Nisa

Perlindungan Perempuan Di Bawah Rezim Baru

Dalam sepuluh tahun terakhir, salah satu fokus Pemerintah adalah bagaimana menyelesaikan masalah perlindungan  perempuan. Untuk melindungi perempuan dari kerentanannya terhadap kekerasan, Pemerintah telah membangun jaminan kepastian hukum melalui Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Nomor 23 Tahun 2004, serta Undang-undang Tindak Pencegahan Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022. Nyatanya kasus kekerasan pada perempuan masih terus terjadi.

Menurut catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, kasus KDRT yang tercatat selama 20 tahun terakhir sebanyak 515.466 kasus. Sebanyak 94 persen di antaranya adalah kekerasan terhadap istri, yang notabene adalah perempuan. Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy, mengungkapkan data tersebut dalam perbincangannya di Jakarta, Rabu (28/08/2024).

Fakta lain, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban TPPO. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran (eksploitasi seksual), tetapi juga eksploitasi lainnya seperti kerja paksa dan praktik perbudakan (serupa).

Data pada EMP Pusiknas Bareskrim Polri yang diakses pada Jumat 22 September 2023 menyebutkan 856 kasus TPPO yang ditangani Polri mulai Januari hingga 22 September 2023. Jumlah laporan yang paling banyak terkait kasus TPPO yaitu pada Juni 2023, sebanyak 470 kasus.[1]

Perempuan juga menjadi korban kekerasan pada kasus konflik agraria. Konsorsium Pembaruan Agaria (KPA) mencatat, ada 207 konflik agraria di 32 provinsi sepanjang 2021. Perempuan mengalami beban terberat ketika ada konflik agraria. Saat konflik agraria terjadi, perempuan tak hanya turun langsung berjuang, tetapi harus menjadi kuat untuk keluarga mereka.[2]

 

Hasil Politik Pembangunan

Pendekatan pembangunan untuk mengubah masyarakat tradisional  menjadi masyarakat kapitalistik dianggap populer dan menjadi patron yang diambil setiap negara. Pemerintah Indonesia juga mengambil kebijakan ini dan memberi nama  Transformasi Indonesia menjadi negara maju tahun 2045 dengan rancangan Indonesia Emas. Narasi Indonesia Emas 2045 akan membawa seluruh warga negara termasuk perempuan dalam rancangan–rancangan yang ditetapkan negara.

Dalam cetak biru RPJMN 2015-2019, dilanjutkan dengan RIJMN 2020-2024, perempuan sebagaimana laki-laki adalah Sumber Daya Manusia (SDM) bagi pembangunan. Jika Indonesia ingin meraih target pembangunan, yakni pertumbuhan ekonomi sebagaimana doktrin Kapitalisme, maka SDM pembangunan harus diposisikan sebagai tenaga kerja yang mampu menghasilkan barang dan jasa. Karena itu perempuan dan laki-laki harus menajdi SDM unggul yang mampu bersaing, tidak hanya dengan sesama warga negara Indonesia, tetapi  juga dengan tenaga kerja dari luar negeri.

Dari sini maka perempuan harus didorong berkontribusi dalam pembangunan. Mereka harus mengisi setiap sektor yang dibutuhkan demi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Negara melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) harus mendorong kebijakan yang memastikan perempuan berkiprah di ranah publik atas nama ‘pemberdayaan perempuan’.

Pemberdayaan perempuan telah berhasil membangun kepercayaan diri perempuan untuk keluar rumah dengan meninggalkan tugas mulianya menjadi ibu dan pengatur rumah tangga suaminya. Mereka berkiprah demi kontribusi ekonomi secara langsung dengan bekerja maupun tidak langsung—berkiprah di ranah politik—untuk memunculkan kebijakan pembangunan yang kapitalistik.

Dalam praktiknya, kebijakan KemenPPA akan menjadi acuan bagaimana perempuan itu harus berkiprah-berkontribusi dalam pembangunan  dan juga dihargai. Terlihat korelasi yang dekat sekali dengan kekerasan yang terjadi pada perempuan dengan desain negara pada perempuan dalam pembangunan. Di titik inilah kita mesti membahas cara pandang struktural, yaitu pandangan yang menunjukkan bagaimana organisasi dan mekanisme negara memengaruhi persoalan yang dihadapi oleh warga negara.

Kekerasan yang dialami perempuan dalam relasinya dengan suami atau pasangan, menjadi korban perdagangan orang, menjadi korban perampasan lahan dan ruang hidup bukanlah nasib buruk yang diterima begitu saja. Hampir semua pengalaman kita sebagai warga negara, yang berkaitan dengan hak-hak dasar kita, dipengaruhi oleh negara melalui kebijakannya.

Misalnya, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang semakin sering akhir-akhir ini, terutama di daerah dekat konsesi tambang dan perkebunan seperti Kalimantan. Pemerintah sebagai penyelenggara negara bisa saja membuat kebijakan yang membuat hutan tetap terjaga, seperti kebijakan larangan konsesi di lahan gambut. Karhutla juga sebenarnya bisa dicegah jika pemerintah secara konsisten memperhatikan kebijakan perizinan pembukaan lahan perkebunan, tambang galian, dan lain sebagainya.

Realitas kekerasan yang menimpa perempuan bukan karena negara tidak memiliki program perlindungan. Masalahnya, politik pembangunan yang mendudukkan perempuan sebgai SDM yang akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi telah meletakkan perempuan dalam kondisi rentan. Kerentanan ini karena masyarakat sekuler kapitalisme telah dibangun diatas aturan-aturan yang cacat yang tidak menghargai kehormatan perempuan, yang hanya menjadikan perempuan sebagai tenaga kerja yang dieksploitasi dan juga pemuas hasrat seksual.

Masyarakat sekuler kapitalis adalah habitat (tempat hidup) terburuk bagi manusia, khususnya perempuan, dengan segala keterbatasan dan kelemahannya. Pemberdayaan perempuan telah menyeret perempuan dari benteng amannya, yakni rumah, ke dalam habitat masyarakat yang predatoris. Tak heran kasus kekerasan pada perempuan tidak akan berakhir.

 

Kesetaraan Gender

Berbicara tentang pemberdayaan perempuan tidak bisa dipisahkan dari paradigma feminis-kesetaraan gender. Kalangan feminis Barat (liberal) telah memperoleh lompatan keberhasilan dalam memasukkan kesetaraan gender dalam forum-forum global. Puncaknya, ia menjadi konvensi PBB, yakni CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women);  Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

CEDAW sering disebut sebagai piagam hak asasi perempuan, karena memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memajukan hak-hak perempuan di seluruh dunia. CEDAW juga menjadi landasan penyelesaian masalah perempuan melalui platform pembangunan global SDGs, tujuan ke 5. Tujuan ini bertujuan untuk mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan dan anak perempuan.

Saat ini kesetaraan gender baik dalam konteks konvensi CEDAW maupun SDGs telah diadopsi oleh Indonesia. Posisi keseteraan gender semakin kokoh dengan dijadikan sebagai salah satu strategi pembangunan dalam RPJMN negara.

Lalu apa artinya bagi perempuan? Penan-capan kesetaraan gender akan berkorelasi pada pemberdayaan perempuan. Gender akan meggantikan paradigma perempuan yang awal, yakni yang berasal dari agama, adat dan tradisi-nya. Bagi perempuan Indonesia yang mayoritas Muslim, kesetaraan gender akan menggantikan paradigma kemuliaan perempuan.

Islam mengajarkan kemuliaan bagi perempuan jika perempuan menjadi hamba bertakwa, yakni melaksanakan semua kewajibaan, termasuk kewajiban sebagai ibu dan pengtaur rumah tangga suaminya.  Sebaliknya, kesetaraan gender mengajarkan bahwa kemuliaan perempuan adalah manakala bisa berkiprah-berperan sama dengan laki-laki.

Pengarusan kesetaraan gender melalui pendekatan pembangunan akan melestarikan bahkan mengokohkan perempuan dalam desain pembangunan kapitalistik. Sudah pasti perempuan tidak pernah keluar dari kerentanan sebagai target kekerasan. Pembangunan negara telah menciptakan persoalan di ranah hulu, yakni menjadikan masyarakat lebih kapitalistik. Artinya, lebih dekat dengan karakter predator yang siap memangsa perempuan. Di sisi lain, program perlindungan negara berputar-putar di ranah hilir, memperkuat pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan. Jelas ini tidak akan menyelesaikan masalah perlindungan terhadap perempuan.

 

Khatimah

Komitmen rezim terpilih untuk melanjutkan rancangan pembangunan rezim sebelumnya adalah alarm bahaya bagi perlindungan perempuan. Tidak ada harapan bagi perempuan untuk mendapat perlindungan dari kebijakan negara, selama semua kebijakan perlindungan masih dalam kerangka pembangunan mengejar pertumbuhan. Lalu apakah perempuan harus pasrah menerima nasib buruknya? Tentu saja tidak.

Islam selalu megajarkan kebaikan. Termasuk kebaikan Islam adalah adaya kewajiban amar makruf nahi mungkar. Ini adahalh jalan menuju pembebasan perempuan dari nasib burukya akibat penerapan kapitalisme. Berani menyuarakan kebenaran adalah langkah membangun harapan untuk kembali pada kehidupan Islam yang memuliakan perempuan.

Hanya kehidupan Islam yang mampu menciptakan  ruang aman dan nyaman bagi perempuan. Perempuan akan terlindungi dengan penerapan syariah oleh Khalifah. Istiqmah berjuang.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Fatma Sunardi]

 

Catatan kaki:

[1]      https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/ratusan_kasus_tppo_ditindak_sejak_awal_tahun

[2]      https://www.mongabay.co.id/2022/04/21/dewi-kartika-konflik-agraria-perempuan-paling-terdampak/

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × 1 =

Back to top button