَحَمُّلاً لأَهْوَنِ الضَّرَرَيْنِ»

Ketika tangan tidak mempunyai harta dan harta untuk memenuhi kebutuhan tidak cukup untuk mencukupi pengeluaran tentara, sementara ancaman musuh terhadap negeri dikhawatirkan [tidak bisa diatasi], atau terjadinya pembangkangan sebagian tentara, maka seorang penguasa dibolehkan untuk menetapkan pajak kepada orang kaya, dengan apa yang bisa mencukupi. Ini sebagai praktik dari kaidah, “Mengambil bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya.”

 

Kedua: Harta (pajak) dipungut dari Muslim, laki-laki, dan sesuai dengan kemampuan. Ini sebagaimana Hadis Nabi saw.:

«مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَداً أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ فَأَنَا حَجِيْجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Siapa saja yang menzalimi kaum kafir mu’ahad atau membebani dirinya melebihi kemampuannya, maka akulah yang akan menjadi pununtutnya kelak pada Hari Kiamat (HR Abu Dawud).

 

Dalam riwayat lain dinyatakan:

«مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَداً أَوْ أَنْقَصَهُ, أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقِتِهِ, أَوْ أُخِذَ مِنْهُ شَيْئٌ بِغَيْرِ طَيِّبِ نَفْسٍ, فَأَناَ حَجِيْجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

Siapa saja yang menzalimi kafir mu’ahad, atau mengurangi [hak]-nya, atau membebani dirinya melebihi kemampuannya, atau diambil dari dirinya sesuatu tanpa kerelaan hatinya, maka akulah yang akan menjadi pununtutnya kelak pada Hari Kiamat (HR al-Mundziri).

 

Jika terhadap kafir mu’ahad, yang notabene bukan warga Negara Islam—tetapi hanya mereka yang terikat dengan perjanjian dengan Negara Islam—saja tidak boleh zalim dan membebani dengan beban yang melebihi kemampuannya, apatah lagi terhadap Ahludz Dzimmah dan kaum Muslim yang menjadi warga Negara Islam. Karena itu tidak boleh memungut pajak, kecuali dari kaum Muslim, laki-laki dan mampu. Bukan dari semua warga negara.

Karena itu Khalifah ‘Umar pernah menanyakan kepada pejabatnya, ketika datang menghadap kepada beliau membawa harta dari berbagai wilayah:

«إِنِّي لَأَظُنُّكُمْ أَهْلَكْتُمُ النَّاسَ, قَالُوْا: لَا, وَاللّٰهِ مَا أَخَذْنَا إِلاَّ عَفْواً صَفْواً, قَالَ: بِلَا سَوْطٍ وَلَا نَوْطٍ, قَالُوْا: نَعَمْ, قَالَ :اَلْحَمْدُ للّٰهِ الَّذِي لَمْ يَجْعَلْ ذَلِكَ عَلَى يَدَيَّ وَلَا فِي سُلْطَانِيْ»

“Sungguh, aku benar-benar menduga bahwa kalian telah membinasakan orang [rakyat].” Mereka menjawab: “Tidak. Demi Allah, kami tidak mengambil harta ini, kecuali dengan sukarela dan dari sisa-sisa.” Khalifah ‘Umar bertanya lagi, “Tanpa paksaan maupun iming-iming?” Mereka menjawab, “Benar.” Khalifah ‘Umar berkata lagi, “Alhamdulillah, Tuhan Yang telah menjadikan semuanya itu tidak berada di dalam tanganku dan bukan di dalam kekuasaanku.”

 

Ketiga: Tidak dipungut melebihi kebutuhan dan harta yang didapat digunakan untuk kemaslahatan publik, seperti pengeluaran untuk fakir, miskin dan ibn sabil, yang harus dipenuhi dari pos zakat di Baitul Mal, tetapi tidak ada. Begitu juga untuk membayar gaji tentara, membiayai perang, alutsista yang dibutuhkan. Termasuk pembukaan jalan dan rumah sakit, dan lain-lain, yang jika tidak diwujudkan bisa menyebabkan madarat bagi rakyat. Termasuk gaji pegawai, qadhi, guru, dan lain-lain. Ini hukumnya wajib bagi kaum Muslim untuk diwujudkan. Karena itu untuk membiayai semua itu juga merupakan kewajiban mereka.

Inilah hukum tentang pajak dan bagaimana ketentuannya. Semuanya telah diatur sedemikian rupa oleh Islam dan dibahas oleh para ulama pada masa lalu.

WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

Abu Bakar Muhammad bin ‘Abdullah, Ibn al-‘Arabi, Tafsir Ahkam al-Qur’an, ed. ‘Ali Muhammad al-Bajawi, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., Juz I, hal. 59.

Dr. Nazih ‘Abd al-Maqshud Muhammad Mabruk, Fardh al-Dharaib fî Dhau’i al-Syariah al-Islamiyyah, Jurnal edisi XXXVII, 2022, hal. 284; Quthub Ibrahim Ramadhan, an-Nudzum al-Maliyah fî al-Islam, Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, cet. IV, 1996, hal. 54-55.

Abu Bakar Muhammad bin ‘Abdullah, Ibn al-‘Arabi, Tafsir Ahkam al-Qur’an, Juz I, hal. 60.

Muhyiddin Abu Zakariyya Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Dar al-Fikr, Beirut t.t., Juz V, hal. 332.

Dr. Nazih ‘Abd al-Maqshud Muhammad Mabruk, Fardh al-Dharaib fî Dhau’i al-Syariah al-Islamiyyah, Jurnal edisi XXXVII, 2022, hal. 294.

Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmas bin Sa’id bin Hazm, al-Muhalla, ed. Ahmad Muhammad Syakir, Dar at-Turats, Kaero, t.t., Juz VI, hal. 156.

Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, hal. 366.

Muhammad Rajab al-Bayumi, Ulama’ fî Wajh at-Thughyan, Ad-Dar al-Qaumiyyah li at-Thiba’ah wa an-Nasyr, t.t., hal. 73.

Dr. Musthafa as-Siba’i, Isytirakiyyatu al-Islam, Dar Mathabi’ as-Sya’bi, 1962, hal. 186.

Abu Hamid al-Ghazali, al-Mushtasfa fî ‘Ilmi al-Ushul, Dar as-Shadir, Beirut, 1322, Juz I, hal. 304.

Abu ‘Ubaid, al-Amwal, hal. 48.

Al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, cet. 1382 H/1963 M, hal. 366-367.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fourteen + four =

Back to top button