Tafsir

Bantahan dan Jawaban Atas Pengingkaran Kaum Kafir (2)

(QS Qaf [50]: 9-11)

وَنَزَّلۡنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ مُّبَٰرَكٗا فَأَنۢبَتۡنَا بِهِۦ جَنَّٰتٖ وَحَبَّ ٱلۡحَصِيدِ  ٩ وَٱلنَّخۡلَ بَاسِقَٰتٖ لَّهَا طَلۡعٞ نَّضِيدٞ  ١٠ رِّزۡقٗا لِّلۡعِبَادِۖ وَأَحۡيَيۡنَا بِهِۦ بَلۡدَةٗ مَّيۡتٗاۚ كَذَٰلِكَ ٱلۡخُرُوجُ  ١١

Kami telah menurunkan dari langit air yang banyak manfaatnya. Lalu Kami menumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, juga pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, agar menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami). Kami menghidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan. (Qaf [50]: 9-11).

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

وَنَزَّلۡنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ مُّبَٰرَكٗا ٩

 

Kami telah menurunkan dari langit air yang banyak manfaatnya.

 

Ayat ini kembali menunjukkan bukti-bukti kekuasaan Allah SWT. Jika sebelumnya menggambarkan kekuasaan-Nya dalam penciptaan langit dan bumi, ayat ini menggambarkan kekuasaan-Nya dalam menghidupkan makhluk-Nya.

Penghidupan makhluk-Nya itu di muka bumi diawali dengan penurunan air dari langit. Ini karena segala sesuatu yang hidup Dia ciptakan dari air. Demikian sebagaimana firman-Nya:

وَجَعَلۡنَا مِنَ ٱلۡمَآءِ كُلَّ شَيۡءٍ حَيٍّۚ ٣٠

Kami telah menjadikan dari air itu segala sesuatu yang hidup (QS al-Anbiya‘ [21]: 30).

 

Ayat tersebut menunjukkan kekuasaan Allah SWT  dalam menghidupkan bumi dan tumbuhan dengan memulai dari penurunan air dari langit.

Disebutkan dalam ayat ini « وَنَزَّلْنا مِنَ السَّماءِ » (Kami telah murunkan dari langit). Artinya, Allahlah Yang berkuasa untuk menurunkan dari langit air hujan. Dalam ayat ini disebut sebagai « مَاءً مُبارَكاً » (air yang banyak manfaatnya).

Kata « الْمُبَارَك » merupakan ism al-maf’ûl dari kata « بارَكَ » (memberkahi), yang berarti sesuatu yang dijadikan « الْبَرَكَةُ » (berkah) di dalamnya.

Secara bahasa, makna al-barakah adalah « النَّمَاءُ وَزِيَادَةُ » (pertumbuhan dan pertamba-han).1 Bisa juga berarti: « النَّماءُ وَزِيَادَةُ والسَّعادَة » (pertumbuhan, pertambahan dan kebahagia-an).2 Khususnya, pertumbuhan dan pertambahan dalam kebaikan.

Menurut Ibnu ‘Asyur, al-barakah adalah « الْخَيْرُ النَّافِعُ » (kebaikan yang bermanfaat). Air hujan disebut sebagai mubârak  karena menjadi sebab bagi pertumbuhan biji-bijian, anggur dan kurma.3

Penjelasan serupa juga diterangkan dalam oleh banyak para ulama. Menurut Ibnu Katsir, kata « مُبارَكًا » bermakna « نَافِعًا » (yang bermanfaat).4

Al-Baidhawi memaknai kata ini  sebagai « كثيرُ المنافعِ » (banyak manfaat).5

Al-Khazin mengartikan kata tersebut dengan banyak kebaikan dan keberkahan. Di dalamnya terdapat kehidupan segala sesuatu.6

Asy-Syaukani juga berkata, “(Maknanya): Banyak berkah untuk kemanfaatan manusia dalam kebanyakan urusan mereka.”7

Wahbah al-Zuhaili juga berkata, “(Maknanya): Air yang banyak kebaikannya, berkahnya dan manfaatnya.”8

Kemudian diuraikan beberapa manfaat air bagi kehidupan dengan firman-Nya:

فَأَنۢبَتۡنَا بِهِۦ جَنَّٰتٖ وَحَبَّ ٱلۡحَصِيدِ  ٩

Lalu Kami menumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.

 

Ini adalah di antara berkah dan manfaat pada air yang sangat penting bagi manusia dan kehidupan. Dengan air tersebut maka Allah SWT menumbuhkan « جَنَّات » (kebun-kebun). Kata tersebut merupakan bentuk jamak dari kata « جَنَّة » (taman, kebun).

Secara bahasa, kata tersebut berarti « الحَديقةُ ذَاتُ الشَّجَرِ وَالنَّخْلِ » (taman atau kebun yang memiliki pohon dan kurma). Menurut Abu Ali, dalam bahasa Arab kata al-jannah tidak digunakan kecuali di dalamnya ada kurma dan anggur. Apabila tidak ada keduanya, sementara di dalamnya terdapat pohon-pohon, maka disebut « حَدِيقَةٌ », bukan « جَنَّةٍ ».9

Dengan kata lainnya, al-jannah adalah tempat yang di dalamnya terdapat banyak tanaman dan pepohonan hijau; dan tanamannya menutupimu dari pandangan. Bisa juga pepohonan itu menaungi dan melindungi  kamu. Dengan itu kamu tidak perlu keluar darinya, karena di dalamnya terdapat makanan dan minuman yang dapat menopang kehidupanmu.

Dalam al-Quran Allah SWT juga menggunakan kata al-jannah untuk menyebut taman-taman di bumi (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 266; QS al-Qalam [68]: 17).10

Demikian juga dalam ayat ini. Yang maksud dengan jannât adalah taman-taman yang memiliki pepohonan dan buah-buahan).11

Ditumbuhkan pula dengannya: « الْحَصِيدِ وَحَبَّ » (dan biji-biji tanaman yang diketam).  Yang dimaksud « حَبَّ الحَصِيد » (biji-bijian yang dipanen) adalah biji-bijian dari tanaman yang dipanen. Menurut al-Qurthubi, yang dimaksud adalah « وَحَبُّ النَّبْتِ الْحَصِيدُ » (dan biji-bijian tanaman yang dipanen). 12

Kata « الْحَصِيدُ » bermakna « الْمَحْصُود » (yang diketam, dipanen).13 Kata tersebut mencakup « كُلُّ مَا يُحْصَدُ » (semua yang dipanen).14

Al-Khazin berkata, “Habb al-hashîd (biji yang dipanen) adalah gandum, jewawut dan semua biji-bijian yang diketam atau dipanen.”15

Lalu dilanjutkan dengan firman-Nya:

وَٱلنَّخۡلَ بَاسِقَٰتٖ لَّهَا طَلۡعٞ نَّضِيدٞ  ١٠ رِّزۡقٗا لِّلۡعِبَادِۖ ١١

Juga pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun agar menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami).

 

Kata an-nakhl (kurma) sesungguhnya termasuk dalam cakupan kata jannât (kebun-kebun). Sebabnya, kurma termasuk pohon yang tumbuh di kebun. Disebutkan nama kurma secara khusus menunjukkan adanya kelebihan pohon tersebut dibandingkan dengan pohon-pohon lain. 16

Kurma itu digambarkan « باسِقات » (tinggi). Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, al-Hasan, Qatadah, as-Saddi dan lain-lainnya mengatakan bahwa « الباسِقات » berarti « الطِّوَالُ »  (tinggi).17 Penafsiran yang sama juga dikemukakan oleh al-Baidhawi, al-Alusi, al-Jazairi, dan lain-lain.18

Selain batangnya tinggi, pada pohon-pohon kurma itu terdapat: « لهَا طَلْعٌ نَضِيدٌ » (mempunyai mayang yang bersusun-susun). Maknanya di sini adalah « الطَّلْعُ » mayang kurma yang pertama kali keluar. Dikatakan: « طَلَعَ الطَّلْعُ طُلُوعًا »  (mayang itu benar-benar telah muncul).

Adapun « النَّضِيد » adalah susunan yang saling bertumpuk satu sama lain. Itu terjadi sebelum mayangnya terbuka, yakni susunan itu masih dalam kelopak mayangnya. Ketika sudah keluar dari kelopak mayangnya, maka tidak lagi disebut nadhîdh.19

Disebutkan bahwa semuanya itu « رِزْقاً لِلْعِبادِ » (agar menjadi rezeki bagi hamba-hamba). Artinya, Kami telah menumbuhkan dari kebun-kebun, biji-bijian yang dipanen dan kurma yang menjulang tinggi untuk menguatkan hamba dan rezeki bagi mereka, baik yang Mukmin maupun yang kafir.20

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَأَحۡيَيۡنَا بِهِۦ بَلۡدَةٗ مَّيۡتٗاۚ ١١

Kami menghidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering).

 

Dengan air hujan itu pula, Allah SWT menghidupkan tanah yang mati. Dalam ayat ini disebutkan « بَلْدَةً مَيْتاً » (tanah yang mati). Kata « بَلْدَة » bermakna [ الْأَرْضُ ] (tanah), sedangkan tanah « مَيْتا » bermakna [ هَامِدَة ] (tandus).21 Al-Baidhawi menafsirkan  « بَلْدَةً مَيْت » dengan « أرضاً جدبة » (tanah yang gersang), tidak ada tanaman di situ.22

Menurut Ibnu Katsir, ketika air itu turun mengenai tanah tandus tersebut, maka tanah itu menjadi subur dan tumbuh serta menumbuhkan berbagai macam tetumbuhan yang indah, seperti bunga dan lain sebagainya yang memukaukan pandangan mata. Padahal sebelumnya tanah tersebut tidak ada tetumbuhannya. Setelah itu, tanah itu menjadi subur dan hijau.23

Kemudian Allah SWT berfirman:

كَذَٰلِكَ ٱلۡخُرُوجُ  ١١

Seperti itulah terjadinya kebangkitan.

 

Kata [ كَذَلِكَ ] (seperti itulah) merujuk pada  apa yang disampaikan sebelumnya, yakni bagaimana Allah SWT—dengan air yang Dia turunkan—dapat menumbuhkan kebun-kebun, biji-bijian dari tanaman yang dipanen, dan kurma yang tinggi dan memiliki mayang-mayang bersusun; serta menghidupkan dengan air itu tanah yang mati. Begitu pula Allah SWT membangkitkan manusia kembali setelah mereka. Penghidupan Kembali manusia itu disebut [ الْخُرُوجُ ] (keluar). Maknanya, keluar dari kubur mereka setalah kematian.24

Az-Zamakhsyari  berkata, “Sebagaimana tanah yang mati itu dihidupkan, begitu pula  kalian dikeluarkan dalam keadaan hidup setelah kematian kalian.”25

Menurut Ibnu Katsir, semua itu serupa dengan hari berbangkit sesudah mati. Demikianlah perumpamaan Allah menghidupkan orang-orang yang telah mati pada Hari Kiamat. Pemandangan serta bukti yang nyata ini merupakan sebagian dari kekuasaan Allah Yang Mahabesar. Bahkan ia lebih besar daripada apa yang diingkari oleh orang-orang yang tidak percaya dengan adanya Hari Kiamat.26

Abu Bakar al-Jazairi berkata, “Seperti itulah keluarnya kalian dari alam kubur kalian, wahai orang-orang yang mengingkari kebangkitan. Allah SWT menurunkan air dari langit. Lalu Dia menumbuhkan dan menghidupkan kalian dari kubur kalian seperti keluarnya pohon dan tanaman dari tanah melalui air yang bermanfaat. Lalu dengan akal pikiran manakah kalian mengingkari Kari Kebangkitan, wahai orang-orang yang ingkar? Keadaan kalian itu seperti dinyatakan dalam firman-Nya:

فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ  ٤٦

Karena itu sungguh bukanlah mata-mata lahir itu yang buta, tetapi yang buta ialah mata-mata hati yang ada di dalam dada (QS al-Hajj [22]: 46).27

 

Beberapa Pelajaran Penting

Dalam ayatt terdapat banyak pelajaran penting. Pertama: Kekuasaan Allah SWT dalam menurunkan air hujan yang mengandung banyak berkah dan kebaikan bagi manusia dan kehidupan. Di antara berkah yang terkandung dalam air hujan adalah dengan air itu Allah SWT menumbuhkan pohon-pohon dan tanaman. Realitas ini menunjukkan dengan jelas bahwa menghidupkan manusia yang sudah mati juga perkara yang amat mudah bagi Allah SWT.

Kedua: Kekuasaan Allah SWT dalam menghidupkan tumbuhan dan tanah mati. Tanah yang sebelumnya mati, gersang dan tandus pun dapat Dia hidupkan. Realitas ini menjadi bukti nyata tentang kekuasaan Allah SWT menghidupkan kembali manusia yang sudah mati (Lihat juga: QS Fushshilat [41]: 39)

Demikian. Bukti-bukti kekuasaan Allah SWT sangat banyak bertebaran di muka bumi. Oang yang memiliki dan menggunakan akal dengan benar, niscaya dengan mudah akan paham. Semoga kita termasuk di dalamnya.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan Kaki:

1        Abu Bakar al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut: al-Maktbah al-‘Ashriyyah, 1999), 33; Ahmad al-Fiyumi, al-Mishbâh al-Mun   r, vol. 1 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, ), 45

2        Al-Fairuz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2005), 932; Majma’ Ulama, al-Mu’jam al-Wasîth (Istambul: dar al-Dakwah, 1972), 52

3        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr , vol. 26 (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984), 292

4        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 396

5        al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 140

6        al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 187

7        al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 86

8        al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26, 281

9        Ibnu Manzhur Lisân al-‘Arab, vol. 13(Beirut: Dar Shadir, tt), 100

10      al-Sya’rawi, al-Khawâthir, vol. 9, 5321

11      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26, 281

12      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 6

13      al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 327

14      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 6

15      al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 13, 327

16      al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 13, 326

17      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 396

18      al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 140; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 13, 327; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktbah  al-Ulum wa al-Hikam, 2003), 139

19      al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 86

20      al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 139

21      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 396

22      al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 140. Lihat juga al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 86

23      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 396. Lihat juga al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 139

24      al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 187

25      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 381. Lihat juga al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 150;

26      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 396

27      al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 140

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 − 6 =

Back to top button