
Malaikat Pencatat Amal Manusia
(QS Qaf [50]: 17-18)
إِذۡ يَتَلَقَّى ٱلۡمُتَلَقِّيَانِ عَنِ ٱلۡيَمِينِ وَعَنِ ٱلشِّمَالِ قَعِيدٞ ١٧ مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ ١٨
(Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya). Yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat) (QS Qaf [50]: 17 – 18).
Dalam ayat sebelumnya diterangkan tentang kekuasaan Allah Swt dalam penciptaan manusia. Juga kekuasaan dalam pengetahuan terhadap makhluk ciptaan-Nya. Bahwa Dia mengetahui persis te mengetahui semua yang dibisikkan manusia dalam hatinya. Ayat ini masih melanjutkan kandungan ayat sebelumnya.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
إِذۡ يَتَلَقَّى ٱلۡمُتَلَقِّيَانِ ١٧
(Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya.
Kata « الْمُتَلَقِّيانِ » adalah bentuk tatsniyah dari kata « الْمُتَلَقِّي », yang merupakan ism fâ’il (kata pelaku) dari kata « تَلَقَّى » (menerima, menemui). Dalam konteks ayat ini, yang dimaksud dengan al-mutallaqiyâni adalah dua malaikat.1 Ibnu Katsir berkata, “Mereka adalah dua malaikat yang ditugaskan oleh Allah SWT untuk mencatat amal perbuatan manusia.”2
Secara bahasa, kata « التَّلَقِّي » berarti « الأخذ، والتلقن بالحفظ والكتابة » (mengambil dan memahami dengan cara mengingat dan mencatat).3
Menurut Ibnu ‘Asyur, kata tersebut bermakna « أَخْذُ الشَّيْءِ مِنْ يَدِ مُعْطِيهِ » (mengambil sesuatu dari tangan pemberi). Dalam hal ini digunakan sebagai isti’ârah yang berarti mencatat perkataan dan perbuatan manusia ketika hal terjadi.4
Diperkirakan kalimat lengkapnya: “Ketika dua penerima (malaikat) itu menerima segala sesuatu yang beasal dari seseorang, lalu menuliskannya.”5
Dalam ayat ini, kata tersebut tidak disebutkan maf’ûl atau objeknya. Maknanya ditunjukkan firman Allah pada ayat berikutnya:
مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ ١٨
Tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat) (Qaf [50]: 18).
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa setiap manusia memiliki dua malaikat yang mencatat amal perbuatannya. Salah satunya berada di sebelah kanan dan yang lainnya di sebelah kiri.6
Ayat ini diawali dengan kata « إِذْ » (ketika) yang merupakan zharf al-zamân al-mâdhî (keterangan waktu yang telah lalu). Kata tersebut berkaitan dengan kata « أَقْرَبُ » (lebih dekat) pada ayat sebelumnya.7 Dengan demikian makna ayat ini adalah: “Kami lebih dekat kepada dirinya daripada urat lehernya ketika dua orang malaikat menerima amal perbuatannya, lalu mencatatnya.”8
Jika Allah SWT lebih dekat kepada manusia daripada malaikat yang mencatat perbuatan mereka, lalu untuk apa menugaskan malaikat? Menurut asy-Syaukani, ayat ini memberikan makna bahwa Allah SWT lebih mengetahui keadaan manusia dan tidak memerlukan dua malaikat pengawas tersebut. Meskipun demikian, Dia menugaskan malaikat itu untuk menetapkan hujjah dan menegaskan perkaranya.9
Al-Qurthubi juga berkata, “Kami lebih dekat kepada dirinya daripada urat lehernya ketika dua malaikat mencatat amalnya. Artinya, Kami lebih mengetahui tentang keadaan manusia itu sehingga tidak memerlukan malaikat yang mengabarkannya. Akan tetapi, keduanya ditugaskan kepada dirinya untuk menegakkan hujjah dan mengukuhkan perkara tersebut.”10
Kemudian Allah SWT berfirman:
عَنِ ٱلۡيَمِينِ وَعَنِ ٱلشِّمَالِ قَعِيدٞ ١٧
Seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri
Frasa « عَنِ الْيَمِينِ » (dari sebelah kanan) berkaitan dengan khabar muqaddam bagi kata « قَعِيدٌ » yang berkedudukan sebagai mubtada‘ muakhkhar. Adapun « عَنِ الشِّمالِ » ma’thûf bagi kata sebelumnya ‘an al-yamîn.11
Dengan demikian maknanya: « عن اليمين قعيد وعن الشمال قعيد من المتلقيين » (malaikat pencatat amal itu duduk di sebelah kanan dan sebelah kiri). Salah satunya dihapus untuk menunjukkan yang lainnya.12
Kata « قَعِيدٌ » merupakan shifah musyabbahah dari kata « قَعَدَ » (duduk). Bentuk « فَعِيل » di sini bermakna « فاعِل ».13
Dengan demikian makna « قَعِيدٌ » adalah « قاعد » (yang duduk). Pemaknaan tersebut seperti halnya pada kata « السَّمِيعُ » (yang mendengar), « الْعَلِيمُ » (yang mengetahui), « الْقَدِيرُ » (yang berkuasa) dan « الشَّهِيدُ » (yang menyaksikan).14
Sebagaimana diterangkan sebelumnya, mereka tidak hanya duduk, tetapi menjalankan tugasnya, yakni mengawasi dan memonitor perbuatan manusia. Dengan demikian, sebagaimana menurut penjelasan Ibnu Katsir, makna « قَعِيدٌ » di sini adalah « مُتَرَصِّدٌ » (mengintai, mengawasi).15
Mujahid juga memaknai kata tersebut dengan « رَصَد » (mengawasi).16
Al-Hasan, Mujahid dan Qatadah berkata, “« الْمُتَلَقِّيانِ » adalah dua malaikat yang mencatat amalmu. Yang satu berada di sebelah kananmu yang mencatat kebaikanmu. Satunya lagi di sebelah kirimu mencatat keburukanmu.”17
Mujahid juga berkata, “Allah SWT kepada manusia—meskipun Dia mengetahui keadaannya—mengutus dua malaikat pada malam hari dan dua malaikat pada siang hari mengawasi amalnya dan mencatat tinggalannya sebagai hujjah. Yang satunya di sebelah kanan mencatat kebaikan-kebaikan. Satunya lagi sebelah kiri mencatat keburukan-keburukan. Ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
عَنِ ٱلۡيَمِينِ وَعَنِ ٱلشِّمَالِ قَعِيدٞ ١٧
Seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.18
Saat menjelaskan surat ini mulai dari ayat 17 hingga 19, Ibnu Abbas berkata, “Allah SWT menjadikan atas anak Adam dua pengawas pada malam hari dan dua pengawas pada siang hari. Keduanya mengawasi amalnya dan mencatat pengaruh yang ditinggalkannya.”19
Sufyan berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa malaikat pencatat kebaikan dan malaikat pencatat keburukan, ketika seorang hamba berdosa; dia berkata, “Jangan lekas-lekas ditulis. Barangkali dia meminta ampunan kepada Allah SWT.”20
Ini sebagaimana diberitakan dalam hadis dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ صَاحِبَ الشِّمَالِ لِيَرْفَعُ الْقَلَمَ سِتَّ سَاعَاتٍ عَنِ الْعَبْدِ الْمُسْلِمِ الْمُخْطِئِ أَوِ الْمُسِيءِ، فَإِنْ نَدِمَ وَاسْتَغْفَرَ الله مِنْهَا أَلْقَاهَا، وَإِلَّا كُتِبَتْ وَاحِدَة
Sungguh malaikat yang berada di sebelah kiri mengangkat pena (tidak mencatat) selama enam sa’ah ketika seorang hamba Muslim melakukan dosa. Jika ia menyesali perbuatannya dan meminta ampunan Allah, maka dilepaslah pena itu. Namun, jika tidak demikian maka akan dicatat satu dosa (HR ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabîr).
Di dalam ayat ini disebutkan bahwa malaikat itu « قَعِيدٌ » (duduk) di samping kiri dan kanan manusia.
Kemudian Allah SWT berfirman:
مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ ١٨
Tiada suatu ucapan pun yang dia ucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.
Kata « اللَّفْظ » adalah pengucapan suatu kata yang menunjukkan suatu makna, meskipun merupakan bagian dari makna. Ini berbeda dengan kata « الْقَوْلِ » adalah al-kalâm yang mengandung makna.21
Ayat ini memberikan penjelasan lebih lanjut dari ayat sebelumnya. Karena telah diutus dua malaikat yang mencatat semua perbuatan dan perkataan manusia, maka tak ada satu pun perbuatan dan perkataan yang telepas dan tidak diawasi oleh kedua malaikat tersebut.
Menurut Al-Qurthubi, tidak ada satu pun perkataan manusia kecuali dicatat oleh malaikat tersebut.22
Asy-Syaukani berkata, “Tidak ada satu pun perkataan yang diucapkan dari mulutnya kecuali di sisinya ada raqîb, yakni malaikat yang mengawasi dan mencatat ucapannya.23
Ibnu Katsir juga menuturkan bahwa ayat ini memberikan pengertian bahwa tiada suatu kalimat pun yang manusia katakan, melainkan ada malaikat yang selalu mengawasi dirinya dan mencatat amalnya. Tiada suatu kalimat pun yang tertinggal dan tiada suatu gerakan pun yang tidak tercatat oleh malaikat tersebut. Ini semakna dengan firman-Nya dalam ayat lain (QS al-Infithar [82]: 10-12).24
Menurut Abu Bakar al-Jazairi, kedua malaikat itu tidak berpisah dari orang yang mereka tunggui selama hidupnya. Hanya saja, mereka bergantian. Dua malaikat pada siang hari dan dua malaikat pada malam hari. Mereka bertemu pada waktu shalat Subuh dan shalat Ashar.25
Ketika manusia meninggal, catatan amal itu dilipat dan akan dibuka kembali pada Hari Kiamat. Kemudian manusia diperintahkan membaca sendiri buku yang berisi catatan amalnya. Menurut al-Hasan al-Bashri, kitab itulah yang diberitakan Allah SWT dalam QS al-Isra’ [17] ayat 13-14.26
Ayat ini juga menerangkan bahwa yang mengawasi dan mencatat ucapan manusia itu adalah « رَقِيبٌ عَتِيدٌ » (pengawas yang selalu hadir). Menurut al-Imam al-Qurthubi, kata « الرَّقيبُ » dalam ayat ini memengandung tiga makna. Pertama, bermakna « الْمُتَّبِعُ لِلْأُمُورِ » (yang memonitor segala sesuatu). Kedua, bermakna « الْحَافِظُ » (penjaga, pengawas), sebagaimana dikatakan as-Suddi. Ketiga, bermakna « الشَّاهِدُ » (saksi, yang menyaksikan).27
Asy-Syaukani menggabungkan beberapa makna itu. Menurut Asy-Syaukani, « الرَّقيبُ » adalah « الْحَافِظُ الْمُتَتَبِّعُ لِأُمُورِ الْإِنْسَانِ » (pengawas yang memonitor urusan-urusan manusia) yang mencatat apa perkataannya yang baik maupun yang buruk. Pencatat kebaikan adalah malaikat sebelan kanan dan pencatat keburukan adalah malaikat sebelah kiri.28
Adapun kata « الْعَتِيدُ » mengandung dua makna. Pertama, « اَلْحَاضِر الَّذِي لَا يغيب » (yang hadir yang tidak absen). Kedua, « اَلْحَافِظُ الْمُعَدُّ » (pegawas yang selalu siap), bisa untuk menjaga dan kesaksian.29
Tak jauh berbeda, « الْعَتِيدُ » menurut asy-Syaukani adalah « اَلْحَاضِرُ الْمُهَيَّ » (yang hadir dan selalu siap). Al-‘Atîd yang dimaksud ayat ini adalah « مُعَدٌّ لِلْكِتَابَةِ مُهَيَّأٌ لَهَا » (disiapkan dan disediakan) untuk mencatat.30
Penjelasan senada juga dinyatakan oleh Abu Bakar al-Jazairi: Firman Allah SWT « إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ » bermakna: kecuali di sisinya ada malaikat raqîb yang menjaga dan ‘atîd yang hadir dan siap untuk mencatat.31
Hanya saja, terdapat perbedaan di kalangan ulama mengenai perkataan yang dicatat: Apakah semua perkataan manusia itu dicatat oleh malaikat? Menurut al-Hasan dan Qatadah, semuanya dicatat. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dicatat itu hanyalah hal-hal yang di dalamnya terdapat pahala dan dosa. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas.32 Ikrimah berkata, “Sesungguhnya yang mereka catat hanya dalam kebaikan dan keburukan.”33
Ibnu Katsir lebih memilih pendapat yang pertama: Lahiriah ayat ini lebih menunjuk pada penafsiran pertama karena keumuman firman-Nya.34
Khatimah
Demikianlah. Manusia selalu dalam pengawasan Allah SWT. Semua amal dan ucapannya juga senantiasa dicatat oleh dua malaikat yang berada di sebelah kanan dan sebelah kiri. Berita ini seharusnya membuat manusia berhati-hati dan takut mengerjakan perbuatan yang dimurkai Allah SWT. Sebaliknya, dia selalu bersemangat untuk melakukan perbuatan baik dan meraih ridha Allah SWT.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 9
2 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 397
3 Ismali Haqqi, Rûh al-Bayân, vol. 9 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 115; Muhammad al-Amin al-Harari, Tafsîr Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. vol. 27 (Beirut: Dar Thawq al-Najah, 2001), 439
4 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol 26 (Tunisa: Dar al-Tunisiyyah, 1984), 302
5 Sayyid Thanthawi, Tafsîr al-Wasîth, vol. 13 (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1998), 342
6 Lihat Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol 26, 302
7 Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 26 (Beirut: Dar al-Rasyid, 1998), 308
8 al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 143
9 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 88-89
10 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 9
11 Lihat Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 26 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 308; al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 258
12 Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tas-hîl li ‘Ulû al-Tanzîl, vol. 2 (, 302
13 Lihat Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 26, 308
14 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 10. Lihat juga al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 187; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 144
15 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 398
16 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 342
17 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 39. Lihat juga dalam al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 344
18 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 9. Penjelasan serupa juga dikemukakan al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 187
19 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 344
20 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 9-10
21 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol 26, 303
22 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 11
23 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 89
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 398
25 al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 144
26 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 397
27 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 11
28 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 89
29 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 11
30 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 89
31 al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 143
32 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 398
33 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 345
34 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 398