Ibrah

Adab Dakwah

Dakwah adalah kewajiban yang melekat pada setiap Muslim. Terutama bagi para ulama yang merupakan pewaris para nabi. Dalam menyampaikan dakwah, para ulama salaf memberikan teladan yang luar biasa. Mereka tegas dalam menyampaikan kebenaran, namun tetap lembut dalam sikap. Sikap ini tidak hanya tampak dalam interaksi mereka dengan masyarakat biasa, tetapi juga saat mereka menghadapi para penguasa.

Contohnya adalah Imam Malik bin Anas rahimahulLâh. Guru Imam Syafii ini dikenal tegas dalam mempertahankan kebenaran meskipun harus menghadapi penguasa. Ketika Khalifah Abu Ja‘far al-Manshur meminta beliau untuk mendukung legitimasi politik tertentu dengan menjadikan fatwa beliau sebagai dasar, Imam Malik menolak dengan sopan. Beliau berkata, ”Wahai Amirul Mukminin, ilmu ini adalah amanah. Aku tidak bisa memutarbalikkan kebenaran demi kepentingan siapapun.” Demikianlah Imam Malik. Beliau tidak pernah mengorbankan kebenaran (Lihat: Al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdaad, 10/219).

Berikutnya adalah Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahulLâh. Beliau adalah ulama yang sangat berhati-hati dalam hubungannya dengan penguasa. Ketika Khalifah al-Mahdi mengundang beliau untuk menjadi hakim, beliau menolak dengan tegas. Beliau berkata, ”Jika aku menerima jabatan ini maka engkau akan mencelakai diriku di dunia, sedangkan aku akan mencelakai dirimu di akhirat.” Penolakan ini disampaikan dengan penuh kelembutan. Dengan begitu, meskipun menolak, beliau tetap dihormati oleh Khalifah (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubalâ’, 7/254).

Imam Sufyan ats-Tsauri juga pernah melihat seorang penjual di pasar yang curang dalam timbangan. Beliau menegur dia dengan berkata, ”Saudaraku, ingatlah bahwa kejujuran dalam berdagang akan membawa berkah. Janganlah engkau mencari keuntungan dunia dengan merugikan akhiratmu.” Penjual itu menangis dan berkata, ”Demi Allah, aku tidak akan mengulangi perbuatanku ini. Doakan aku agar Allah mengampuni dosaku.” (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 7/273).

Berikutnya adalah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulLâh. Beliau juga memberikan teladan agung dalam menghadapi ujian berat saat dipaksa menerima doktrin Khalq al-Qur’ân (al-Quran adalah makhluk) oleh penguasa Abbasiyah, Khalifah Al-Ma’mun. Saat dipanggil ke Istana dan diancam untuk mengikuti pemahaman sesat tersebut, beliau berkata, ”Aku hanyalah seorang yang lemah. Namun, aku tidak akan berkata sesuatu yang tidak aku yakini sebagai kebenaran.” Ketika ditanya mengapa ia tetap teguh, Imam Ahmad menjawab bahwa sesungguhnya seorang ulama adalah penjaga agama. Jika ia tunduk pada kebatilan maka umat akan tersesat (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 11/238).

Saat pada akhirnya Imam Ahmad ditahan, di dalam ruang tahanan, beliau tetap mendoakan kebaikan bagi Khalifah yang menzalimi dirinya. Beliau berkata, ”Aku tidak ingin kematian penguasa ini. Sebabnya, jika dia mati dan digantikan oleh yang lebih buruk, maka musibah akan lebih besar bagi umat ini.” Ini menunjukkan kelembutan hati beliau meskipun dalam situasi yang penuh tekanan (Lihat: Ibnu al-Jauzi, Manaaqib al-Imaam Ahmad, hlm. 395).

Berikutnya adalah Imam Hasan al-Bashri rahimahulLâh. Beliau adalah salah satu ulama salaf yang dikenal tegas, tetapi tetap lembut dalam menasihati masyarakat. Beliau pernah berkata, ”Wahai anak Adam, sungguh engkau adalah hari-hari yang terbatas. Jika satu hari berlalu, maka sebagian dari dirimu telah pergi. Karena itu perbaikilah amalmu sebelum datang hari saat engkau tidak lagi mampu berbuat apa-apa.” Ketegasan beliau tampak pada nasihatnya yang langsung mengingatkan hakikat kehidupan, namun tetap disampaikan dengan kelembutan hati sehingga mampu menyentuh jiwa pendengarnya (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ, 4/586).

Imam Hasan al-Bashri juga dikenal karena keberaniannya menasihati penguasa. Namun, ia melakukannya dengan cara yang lembut. Saat menasihati Hajjaj bin Yusuf, ia berkata, ”Wahai Hajjaj, ingatlah bahwa kekuasaan di dunia ini hanyalah amanah. Jika engkau berbuat adil maka engkau akan mendapat pahala. Namun, jika engkau berlaku zalim maka engkau akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.” (Lihat: Al-Ashfahani, Hilyah al-Awliyâ’, 2/134).

Al-Hajjaj bin Yusuf, penguasa yang dikenal kejam tersebut, pernah bertanya kepada Hasan al-Bashri, ”Mengapa engkau tidak takut kepadaku, wahai al-Hasan?” Al-Hasan menjawab dengan lembut, ”Mengapa aku harus takut kepadamu? Padahal aku tahu bahwa engkau hanyalah manusia yang juga tunduk kepada kekuasaan Allah. Aku hanya takut kepada Allah, bukan kepada ciptaan-Nya.” Jawaban ini membuat Al-Hajjaj terdiam dan mulai mempertimbangkan nasihat-nasihatnya (Lihat: Al-Ashfahani, Hilyah al-Awliyâ’, 2/131).

Berikutnya adalah Imam Abu Hamid al-Ghazali rahimahulLâh. Beliau menunjukkan kelembutan dalam menyampaikan nasihat kepada masyarakat yang lalai. Dalam kitabnya, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, beliau antara lain menulis bahwa sesungguhnya nasihat itu adalah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Namun, cara penyampaiannya harus seperti dokter yang mengobati pasiennya, bukan seperti algojo yang menghukum pendosa. Dengan hikmah, Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa dakwah yang tegas, tetapi lembut, akan lebih mudah diterima oleh hati yang keras sekalipun (Lihat: Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, 4/365).

Demikianlah. Kisah-kisah para ulama di atas tidak lain merupakan wujud pengamalan mereka atas firman Allah SWT (yang artinya): ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl [16]: 125).

Kisah-kisah para ulama salaf ini memberikan pelajaran bahwa dakwah memerlukan keberanian, ketulusan dan hikmah. Ketegasan tanpa hikmah hanya akan menimbulkan kebencian. Sebaliknya, kelembutan tanpa ketegasan akan membuat kebenaran terabaikan. Ketegasan para ulama salaf dalam menyampaikan dakwah didasarkan pada prinsip kebenaran yang kokoh, sementara kelembutan mereka berakar pada kasih sayang terhadap umat manusia.

Para ulama salaf adalah teladan terbaik dalam mempraktikkan adab dalam berdakwah, khususnya dalam memadukan ketegasan dan kelembutan. Semoga kita mampu mencontoh mereka dalam berdakwah dengan hati yang ikhlas, adab yang mulia dan keberanian yang tak tergoyahkan.

Wa mâ tawfîqîillâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty + fifteen =

Check Also
Close
Back to top button