
Pentingnya Kesadaran Politik Umat
Umat Islam sebagai penduduk mayoritas negeri ini seharusnya memahami bahwa realitas politik yang terpampang di depan mata tidaklah mutlak merupakan wajah asli politik itu sendiri. Ia bisa saja merupakan kamuflase dari berbagai kepentingan yang tersembunyi di belakangnya. Di balik wajah pemimpin ndeso tidak berarti kebijakan politiknya pro wong cilik. Di balik gaya ‘gemoy’ tidak berarti kebijakannya akan selalu ramah terhadap kepentingan rakyat. Di balik sosok-sosok politisi yang wara-wiri blusukan kesana-kemari, menampilkan mimik pro rakyat, ada pihak yang menyiapkan skenario lakon politiknya.
Relasi antara pernyataan politik di ruang-ruang publik dengan kebijakan publik yang lahir dari kursi dan meja mereka sering bertolak belakang. Bahkan muncul guyonan bahwa pernyataan Presiden Jokowi mesti dimaknai terbalik. Slogan swasembada pangan pada awal kepemimpinan Jokowi periode pertama yang diiringi blusukan ke sawah-sawah justru menghasilkan kebijakan impor pangan (utamanya beras) jutaan ton pertahun. Slogannya ekonomi hijau. Namun, Pemerintah malah memberikan konsesi lahan kepada investor di bidang pertanian dan pertambangan yang justru merusak kawasan hutan jutaan hektar. Slogan kemandirian ekonomi berbarengan dengan kebijakan penarikan utang rata-rata Rp 500 triliun pertahun selama 10 tahun terakhir ini. Di tengah kucuran bantuan sosial mengalir kepada masyarakat, penarikan pajak pun kian beragam dan meningkat. Salah satunya adalah naiknya PPN dari 10% menjadi 11%. Termasuk berbagai kebijakan iuran yang dikenakan kepada rakyat seperti BPJS, Tapera, dan yang lainnya.
Kepada investor (pengusaha), berbagai keringanan pajak dan kemudahan birokrasi diberikan. Ada pemberian Tax Holiday, Tax Allowance, Accelerated Depreciation, Tax Rate Reduction, Kawasan Ekonomi Khusus, Pengurangan PPh Badan untuk Industri Pionir dan Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Ada Rilis Daftar Prioritas Investasi, Pendirian Lembaga Pengelola Investasi, dan masih banyak lagi kebijakan lainnya yang serupa. Semuanya merupakan bentuk keberpihakan kepada para investor, konglomerat dan negara-negara kapitalis untuk menancapkan dan mengokohkan kepentingan bisnis dan ekonominya di negeri ini.
Desain kebijakan pembangunan Pemerintah juga tak lepas dari pengaruh lembaga internasional. Di antaranya melalui partisipasi ‘kerjasama’ Pemerintah dengan lembaga internasional, baik dalam bidang pembiayaan seperti World Bank (Bank Dunia) dan International Monetery Fund (IMF), maupun bidang penguatan kelembagaan, kebijakan dan pembangunan seperti UNDP (United Nation Developmen Program). Badan PBB ini bekerja ‘membantu’ negara-negara dalam mengembangkan kebijakan (perundang-undangan), kemitraan (kerjasama) dan kemampuan kelembagaan (tata pemerintahan) untuk mencapai tujuan yang mereka sebut sebagai pembangunan berkelanjutan (lihat situs: Undp.org).
Semua realitas politik tersebut bisa dipahami dengan baik jika aktivitas politik para politisi yang terlibat dalam pengambilan kebijakan dilihat secara komprehensif. Bukan hanya dalam konteks pernyataan dan perilakunya di hadapan public, tetapi juga kebijakan yang keluar dari meja mereka. Bukan saja kepada siapa yang tampil di depan mata publik, tetapi juga siapa yang ada di belakang layar. Kepada siapa para politisi dan pejabat publik itu bertemu dalam konteks berkonsultasi. Juga siapa saja yang diuntungkan dari kebijakan mereka. Dengan demikian kesadaran politik akan terbangun sehingga tidak mudah terkecoh oleh lakon politik yang tampil di permukaan.
Hakikat Kesadaran Politik
Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam Pemikiran Politik Islam (Afkaar Siyaasiyah) menjelaskan bahwa kesadaran politik tidak hanya berarti kesadaran terhadap politik dan situasi global yang melingkupinya. Tidak pula hanya mengikuti politik internasional dan aktivitas politik yang menyertainya. Akan tetapi, kesafdarn politik adalah bagaimana mengamati dunia dari sudut pandang tertentu (Zallum: 2004, hlm.87).
Artinya, kesadaran politik hanya akan terbangun jika ada pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa politik nasional dan global dan situasi yang melingkupinya, disertai dengan adanya pemahaman terhadap konsepsi politik yang khas yang menjadi basis dan patron dalam melakukan pengamatan/penilaian politik.
Perlunya Kesadaran Politik
Secara teoritik, kekuasaan bersumber dari rakyat. Artinya, tidak ada kekuasaan yang terbentuk dan bertahan tanpa restu dan dukungan rakyat, dalam sistem politik apapun. Sejarah menggambarkan bahwa kekuasaan itu terbentuk, bertahan, jatuh dan bangun dengan keterlibatan rakyat di dalamnya. Loyalitas, pengabaian (apatisme) dan penentangan (pembangkangan) massal rakyat mewarnai sejarah bangsa-bangsa dari masa ke masa. Begitu pentingnya posisi rakyat dalam kekuasaan sehingga menjadi objek perburuan bagi siapapun yang menginginkan kursi kekuasaan untuk menarik hati mereka, dengan berbagai cara.
Eksistensi suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran politik rakyatnya. Langgengnya suatu kekuasaan sangat ditentukan oleh loyalitas rakyatnya. Baik loyalitas itu lahir dari kesadaran politik ataupun akibat dari manipulasi politik. Presiden Sukarno bisa bertahan 20 tahun, Presiden Suharto bertahan 30 tahun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 10 tahun dan Presiden Joko Widodo 10 tahun. Semuanya itu karena ada dukungan dan loyalitas dari mayoritas rakyat sekalipun lahir dari manipulasi politik yang bernama pencitraan.
Kekuasaan yang terbangun dengan manipulasi politik (pencitraan) hanya akan efektif dalam situasi pendidikan politik rakyat rendah. Situasi politik seperti itu cenderung disukai dan dipertahankan oleh para petualang politik yang pragmatis. Mereka menyadari bahwa situasi masyarakat yang rendah pendidikan politik dan minim kesadaran politiknya memungkinkan mereka membangun pencitraan dan manipulasi demi meraih dan menjaga kepentingan mereka. Inilah yang terjadi di negeri ini dan negeri-negeri islam lainnya serta negara-negara terbelakang dan berkembang secara umum.
Kesadaran politik publik yang rendah memungkinkan para politisi melakukan manuver secara aman tanpa terdeteksi oleh publik. Ini berarti mereka aman menjalankan aksinya melakukan kebohongan publik; janji politik yang tak terpenuhi, mengkhianati amanat rakyat, mengutamakan kepentingan investor daripada kepentingan masyarakat luas, mengutamakan kepentingan diri dan kelompoknya daripada kepentingan rakyat, dan lainnya. Intinya situasi itu menguntungkan para pialang politik yang dalam istilah lainnya disebut sebagai ‘demagog’.
Kesadaran politik ini perlu terbangun di tengah-tengah masyarakat. Tentu agar mereka tidak mudah diiming-imingi oleh janji manis, tidak terkecoh pencitraan dan tidak tergoda oleh materi. Kesadaran politik akan menciptakan mawas diri rakyat. Selanjutnya mereka akan membangun loyalitas politik mereka berdasarkan pemahaman dan sudut pandang yang khas (ideologis). Jika ini terbentuk maka kecil kemungkinan penguasa ‘ruwaybidhah’ duduk di kursi kekuasaan, bertahan dan melanggengkan kekuasaannya. Kesadaran politik akan menjadi katalisator perubahan yang bersifat sistemik, bukan hanya dalam tataran pergantian penguasa/pemimpin. Pada titik inilah kesadaran politik umat Islam mutlak dibutuhkan.
Rendahnya Kesadaran Politik
Salah satu problem serius yang dialami umat Islam di negeri ini—dan negeri-negeri Islam lainnya—adalah masih rendahnya kesadaran politiknya, khususnya kesadaran politik Islam. Masih bercokolnya para penguasa khianat dan ‘ruwaybidhah’ di negeri-negeri Islam adalah salah satu indikasi lemahnya kesadaran politik Islam kaum Muslim. Indikasi lainnya adalah umat Islam masih asyik-masyuk berpartisipasi dalam pesta-pesta demokrasi. Pada Pemilu 2024 lalu, tingkat partisipasi pemilih dalam pemilihan anggota legilatif dan presiden-wakil presiden mencapai 81. Persentase yang sama pada Pemilu tahun 2019. Pemilu 2014 partisipasinya 68% untuk Pileg dan 75% untuk Pilpres. Pemilu 2009 partisipasinya 71% untuk Pileg dan Pilpres. Sejak Pemilu digelar, tingkat partisipasi pemilih terendah pada tahun 2014 dengan angka partisipasi 68% (Kpu.go.id). Ini menunjukkan tingkat partisipasi pemilih secara umum yang sangat tinggi.
Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu yang tinggi tersebut tidak serta merta menunjukkan tingginya tingkat kesadaran politik publik. Ia hanya menunjukkan loyalitas buta atas realitas politik yang ada. Hal itu ditandai dengan rendahnya tingkat partisipasi publik dalam kegiatan politik lainnya seperti dalam kontrol dan koreksi kebijakan. Padahal aktivitas politik ini wajib bagi rakyat secara personal ataupun berkelompok. Era kepemimpinan Jokowi selama 10 tahun justru menunjukkan kecenderungan melemahnya kontrol publik terhadap pemerintahannya. Kondisi ini bukan tanpa sebab. Pasalnya, narasi kritik sering dimaknai sebagai ujaran kebencian yang berujung pada persekusi ataupun pelaporan oleh pihak pendukung Pemerintah kepada Kepolisian. Pada era ini juga para pendengung (buzzer) Pemerintah mendapatkan angin segar untuk mencitrapositifkan kebijakan Pemerintah sekaligus mendiskreditkan suara-suara kritik.
Tingginya partisipasi pemilih dalam Pemilu lebih disebabkan oleh kemampuan mobilisasi massa partai politik dan politisi, baik melalui pencitraan dan/atau politik uang. Perilaku politik ini efektif dalam masyarakat yang rendah pendidikan dan kesadaran politiknya.
Kesadaran politik Islam juga masih sangat rendah. Hal itu ditandai dengan dominannya partai politik sekuler dan tingginya raihan suara mereka dalam setiap Pemilu. Pada Pemilu terakhir (2024), tersisa 3 partai politik yang berasaskan Islam, yaitu PPP, PKS dan Partai Umat. Partai politik berasas Islam yang lolos ke Senayan (DPR) hanyalah PKS dengan perolehan suara 8,4% atau 53 kursi dari total 580 kursi, menempati posisi 6 dari 8 partai politik yang lolos ke Senayan (Kpu.or.id). Suaranya pun nyaris tak terdengar di mimbar Parlemen dalam menyuarakan aspirasi Islam untuk menjadi hukum positif.
Partisipasi politik organisasi masyarakat (ormas) Islam pun masih rendah, khususnya dalam konteks muhaasabah (kontrol) terhadap kekuasaan dan perjuangan kebijakan publik yang berbasis syariah Islam. Alih-alih menyuarakan penerapan syariah Islam, justru terjebak dalam permainan politik penguasa. Salah satunya melalui pemberian izin konsesi lahan tambang.
Praktis dalam politik kekuasaan saat ini, Islam tetap terpinggirkan. Umat Islam pun masih berada dalam kubangan politik sekuler. Bahkan dalam sepuluh tahun terakhir upaya menjauhkan umat dari politik Islam kian gencar. Propaganda ‘politik identitas’ massif dilakukan oleh Pemerintah, partai politik, politisi, akademisi dan para aktivis politik sekuler dengan menempatkan politik Islam sebagai politik identitas dalam makna negatif. Gagasan politik Islam, penerapan Syariah Islam dan penegakan institusi politik Islam (Khilafah) diposisikan sebagai politik identitas yang wajib dilawan dan dilarang. Propaganda ini berjalan massif sejalan dengan program deradikalisasi dan moderasi beragama yang dijalankan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga negara.
Jalan Politik Islam
Nabi Muhammad saw. mengingatkan, “Seorang Mukmin tidak akan masuk ke dalam lubang yang sama dua kali.” (Shahiih Muslim, No. 5317).
Lalu bagaimana dengan umat Islam yang dalam satu abad terakhir ini terjerembab dalam kesalahan politik yang berulang-ulang? Umat Islam tentu harus keluar dari kubangan politik sekuler tersebut. Jalan keluarnya adalah satu: membangun kesadaran politik Islam pada dirinya.
Umat Islam harus melek politik; melek terhadap realitas dan peristiwa politik; melek tentang konsepsi politik islam, dan melek tentang metode perjuangan politik yang bisa mengantarkan Islam pada kekuasaan.
Terkait dengan realitas dan peristiwa politik, umat Islam perlu memahami bahwa hakikat realitas dan peristiwa politik bukanlah pada tampilan depannya, tetapi sesuatu yang berada di baliknya. Hal itu hanya memungkinkan diketahui melalui penelaahan berbagai peristiwa politik yang melingkupinya, termasuk yang bersifat global. Misalnya kekuasaan Joko Widodo selama dua periode (10 tahun) sesungguhnya tidaklah terletak dan bertumpu pada dirinya, melainkan pada pihak-pihak yang berada di balik kursinya. Demikian pula terhadap kekuasaan Prabowo ke depannya. Mereka hanyalah halaman depan dari wajah politik yang dikendalikan oleh para kapitalis nasional dan global. Mereka dipekerjakan untuk melayani kepentingan para kapitalis tersebut.
Pemahaman terhadap konsepsi politik Islam meniscayakan respon terhadap setiap realitas dan peristiwa politik berjalan dalam koridor Syariah Islam. Respon politik baik berupa tindakan maupun pernyataan bertumpu pada pemikiran politik yang berbasis pada syariah Islam. Misalnya tentang Pemilu. Umat Islam tidak sekedar berpikir tentang bagaimana umat Islam menduduki kursi kekuasaan. Namun, lebih penting dari itu adalah bagaimana Islam bisa sampai pada kekuasaan. Dalam makna islam menjadi basis dan norma politik. Jika Pemilu tidak menawarkan dan memberikan ruang bagi Islam untuk berkuasa, maka pilihan bagi seorang muslim adalah abstain dari partisipasi Pemilu.
Abstainnya seorang musim dari Pemilu bukan berarti apolitik atau abai dari politik, melainkan ia harus memilih menjalankan aktivitas politik yang lebih elegan, yaitu berpolitik dalam bingkai tuntunan syariah Islam. Hal ini meniscayakan pentingnya pemahaman terhadap metode perubahan politik yang syar’i. Dengan begitu umat Islam tidak ikut arus dan terjebak dalam permainan politik yang tidak islami (sekuler/liberal), yang dibungkus dengan slogan-slogan menarik dan terkesan islami, tetapi sesungguhnya justru semakin menjauhkan umat Islam dari tujuan mulia perjuangan untuk melanjutkan kehidupan Islam dalam bingkai sistem politik Islam (Khilafah).
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Mustajab Abu Faris; Analis Politik]