
Rajab dan Pembebasan al-Quds
Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah salah satu mukjizat Nabi Muhammad saw. yang diabadikan dalam mukjizat terbesar yaitu al-Quran. Peristiwa ini merupakan satu episode dari episode-episode dakwah yang dijalani manusia terbaik ini. Dimulai dari dakwah pada kalangan terbatas, keluarga dan sahabat hingga dakwah terbuka. Penentangan dakwah terjadi. Puncaknya adalah embargo terhadap Nabi saw. beserta Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib. Embargo ini sebagai upaya petinggi kafir Quraisy untuk membatasi dan mengalienasi dakwah Nabi saw. Embargo berakhir. Enam bulan setelahnya paman Nabi saw. yang menjadi penolong dakwah meninggal. Pada bulan Rajab tahun 10 Kenabian. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau meninggal pada bulan Ramadhan. Dua atau tiga bulan kemudian Khadijah al-Kubra wafat, istri tercinta, wanita pertama yang beriman sekaligus pendukung dakwah. Ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 10 Kenabian. Jadilah tahun tersebut sebagai tahun kesedihan (‘âm al-huzn). Kesedihan makin bertambah saat seruan dakwah ke Thaif mendapat penolakan. Dalam keadaan yang sedemikian sempit itulah Allah hendak “menghibur” Nabi-Nya.
Saat Isra’, ditampakkan kepada Nabi saw. bentangan wilayah kekuasaannya yang akan dicapai umatnya. Tahap demi tahap pencapaian kekuasaan Islam ditampakkan dalam peristiwa Isra’, dari Masjid al-Haram (Makkah) ke Masjid al-Aqsha (Palestina). Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menukil riwayat Imam an-Nasai, dari Anas bin Malik (meski Imam Ibnu Katsir menilai riwayat ini ghariib). Riwayat itu menyebutkan bahwa saat Buraq melintasi langit Thibah (nama lama untuk Kota Madinah), Jibril memerintahkan Nabi saw. turun dan melaksanakan shalat dua rakat. Ternyata titik tempat transit pertama ini kemudian menjadi bumi hijrahnya Nabi saw. Menjadi titik awal tegaknya Negara Islam pertama. Transit kedua adalah Thursina (Mesir), tempat Nabi Musa saw. berbicara dengan Allah. Kekuasaan Islam kemudian sampai ke titik ini pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dengan walinya, Amru bin ‘Ash. Tempat transit ketiga adalah Bait Laham (tempat lahirnya Nabi ‘Isa as.). Terminal terakhir dari peristiwa Isra ini adalah Masjid al-Aqsha. Di sinilah Nabi saw. shalat berjamaah dengan ruh para nabi yang lain. Beliau sebagai imamnya.
Peristiwa ini merupakan isyarat suksesi kepemimpinan. Peralihan kepemimpinan dari Bani Israil kepada umat Islam. Sejarah kemudian membuktikan bahwa pada tahun 637 M penduduk Yerussalem secara sukarela menyerahkan Kota Yerussalem pada Kekhilafahan Islam. Panglima Romawi dan Patriarch (Uskup Agung) Sophronius meminta agar perjanjian penyerahan Kota Yerusalem itu ditandatangani langsung oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab. Awalnya, permintaan tersebut ditolak oleh Abu Ubaidillah dan Khalid bin Walid beserta pasukan Muslim. Namun, dengan kebijaksanaannya, Khalifah Umar bin al-Khaththab menyetujui permintaan tersebut.
Isra’ dan Pembebasan Palestina
Dari masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab (637 M) Palestina hidup tenteram dan damai di bawah kepemimpinan Islam hingga di penghujung abad ke-11 (tahun 1099) pasukan Salib merampas tanah yang diberkahi ini. Silih berganti terjadi peperangan untuk membebaskan Bumi al-Aqsha. Pada 27 Rajab, 583 H/1187 M M negeri pada nabi ini dibebaskan oleh Jendral Besar Shalahuddin al-Ayyubi di bawah perjanjian yang diberi nama “Shulh ar-Ramlah”. Kiblat pertama kaum Muslim ini kembali ke dalam pelukan Kekhilafahan Islam. Tahun 1897 M Theodore Herzl Bapak Zionis, pimpinan Gerakan Zionis hendak membeli tanah Palestina. Sultan Abdul Hamid II menolak dan menyatakan:
“Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina) karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika Daulah Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu hari, maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Daulah Islamiyah.”
Benar saja, penjaga dan pelindung setiap jengkal tanah kaum Muslim itu akhirnya runtuh pada 3 Maret 1924. Setelah sebelumnya terlibat dalam Perang Dunia I (1914-1917 M). Pemenang perang, khususnya Inggris dan Prancis, saat itu telah membuat pemufakatan jahat untuk memutilasi wilayah Khilafah Ustmani. Pada tahun 1916, saat masih terjadi PD I disepakatilah Perjanjian Sykes Picot antara Inggris dan Prancis untuk membagi-bagi wilayah Khilafah, termasuk Palestina. Berdasarkan perjanjian ini, Palestina berada di bawah kontrol dan kendali Inggris. Lalu pada 2 November 1917 Inggris lewat Menteri Luar Negerinya Arthur James Balfour mengirimkan deklarasi yang memberikan mandat kepada orang-orang Yahudi untuk memiliki rumah nasional bagi bangsa Yahudi. Setelah deklarasi ini, gelombang migrasi dan menguasai tanah Palestina terus terjadi. Puncaknya, 14 Mei 1948 negara Israel Raya menurut klaim mereka didirikan.
Al-Aqsha dan tanah di sekitarnya adalah tanah yang diberkahi. Allah SWT sendiri yang menyatakan demikian:
Masjid al-Aqsha yang kami berkahi sekelilingnya (QS al-Isra’ [17]: 1).
Mafhûm muwâfaqah (makna linear) ayat ini adalah jika sekitar Masjid al-Aqsha diberkahi maka tentu Masjid al-Aqshanya lebih diberkahi.
Tanah Palestina adalah tanah kharajiyah yang menurut ketentuan syariah Islam akan tetap menjadi milik kaum Muslim hingga Hari Kiamat. Dalam Kitab Muqaddimah ad-Dustûr disebutkan:
Tanah kharajiyah adalah tanah yang dibebaskan, baik dengan terjadi peperangan atau dengan perjanjian damai, dikecualikan sebagai tanah kharajiyah adalah Jazirah Arab (Muqaddimah ad-Dustûr, Pasal 133).
Contoh tanah kharajiyah yang dibebaskan dengan cara perang adalah Irak. Contoh tanah kharajiyah yang dibebaskan dengan perjanjian damai adalah Baitul Maqdis (Palestina).
Karena demikianlah tinjauan syariah terhadap status Tanah Palestina, maka tanah Palestina wajib direbut kembali dari agresor Zionis Yahudi dan dikembalikan pada pemilik sahnya, yaitu kaum Muslim. Bukan dengan berbagai wilayah seperti arahan PBB.
Bisyârah Pembebasan al-Aqsha
Terdapat kabar dari al-Quran bahwa Zionis akan terusir dari Bumi Palestina, dan kaum Muslim akan kembali masuk ke Masjid al-Aqsha sebagaimana pertama kali memasukinya. Allah SWT berfirman:
Telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu, “Sungguh kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar”. Lalu jika datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami mendatangkan kepada kalian hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung. Itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian Kami memberikan kepada kalian giliran untuk mengalahkan mereka kembali, Kami membantu kalian dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami menjadikan kalian kelompok yang lebih besar. Jika kalian berbuat baik (berarti) kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri. Jika kalian berbuat jahat maka (kejahatan) itu bagi diri kalian sendiri. Jika datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kalian dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuh kalian memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai (QS al-Isra’ [17]: 4-7).
Yang dimaksud “Telah Kami tetapkan” (QS al-Isra’ [17]: 4), yakni Kami tulis dan kabarkan kepada Bani Israil bahwa kalian kelak akan melakukan kerusakan di muka bumi sebanyak dua kali. Namun demikian, ketentuan Allah untuk Bani Israil tersebut bukanlah ketentuan yang bersifat memaksa. Sebabnya, hal ini merupakan wilayah yang menjadi pilihan manusia dan Allah SWT tidak memaksa siapapun untuk berbuat kekejian. Allah SWT berfirman:
Jika mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah, “Sungguh Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji. Mengapa kalian mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?” (QS al-A’raf [7]: 28).
Menurut Syaikh Mahir Agha, mengutip pendapat Dr. Shalah al-Khalidi, kerusakan pertama yang dilakukan orang-orang Yahudi dengan congkak telah terjadi di Negeri Hijaz sebelum Nabi Muhammad saw. diutus. Kabilah Yahudi pergi dari Palestina mendatangi Hijaz, Madinah dan sekitarnya. Mereka lari dari kekejaman Yunani dan Romawi. Orang-orang Arab, seperti suku Aus dan Khazraj, terkagum-kagum dengan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pola hidup kaum Yahudi. Kesempatan ini digunakan oleh Yahudi untuk mengekploitasi bangsa Arab. Mereka memprovokasi suku Aus dan Khazraj sehingga keduanya terlibat dalam konflik berkepanjangan (sekitar 120 tahun). Selain itu mereka menjerat bangsa Arab itu dengan sistem riba yang mencekik.
Surah al-Isra’ merupakan Surah Makkiyah (turun di Makkah) pada tahun kesepuluh Kenabian. Penghentian kerusakan pertama dimulai setelah Perang Badar yang terjadi pada tahun kedua Hijrah. Oleh karena itu, ungkapan dalam ayat ini menggunakan lafal “idzâ” (jika) untuk menggambarkan masa depan.
Jika datang janji pertama dari kedua janji itu… (QS al-Isra’ [7]: 5).
Artinya, penghentian kerusakan itu terjadi setelah ayat ini turun, dan bukan peristiwa yang telah terjadi sebelum ayat ini diturunkan.
Janji Allah pasti terwujud karena Allah tidak akan mengingkari janji-janji-Nya. Ketika Rasul saw. dan para Sahabat berhijrah ke Madinah, kemudian beliau mengikat suku-suku yang ada dengan Mîtsâq al-Madînah (Piagam Madinah), ternyata entitas Yahudi yang terikat dalam perjanjian mengingkari piagam perjanjian tersebut. Karena itu Rasul saw. menghukum mereka. Sebagian besar dari mereka diusir dan sebagiannya dibunuh. Hal ini dipertegas dengan firman Allah SWT:
Kami mendatangkan kepada kalian hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar. Lalu mereka merajalela di kampung-kampung. Itulah ketetapan yang pasti terlaksana (QS al-Isra’ [17]: 5).
Yang dimaksud frasa ‘ibâd[an] lanâ adalah para Sahabat Nabi. Kata ‘ibâd[an] (hamba-hamba) yang disambung dengan lafal lanâ (bagi kami) menegaskan hal tersebut. Tidak seperti anggapan sebagian mufassir yang menyatakan bahwa yang dimaksud hamba-hamba kami adalah Nebukadnezar dan tokoh-tokoh lain dari bangsa Asyur, Yunani dan Romawi. Al-Quran secara tegas juga membedakan istilah ‘âbid dengan ‘ibâd meski secara harfiah artinya sama, yaitu hamba. Kata ‘âbid dalam al-Quran disebutkan sebanyak lima kali dan semuanya ditujukan untuk orang kafir. Sebaliknya, kata ‘ibâd disebutkan dalam al-Quran sebanyak 95 kali, dan kebanyakan ditujukan bagi kaum beriman yang shalih.
Pasca keruntuhan Khilafah, Zionis kembali berbuat kerusakan di muka bumi. Sejak peristiwa Badai al-Aqsha saja, sudah lebih 43.000 jiwa tak berdosa dibunuh. Hampir semua korban rakyat sipil dan sebagian besarnya adalah wanita dan anak-anak. Jika Zionis mengkampanyekan hanya membalas serangan Hamas, itu semua bohong. Omong-kosong. Faktanya, yang mereka lakukan adalah genosida. Pembantaian besar-besaran. Benarlah firman Allah SWT:
Kemudian Kami memberikan kepada kalian giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantu kalian dengan harta kekayaan dan anak-anak. Kami menjadikan kalian kelompok yang lebih besar (QS al-Isra’ [17]: 6).
Kata tsumma (kemudian) menjelaskan perihal kerusakan yang kedua. Kata tsumma digunakan untuk menunjukkan urutan peristiwa dengan jangka waktu yang cukup lama, yaitu setelah lebih 13 abad umat Islam berjaya. Namun, saat umat Islam telah jauh dari agamanya, tidak memiliki pemahaman yang benar tentang agamanya, hingga institusi pelindungnya, yakni Khilafah, diruntuhkan, maka umat Islam kembali menjadi bangsa yang terjajah.
Masa Kemenangan Umat Islam
Pada akhir ayat ketujuh, Allah SWT menjanjikan kemenangan umat Islam dan kemusnahan bagi Zionis Yahudi. Allah SWT berfirman:
Jika telah datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami mendatangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kalian. Mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuh kalian memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai (QS al-Isra’ [17]: 7).
Istilah “mencoreng/menyuramkan muka” adalah ungkapan atas kemenangan kaum Muslim. Adapun yang dimaksud dengan “muka-muka kalian” yakni wajah-wajah orang Yahudi. Kaum Muslim akan memasuki masjid sebagaimana mereka dulu memasukinya dengan kekalahan Zionis Yahudi. Demikian sebagaimana Hadis Nabi saw.:
Tidak akan terjadi Hari Kiamat hingga kalian memerangi kaum Yahudi. Kaum Muslim akan memerangi mereka hingga ada seorang Yahudi bersembunyi di balik batu atau pohon, lalu batu atau pohon tersebut berkata, “Wahai Muslim! Wahai hamba Allah! Ini ada seorang Yahudi bersembunyi di belakangku. Kemari dan bunuhlah dia!” kecuali pohon gharqad karena ia adalah pohon Yahudi (HR Muslim dan Ahmad).
Kapan kemenangan itu terwujud? Menurut Habib Abu Bakar al-Adni bin Ali al-Masyhur rahimahulLâh (beliau adalah salah satu guru Habib Umar bin Hafizh), “Kemenangan umat Islam dengan membebaskan kembali al-Aqsha dan Bumi Palestina adalah saat sekat-sekat/border nasionalisme yang mewujud dalam negara bangsa (nation state) telah terhapus.”
Hal senada dinyatakan oleh Syaikh Muhammad al-Ghazali rahimahulLâh (1917–1996) yang menyatakan, “Sungguh lenyapnya Israel akan didahului lenyapnya negara-negara Arab.”
Hal serupa dinyatakan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh, “Negara Israel adalah bayangan dari sistem pemerintahan negara-negara Arab. Ketika benda hilang maka hilanglah bayangannya (Israil zhillu al-anzhimah al-‘Arabiyyah, fa idzâ zâla asy-syai’u zâla zhilluhu).”
Tugas kita saat ini adalah berjuang, mengingatkan umat untuk tidak lupa terhadap masalah al-Aqsha dan Palestina. Tugas kita adalah berjuang menghapus sekat-sekat negara-bangsa, menyatukannya dalam kepemimpinan tunggal bagi kaum Muslim. Itulah Al-Khilâfah ar-râsyidah ats-tsâniyah. Semoga tegak dalam waktu yang dekat. Amin. [Wahyudi Ibnu Yusuf]
Rujukan:
- Agha, Mahir Ahmad. Yahudi Catatan Hitam Sejarah. Jakarta: Qisthi Press, 2018.
- Hizbut Tahrir. Muqaddimah al-Dustur aw al-Asbab al-Mujibah lahu al-qism ats-tsâni. Beirut: Dar al-Ummah, 2010.
- Ibn Katsir, Abu Fida’ Hafizh. Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim. Beirut: Dar Al-Fikr, 2006.
- Mubarakfuri, Shafiyurrahman. Sirah Nabawiyyah Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Rasulullah SAW cet.XXII. Jakarta: Darul Haq, 2017.
- Qol’ahji, Muhammad Rawwas. Sirah Nabawiyah Mengungkap Maksud Politis Perilaku Rasulullah SAW. Bangil: Al-Izzah, 1996.