Tafsir

Nasib Orang yang Sangat Ingkar (1)

(QS Qaf [50]: 23-26)

وَقَالَ قَرِينُهُۥ هَٰذَا مَا لَدَيَّ عَتِيدٌ ٢٣ أَلۡقِيَا فِي جَهَنَّمَ كُلَّ كَفَّارٍ عَنِيدٖ ٢٤ مَّنَّاعٖ لِّلۡخَيۡرِ مُعۡتَدٖ مُّرِيبٍ ٢٥ ٱلَّذِي جَعَلَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَأَلۡقِيَاهُ فِي ٱلۡعَذَابِ ٱلشَّدِيدِ ٢٦

Dan yang menyertai dia berkata: “Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku” (23); Allah berfirman: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala (24); Yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu (25); Yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat”.(26) (QS Qaf [50]: 23-26).

 

Dalam ayat-ayat sebelumnya dijelaskan tentang dua peristiwa besar yang akan dialami manusia: kedatangan sakaratul maut dan peniupan sangkakala oleh Israfil. Kedua peristiwa akan membuat manusia benar-benar melihat Hari Kebangkitan dan pembalasan yang disampaikan kepada mereka. Jika selama di dunia ada manusia yang mengingkari Hari Kebangkitan maka nanti mereka menyaksikan Hari Kebangkitan itu dengan mata kepala.

Ayat ini masih memberitakan tentang peristiwa yang terjadi pada Hari Kiamat.

 

Tersedia Catatan Amal

Allah SWT berfirman:

وَقَالَ قَرِينُهُۥ هَٰذَا مَا لَدَيَّ عَتِيدٌ ٢٣

Yang menyertai dia berkata, “Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku.”

 

Huruf al-wâwu di sini adalah wâwu al-hâl dari tâ‘ al-khithâb dalam firman Allah SWT pada ayat sebelumnya:

لَّقَدۡ كُنتَ فِي غَفۡلَةٖ مِّنۡ هَٰذَا ٢٢

Sungguh kamu dulu benar-benar lalai tentang (peristiwa) ini (QS Qaf [50]: 22).

 

Artinya, dia ditegur ketika menyaksikan azab dengan kalimat: « لَقَدْ كُنْتَ فِي غَفْلَةٍ مِنْ هذا » (Sungguh, engkau dahulu berada dalam kelalaian tentang hal ini) pada saat temannya berkata: « هذا ما لَدَيَّ عَتِيدٌ » (Inilah [catatan amal] yang ada padaku, telah siap [untuk dihisab]).1

Kata « قَرِين » merupakan bentuk « فَعِيلُ » yang bermakna « مَفْعُولٍ ». Dengan demikian kata tersebut bermakna « مَقْرُونٌ إِلَى غَيْرِهِ » (sesuatu yang disandingkan atau dipasangkan dengan yang lain). Seakan-akan kata kerja « قَرَنَ » berasal dari kata « الْقَرَن » yang berarti « الْحَبْلُ » (tali). Dulu mereka biasa mengikat unta dengan unta lainnya untuk meletakkan tandu. Karena itu istilah « الْقَرِينُ » digunakan secara kiasan untuk sesuatu yang terus-menerus menyertai atau menemani.2 Dengan demikian secara bahasa kata qarîn bermakna « المصاحِبُ الملازمُ » (yang menemani dan menyertai).3

Dalam konteks ayat ini, ada beberapa penjelasan yang dikemukakan oleh para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa qarîn di sini adalah setan. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Zamakhsyari. Hal itu didasarkan pada firman-Nya:

وَمَن يَعۡشُ عَن ذِكۡرِ ٱلرَّحۡمَٰنِ نُقَيِّضۡ لَهُۥ شَيۡطَٰنٗا فَهُوَ لَهُۥ قَرِينٞ ٣٦

Siapa saja yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Quran), Kami akan mengadakan dia setan (yang menyesatkan). Setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertai dirinya (QS az-Zukhruf [43]: 36).

 

Qarîn inilah yang menjadi saksi atas manusia sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

قَالَ قَرِينُهُۥ رَبَّنَا مَآ أَطۡغَيۡتُهُۥ وَلَٰكِن كَانَ فِي ضَلَٰلِۢ بَعِيدٖ ٢٧

Yang menyertai dia berkata (pula), «Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkan dia, tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh.” (QS Qaf [50]: 27).4

 

Juga disebutkan dalam firman-Nya:

فَبِئۡسَ ٱلۡقَرِينُ ٣٨

Setan itu adalah sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia) (QS az-Zukhruf [43]: 38).

 

Ini mengisyaratkan bahwa yang digiring itu adalah pelaku kejahatan, orang faajir dan orang fasik. Adapun kata « الْعَتِيدُ » bermakna « الْمُعَدُّ لِلنَّارِ » (orang yang disiapkan ke neraka). Secara keseluruhan, ayat ini bermakna: Sungguh setan berkata, “Ini adalah pelaku maksiat. Dia di sisiku. Sesuatu telah disiapkan untuk Neraka Jahanam. Aku menyiapkan dia dengan menggelincirkan dan menyesatkan dirinya.”5

Menurut az-Zamakhsyari, makna ayat ini adalah malaikat yang menggiring dirinya, malaikat satunya menjadi saksi, dan setan disertakan kepada dirinya seraya berkata, “Sungguh aku telah menyediakan dan menyiapkan serta menyediakan dira untuk Neraka Jahanam disebabkan oleh penyimpangan dan penyesatanku.”6

Penafsiran ini juga dipilih oleh Wahbah al-Zuhaili.7

Pendapat lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan qarîn di sini adalah malaikat. Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, yang dimaksud adalah Malaikat Zabaniyah penjaga Neraka Jahanam.8 Menurut al-Hasan, Qatadah dan adh-Dhahhak, yang dimaksud adalah malaikat diberi tugas untuk mendampingi manusia.9

Menurut Ibnu Zaid, yang dimaksud adalah malaikat yang ditugaskan sebagai sâiq (penggiring manusia). Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam ayat sebelumnya:

وَجَآءَتۡ كُلُّ نَفۡسٖ مَّعَهَا سَآئِقٞ وَشَهِيدٞ ٢١

Datanglah tiap-tiap diri. Bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi.10

 

Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud adalah malaikat yang ditugaskan oleh Allah SWT untuk mencatat amal perbuatan manusia. Malaikat itu akan menjadi saksi pada Hari Kiamat atas perbuatan manusia.11

Malaikat tersebut berkata:

هَٰذَا مَا لَدَيَّ عَتِيدٌ ٢٣

Inilah (catatan amalnya) yang tersedia di sisiku (QS Qaff [50]: 23).

 

Kata penunjuk « هذا » menunjuk pada catatan atau kitab yang berisi semua amal manusia selama di dunia yang baik maupun yang buruk. Adapun kata « عَتِيدٌ » bermakna « ‌مُعْتَدٍ ‌مُحْضَرٌ ‌بِلَا زِيَادَةٍ وَلَا نُقْصَانٍ » (yang disediakan dan didatangkan tanpa ada penambahan dan pengurangan).12

Menurut ayat ini, malaikat tersebut berkata, «Ini catatan amalmu yang ada padaku dan tersedia padaku. Aku telah menyediakan catatan amal tersebut.13

Mujahid menafsirkan perkataan malaikat tersebut, “Inilah yang Engkau tugaskan kepadaku terhadap manusia. Sungguh kami telah menghadirkan catatan amalnya.”14

 

Dilemparkan ke Neraka

Setelah mendapat laporan malaikat, kemudian diberitakan oleh Allah SWT:

أَلۡقِيَا فِي جَهَنَّمَ كُلَّ كَفَّارٍ عَنِيدٖ ٢٤

Allah berfirman, «Lemparkanlah oleh kamu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala.”

 

Huruf al-alif pada kata « أَلْقِيا » merupakan dhamîr al-itsnayni (kata ganti yang menunjukkan dua). Sebagian ulama mengatakan bahwa kalimat ini, menurut dialek sebagian orang Arab, mereka biasa memanggil sebagian lainnya dengan menggunakan kata ganti tatsniyah (dua orang). Padahal yang dituju hanya satu orang. Seperti yang diriwayatkan dari Al-Hajjaj, bahwa ia pernah berkata: « يَا حَرَسِيُّ, اضْرِبَا عُنُقَهُ » (Hai algojoku, penggallah lehernya!).15

Menurut al-Farra‘ ini merupakan khithâb atau seruan untuk satu orang dengan khithâb dua orang.16 Dijelaskan al-Khalil dan al-Akhfasy, penggunaan bentuk tatsniyah (yang menunjukkan dua) itu merupakan bentuk bahasa Arab yang fasih yang memerintahkan satu orang dengan lafal dua orang, seperti: « ‌ارْحَلَاهَا » (pergilah kamu ke sana), « ازْجُرَاهَا » (bertolaklah kamu ke sana), « خُذَاهَا » (ambillah), dan « أَطْلِقَاهَا » (lepaskanlah) yang ditujukan kepada satu orang.17

Menurut al-Mazini, firman-Nya: « أَلْقِيا » (lemparkanlah) bukan bermakna kata perintah untuk dua orang. Akan tetapi, kata perintah bermakna dua kali, yakni: [ ألق ألق ] (lemparkan, lemparkan).18

Makna ini juga disetujui oleh al-Mubarrad. Dia menambahkan bentuk tatsniyah (yang menunjukkan dua pelaku) itu untuk menunjukkan at-tawkîd (penegasan) dari perintah tersebut. Maknanya: « ‌أَلْقِ ‌أَلْقِ » (lemparkan, lemparkan), lalu disebutkan: « أَلْقِيا » untuk mewakili pengulangan perintah tersebut.19

Akan tetapi, al-Mubarrad juga menyampaikan makna lainnya, yaitu boleh juga bentuk tatsniyah (menunjukkan makna dua) mengandung makna sebenarnya. Artinya, Allah SWT memerintahkan kepada dua malaikat untuk melemparkan dia.20 Dikatakan bahwa dua malaikat itu adalah as-sâiq (malaikat penggiring) dan al-hâfizh (malaikat penjaga amalan).21 Ini sebagaimana dikatakan al-Zajjaj, “Itu adalah perintah kepada dua malaikat yang ditugaskan, yaitu as-sâiq (malaikat penggiring) dan asy-syahîd (malaikat penyaksi).22

Menurut asy-Syaukani, az-Zamakhsyari dan Abu Hayyan al-Andalusi, ini merupkan khithâb atau seruan dari Allah SWT kepada as-sâiq (malaikat penggiring) dan asy-syahîd (malaikat saksi).”23

Menurut Ibnu Katsir, secara lahiriah kata tersebut ditujukan kepada as-sâiq (malaikat penggiring) dan asy-syahîd (malaikat saksi). Malaikat penggiringlah yang menghadirkan manusia ke tempat hisab atau perhitungan. Setelah malaikat saksi menyampaikan kesaksian tentang dirinya, lalu Allah SWT memerintahkan kepada keduanya agar mencampakkan dia ke dalam Neraka Jahanam, tempat kembali yang paling buruk.24

Yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada malaikat untuk dilemparkan ke dalam Neraka Jahanam adalah orang-orang yang memiliki sifat « ‌كَفَّار » (orang yang sangat ingkar dan keras kepala). Kata tersebut merupakan bentuk mubâlaghah dari kata « ‌الْكُفْرِ » (kufur), maknanya « شَدِيدِ الْكُفْرِ » (sangat kufur). At-Tasydîd dalam lafal « فَعَّال » menunjukkan intensitas makna, yaitu sangat kuat atau berlebihan dalam hal yang dimaksud.25 Ibnu Katsir memaknainya dengan: « كَثِيرُ الْكُفْرِ وَالتَّكْذِيبِ بِالْحَقِّ » (orang yang banyak melakukan kekufuran dan pendustaan terhadap kebenaran.).26 Menurut Ibnu Jarir, maknanya adalah semua orang yang mengingkari keesaan Allah SWT.27

Bisa juga berasal « الْكُفْرَان » (ingkar). Maknanya: dia telah mengingkari nikmat Allah yang banyak.28

Menurut asy-Syaukani, maknanya adalah: yang sangat ingkar terhadap nikmat-nikmat Allah.29

Abu Hayyan al-Andalusi menafsirkannya sebagai mengingkari nikmat dan Pemberi nikmat.30

Adapun « لْعَنِيدُ » merupakan bentuk « فَعِيلٌ » yang bermakna « فَاعِلٍ » dari kata « عَنَدَ, عُنُودًا » (keras kepala, keras hati).31 Menurut Qatadah, kata tersebut bermakna «  مُنْحَرِفٌ عَنِ الطَّاعَةِ » (menyimpang dari kesesatan). Al-Hasan menafsirkannya « جَاحِدٌ مُتَمَرِّدٌ » (yang ingkar lagi membangkang).32

Menurut Ibnu Katsir, maknanya adalah orang yang menentang dan melawan kebenaran dengan kebatilan, padahal dia mengetahui).33

Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, maknanya adalah orang yang menentang kebenaran dan jalan petunjuk.34

 

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

  1. Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr , 26 (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984), 309
  2. Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr , 26 309-310
  3. al-Samin al-Halbi, al-Durr al-Mashûn fî ‘Ulûm al-Kitâb al-Maknûn, 6 (Damaskus: Dar al-Qalam, tt), 381,
  4. al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 386
  5. al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 127 (Bierut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 136
  6. al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, 4, 386
  7. al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, 26 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 300
  8. Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 9, 536
  9. al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17 (Kairo: Dar al-Maktabh al-Mishriyyah, 1964), 16
  10. al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 353
  11. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 402
  12. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 402
  13. al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1994), 88
  14. al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5, 88; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 402
  15. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 402
  16. Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 9, 537
  17. al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 16; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 91
  18. al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 16; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 91
  19. al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 16; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 91
  20. al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 16
  21. al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 16
  22. al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5, 90
  23. al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5, 90; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 386; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 9, 537
  24. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 402
  25. al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 127, 136
  26. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 402
  27. al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 355
  28. al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 127, 136
  29. al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5, 90
  30. Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 9, 537
  31. al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 127, 136
  32. Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 9, 537
  33. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 402
  34. al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 355

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × 3 =

Check Also
Close
Back to top button