Telaah Kitab

Syakhshiyyah Islamiyyah

Kepribadian (syakhsiyyah) sering dikaitkan dengan penampilan fisik seseorang; bagaimana cara dia berjalan, gayanya dalam berpakaian, cara makan, berbicara, dan semisalnya. Dalam pandangan sebagian orang, orang yang berkepribadian baik mestilah well groomed, istilah yang menggambarkan seseorang yang berpenampilan rapi, bersih, terawat, sopan, luwes, serasi, dan menarik.

Jika dilihat realitasnya, manusia memiliki dua hal yang tampak pada dirinya. Pertama: penampilan fisiknya, seperti bentuk tubuh, wajah dan pakaian. Kedua: aktivitas, gerak-gerik, atau perilaku (suluuk)-nya.

Dari yang terlihat tersebut, secara hakiki, yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya adalah aktivitas, gerak-gerik atau perilakunya. Kalaupun seseorang diidentikkan dengan warna baju kesukaannya, atau diidentikkan dengan ciri fisiknya, tetap saja penentu baik-buruknya kepribadian mereka bukan pada warna pakaiannya atau bentuk fisiknya. Semua penampilan fisik itu, meskipun perlu, hanyalah kulit semata. Allah SWT berfirman terkait penampilan kaum munafik:

۞وَإِذَا رَأَيۡتَهُمۡ تُعۡجِبُكَ أَجۡسَامُهُمۡۖ وَإِن يَقُولُواْ تَسۡمَعۡ لِقَوۡلِهِمۡۖ كَأَنَّهُمۡ خُشُبٞ مُّسَنَّدَةٞۖ ٤

Jika kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar (QS al-Munafiqun [63]: 4).

 

Nabi saw. juga pernah meminta Sahabat untuk menilai seseorang yang lewat. Orang pertama lewat. Karena penampilannya, Sahabat menyatakan, “Ia termasuk orang terhormat di antara manusia. Demi Allah, jika ia melamar, ia layak untuk dinikahkan. Jika ia meminta bantuan, ia akan dibantu.” Lalu lewat orang lain dengan tampilan yang miskin, Sahabat pun menilai berkebalikan dengan penilaian terhadap orang yang lewat pertama. Nabi saw. pun menyanggah:

«هَذَا خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الأَرْضِ مِثْلَ هَذَا»

“Orang ini lebih baik dari orang tadi walau orang tadi sepenuh bumi.” (HR al-Bukhari).

 

Jika bukan tampilan fisiknya maka perilakulah yang membedakan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, serta merupakan cermin dari kepribadiannya.

 

Pembentukan Syakhshiyyah Islamiyyah

Mengapa manusia berperilaku dan berbuat sesuatu? Menurut Al-‘Allâmah as-Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, itu karena manusia punya badan fisik (jasmani). Sifat badan itu mendorong manusia untuk makan, minum, buang hajat, tidur dan kebutuhan fisik lainnya. Manusia juga punya naluri-naluri yang membuat dirinya cenderung ingin mempertahankan dirinya, melestarikan jenisnya dan mensucikan “sesuatu” yang dia anggap agung. Manusia juga punya akal yang memungkinkan dia berpikir dan membentuk pemahaman tentang baik/buruk, terpuji/tercela, juga benar/salah. Dengan itu manusia bisa menilai perbuatannya.

Kebutuhan jasmani dan naluri pada manusia akan mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang dapat memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan makan akan memunculkan rasa lapar. Rasa lapar ini mendorong manusia untuk bertindak mencari makanan, ditambah adanya akal pada manusia, muncullah kecenderungan (muyûl) yang menentukan apakah dorongan pemenuhan kebutuhan tadi akan dilanjutkan ataukah tidak.

Jadi, pemenuhan kebutuhan itu bukanlah sebagai satu-satunya pembentuk kecenderungan. Persepsi (mafâhim) yang lahir dari aktivitas berpikir dengan landasan tertentu itulah yang dapat mengambil kendali atas kecenderungan. Dengan itu pemenuhan kebutuhan itu diarahkan oleh kecenderungan yang telah dibentuk oleh persepsi.

Jika persepsi-persepsi yang dipakai akal itu adalah persepsi-persepsi yang didasari oleh Islam, maka itulah yang disebut dengan corak berpikir islamy (‘aqliyyah islâmiyyah). Jika persepsi-persepsi itu mampu mengendalikan kecenderungan, sehingga kecenderungan itu punya corak yang Islami pula, maka itulah yang disebut nafsiyyah islâmiyyah. Dari ‘aqliyyah dan nafsiyyah yang islami itulah terbentuk kepribadian islami, yang secara empirik terejawantahkan lewat perilaku (suluk) manusia.

 

Keistimewaan Syakhshiyyah Islamiyyah

Islam telah memberikan solusi yang sempurna untuk mewujudkan kepribadian (syakhshiyah) istimewa yang berbeda dengan kepribadian lainnya. Islam telah menjadikan akidah sebagai landasan berpikir yang dengan itu dibangun seluruh pemikiran dan dibentuk mafâhîm (persepsi-persepsi)-nya. Persepsi inilah yang membentuk kecenderungan-kecenderungan manusia. Dengan akidah itulah terbentuk ‘aqliyyah dan nafsiyyah-nya.

Jika seorang Muslim menjadikan akidah Islam sebagai dasar dalam memikirkan segala sesuatu dan setiap problem yang dia hadapi maka dia telah memiliki ‘aqliyyah islâmiyyah. Manakala dia telah bertekad untuk membimbing dan memenuhi segala kebutuhan jasmani dan nalurinya dengan cara-cara pemuasan Islam, maka dia telah memiliki nafsiyyah islâmiyyah. Jika keduanya terpenuhi, maka dia telah memiliki kepribadian Islam.

Seseorang tidak dapat dikatakan memiliki kepribadian Islam jika ia hanya memiliki pola pikir islami, ia mampu menjelaskan semua hukum syariah, mampu mengetahui semua yang halal dan haram, mampu berbicara dengan dalil dan mampu menganalisis suatu hukum/peristiwa dengan sudut pandang Islam. Tidak cukup dengan semua itu ia dikatakan berkepribadian Islam. Ia juga harus menundukkan kecenderungannya dalam memenuhi semua kebutuhannya dengan standar yang islami.

Sebaliknya, seseorang juga tidak dapat dikatakan memiliki kepribadian Islam jika ia hanya memiliki nafsiyyah yang islami, sedangkan ‘aqliyyahnya tidak islam. Ia bisa jadi beribadah kepada Allah dengan kebodohannya sehingga kadang-kadang justru menggelincirkan dirinya dari jalan yang lurus. Bisa jadi ia melakukan puasa pada hari yang diharamkan berpuasa. Bisa jadi ia suka melihat kemungkaran yang seharusnya wajib ia ubah dan ingkari. Bisa jadi ia melakukan keharaman yang dia sangka perbuatan itu baik. Pendek kata, seorang Muslim akan berkepribadian Islam jika menjadikan Islam sebagai standar dalam berpikir, mengatur kecenderungan hati dan bertindak, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

«لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوَنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ»

Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga ia membimbing hawa nafsunya selalu mengikuti apa yang kubawa (Islam) (Al-Arba’in an-Nawawiyah).

 

Potret Orang-Orang yang Bersyakhshiyyah Islamiyyah

Gambaran syakhshiyah manusia berbeda-­beda sesuai dengan tingkatan ilmu, ‘aqliyah dan nafsiyyah seseorang. Perilaku dan sikap merekalah yang menunjukkan secara nyata tinggi rendahnya syakhsiyyah mereka. Rasulullah saw. adalah teladan utama dalam hal kepribadian ini. Sahabat-sahabat beliau juga menunjukkan tingginya kepribadian hasil didikan beliau. Bukan hanya Sahabat yang awal-awal masuk Islam. Bahkan yang belakangan pun menunjukkan kepribadian yang luar biasa.

Rabi’ah al-Aslami, Sahabat lelaki yang berkhidmat kepada Nabi saw. pernah ditanya oleh beliau, “Rabi’ah, mengapa kamu tidak menikah?” Rabi’ah menjawab:

«وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ مَا أُرِيدُ أَنْ أَتَزَوَّجَ مَا عِنْدِي مَا يُقِيمُ الْمَرْأَةَ وَمَا أُحِبُّ أَنْ يَشْغَلَنِي عَنْكَ شَيْءٌ»

“Demi Allah, Wahai Rasulullah, saya tidak mau menikah. Saya tidak mempunyai sesuatu untuk menanggung beban-beban pernikahan. Saya juga tidak mau jika istriku menyibukkan diriku sehingga kurang perhatian ketika melayani Anda.” (HR Ahmad)

 

Rasulullah saw. berpaling. Lalu beliau bertanya kedua kalinya dengan pertanyaan yang sama. Dijawab dengan jawaban yang sama. Rasulullah saw. tidak memaksa. Namun, Rabi’ah kemudian merenung dan berkata dalam dirinya:

«وَاللهِ لَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا يُصْلِحُنِي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَعْلَمُ مِنِّي وَاللهِ لَئِنْ قَالَ تَزَوَّجْ لَأَقُولَنَّ نَعَمْ يَا رَسُولَ اللهِ مُرْنِي بِمَا شِئْتَ »

“Demi Allah, Rasulullah saw. pasti lebih tahu terhadap segala yang hal yang mendatangkan kemaslahatan dunia dan akhiratku daripada aku sendiri. Demi Allah, andai beliau mengatakan menikahlah, tentu saya menjawab, ‘Ya, wahai Rasulullah, perintahkanlah. Terserah Anda (HR Ahmad)

 

Inilah Rabi’ah. Meskipun ada kecenderungan untuk dekat-dekat dan berkhidmat kepada Nabi saw., kecenderungan ini diatur dengan pola pikirnya. Jika kecenderungan yang tidak jatuh pada maksiat saja ditundukkan dengan ‘aqliyyah islâmiyyah-nya, apalagi bisikan nafsu yang mengajak pada kejahatan, tentu akan lebih dilawan dengan sekuat tenaga.

Sekarang, saat revolusi mental dijadikan slogan, justru mental-mental korup makin menjadi dan “ditoleransi”. Dulu, Rasulullah saw. berhasil memunculkan pribadi-pribadi anti korupsi. Beliau pernah mengutus Abdullah bin Rawahah ra. ke Khaibar untuk menaksir pembagian hasil panen kebun antara umat Islam dan Yahudi. Orang-orang Yahudi segera mengumpulkan berbagai macam perhiasan dari istri-istri mereka. Lalu mereka mau menyerahkan semua itu sebagai ‘hadiah’. Mereka berkata kepada Abdullah bin Rawahah, “(Semua perhiasan) ini untuk kamu. Ringankanlah kami dan berilah tambahan pada bagian kami.” Abdullah bin Rawahah menjawab:

« يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ, وَاللّٰهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللّٰهِ إِلَيَّ وَمَا ذَاكَ بِحَامِلِي عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ. فَأَمَّا مَا عَرَّضْتُمْ مِنَ الرَّشْوَةِ فَإِنَّهَا سُحْتٌ, وَإِنَّا لَا نَأْكُلُهَا »

“Wahai kaum Yahudi! Demi Allah, kalian adalah makhluk ciptaan Allah yang paling aku benci. Meski demikian, kebencianku tidak akan membuatku berbuat lalim kepada kalian. Adapun semua perhiasan yang kalian berikan kepadaku sebagai suap, itu semua adalah haram dan kami tidak memakan yang haram.”

 

Mereka menjawab “Dengan (sikap) seperti ini, tegaklah langit dan bumi.” (HR Imam Malik).

 

Cara Menguatkan Syakhshiyyah Islamiyyah

Syakhshiyah islâmiyah bisa diperkuat dengan cara meningkatakan ‘aqliyyah dan nafsiyyah islâmiyyahnya. ‘Aqliyah Islâmiyyah ditingkatkan dengan cara menambah khazanah ilmu-ilmu Islam (tsaqâfah islâmiyyah). Adapun nafsiyyah islâmiyyah dapat ditingkatkan dengan selalu melatih diri untuk berbuat taat, terikat dengan aturan Islam dalam segala hal dan melaksanakan amalan-amalan ibadah, baik yang wajib maupun yang sunah, serta membiasakan diri untuk meninggalkan yang makruh dan syubhat apalagi yang haram. Islam pun menganjurkan agar kita senantiasa berakhlak mulia, bersikap wara’ dan qanâ’ah agar mampu menghilangkan kecenderungan yang buruk dan bertentangan dengan Islam.

Jika seseorang bersungguh-sungguh melakukan dua hal tersebut, Allah akan memudahkan dirinya, sebagaimana firman-Nya:

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٦٩

Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sungguh Allah benar-benar beserta kaum yang berbuat baik (QS al-Ankabut [29]: 69).

 

Juga disebutkan dalam sebuah riwayat:

«مَنْ عَمِلَ بِمَا يَعْلَمُ وَرَّثَهُ اللّٰهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ»

“Siapa saja yang mengamalkan apa yang dia ketahui, Allah akan menganugerahkan kepada dirinya pengetahuan yang belum dia ketahui.” (Ibnu Muflih al-Maqdisi, Al-Adab asy-Syar’iyyah, 2/130).

 

WalLâhu a’lam. [M. Taufik NT]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen + six =

Check Also
Close
Back to top button